Ahmad Khalwani
Penulis Kolom

Mahasiswa Pasca Sarjana UNUSIA, Jakarta

KH M Hasyim Asy’ari Menjawab Pertanyaan Apa Hukum Perempuan Belajar Menulis

Jika kita membaca dokumen-dokumen Nahdlatul Ulama, banyak sekali yang unik-unik, bahkan jika dinilai dari kacamata sekarang, lucu-lucu. Ada misalnya, dalam buku Ahkamul Fukaha pertanyaan begini: “Apa hukum Perempuan naik sepeda?”

Dalam catatan pendek ini, saya akan menyampaikan pertanyaan yang tidak kalah “unik” dari pertanyaan hukum naik sepeda di atas, yaitu: “Apa hukum perempuan belajar menulis?” Pertanyaan ini ada di majalah NU, No. 3, Tahun 1927 M.

Pada abad 20, kajian mengenai perempuan telah menemukan titiknya tolaknya. Di mana banyak peneliti yang tertarik mengkaji perempuan ini dari sudut pandang perempuan itu sendiri. Kajian tentang perempuan ini sering disebut dengan kajian feminis.

Di Indonesia kajian mengenai feminis di mulai dari sejak RA Kartini memulai melawan stigma adat istiadat bahwa perempuan itu hanya urusan dapur (memasak), kasur (seks) dan sumur (juru bersih), akan tetapi perempuan itu mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, bisa belajar, bisa menulis dan juga bisa memimpin pergerakan melawan kolonialisme.

Di zaman sekarang, perempuan yang bisa menulis sudah bukan barang langka lagi, di mana kita bisa temukan sekian banyak penulis perempan yang handal. Bahkan kemampuan menulis ini juga wajib dimiliki oleh perempuan ketika hendak menyelesaikan studi di perguruan tinggi, baik tingkat sarjana, magister maupun doktoral. Tanpa mempunyai bekal menulis ini para perempuan yang belajar di perguruan tinggi tidak akan mampu menyelesaikan studinya.

Baca juga:  Warisan Ketegangan: Soeharto, NU, dan Umat Nasrani di Awal Orde Baru

Menurut hemat penulis, di zaman ini telah menjadi kesepakatan para ulama bahwa perempuan yang bisa menulis atau perempuan yang belajar menulis menjadi sebuah kebolehan, atau bahkan menjadi sebuah kewajiban.

Namun demikian tidak di zaman sebelum kemerdekaan, perempuan yang bisa menulis atau yang hendak belajar penulis menjadi polemik dan kajian tersendiri dikalangan ulama.

Kiai Sholeh Darat sendiri yang menjadi guru pembuka cakrawala RA Kartini dalam menghasilkan slogan habis gelap terbitlah terang ini melarang perempuan belajar menulis. Dalam kitabnya Majmu’ Assyariah, halaman 178 beliau menuliskan:

Anapun anak wadon maka ora wenang den wuru’i nulis senajan karena arah ilmu. Karana nolak maksiat iku wajib karena wadon iku ora sempurna akale lan ora sempurna agamane lamun bisa nulis ora aman lamun tumiba maksiat karono iku tulisan luweh gampang tumibo maksiat.

Terjemah:

“Adapun bagi anak perempuan maka tidak diperkenankan diajari untuk belajar menulis walaupun untuk mencari ilmu. Hal ini karena menolak maksia itu wajib hukumnya. Karena wanita itu tidak sempurna akalnya dan tidak sempurna agamanya. Kalau bisa menulis tidaklah aman dari maksiat, karena tulisan itu lebih mudah mengantarkan kepada kemaksiatan.”

Polemik mengenai hukum perempuan belajar menulis pun direkam dalam majalah Nahdlatul Ulama (NU), Nomor 3, Tahun 1346 H/1927 M. Penulis menemukan tulisan ini dalam buku “Risalatun Nisa” karangan Kiai Ahmad Abdul Hamid Alkendali. Beliau yang terkenal karena telah membuat kalimat penutup sebelum salam khas NU, yaitu wallahul muwafik ila aqwamit thoriq.

Dalam majalah NU tersebut dinyatakan bahwa perempuan yang belajar menulis untuk penghias diri maka hukumnya adalah makruh tahzih. Makruh tanzih adalah perkara yang dituntut untuk ditinggalkan tapi dengan perintah yang tidak atau kurang tegas. Makruh Tanzih lawan dari Sunah.

Baca juga:  Cinta Rasulullah dan Penista Azan

Perempuan yang belajar menulis ini makruh tanzih hukumnya seperti halnya kemakruahan dalam meninggalkan memotong kuku atau memotong bulu kemaluan sampai melebihi 40 hari lamanya.

Dalam majalah tersebut juga menekankan bahwa perempuan yang belajar menulis hukumnya hanya makruh tanzih dan tidak sampai jatuh pada makruh tahrim seperti salat sunah setelah Asar atau salat sunah setelah Subuh. Makruh Tahrim adalah larangan dengan dalil yang bersifat dzanni tapi lebih dekat kepada haram daripada kepada makruh.

Majalah tersebut juga mencatat bahwa apabila perempuan belajar menulis itu untuk tujuan maksiat maka hukumnya haram secara mutlak. Dan ini juga berlaku untuk laki-laki. Hal ini didasarkan pada dua kaidah fikih yaitu sebab itu sama dengan hukum musababnya dan segala sesuatu itu bergantung tujuannya.

Namun demikian apabila perempuan tersebut belajar menulis untuk tujuan mencari pekerjaan, dagang, mencatat keuntungan maka hukumnya disesuaikan dengan jenis pekerjaannya. Apabila pekerjaannya halal maka belajarnya diperbolehkan dan apabila pekerjaanya haram maka juga diharamkan. Dan bagi perempuan belajar menulis karena mencatat ilmu agama maka hukumnya sama halnya dengan hukum perantaranya.

Keputusan dalam majalah tersebut menyandarkan kepada pendapat Imam Ibnu hajar dan pendapatnya KH M. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Ziyadut Ta’liqot yang menyatir hadis Nabi

Baca juga:  Nahdlatul Ulama: Tiga Kiai Jombang Pendiri NU

عَنْ الشِّفَاءِ بِنْتِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا عِنْدَ حَفْصَةَ فَقَالَ لِي أَلَا تُعَلِّمِينَ هَذِهِ رُقْيَةَ النَّمْلَةِ كَمَا عَلَّمْتِيهَا الْكِتَابَةَ

Dari (shohabiah) Asy-Syifa` binti Abdullah ia berkata, “Rasulullah pernah menemuiku, sementara aku sedang berada di rumah Hafshah. Lalu beliau berkata kepadaku: “Tidakkah engkau ajari dia Ruqyah namlah sebagaimana engkau mengajarinya menulis?”

Dari dua pendapat ulama di atas, majalah NU mengambil keputusan bolehnya perempuan belajar menulis.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top