Adalah KH. Suhaimi Rafiuddin, Ulama’ Banyuwangi kelahiran Galis, Pamekasan pada tanggal 30 Mei 1919 / 29 Sya’ban 1337 ini merupakan murid daripada perintis PCNU Banyuwangi, KH. Shaleh Lateng. Beliau memiliki hubungan kekerabatan dengan KH. Djunaidi Asymuni, pendiri Ponpes Bustanul Makmur, Kebunrejo, Genteng, Banyuwangi.
Pada tahun 1939 Kiai Suhaimi berhijrah dari pulau Garam menuju bumi Blambangan guna menimba ilmu kepada Kiai Shaleh Lateng. Dalam rihlah tholibul ilmi – nya tersebut, beliau mencatat dengan rapi proses tranmisi keilmuannya. Seperti ketika mengaji kitab tafsir Jalalain, Kiai Suhaimi menuliskan awal mengajinya kepada Kiai Shaleh pada tanggal 29 Sanah 1940 (1358) dan khatam juz awal pada hari Ahad tanggal 6 Shafar 1359.
Selain itu beliau meninggalkan sebuah jejak intelektual berupa sebuah manuskrip yang berjudul “Tafsir al – Qur’an al – Karim berbahasa Indonesia lil abdil faqir Suhaimi Rafiuddin Harratil Melayu Banyuwangi”. Manuskrip tersebut ditemukan oleh Komunitas Pegon di musholla yang terletak di sebelah kediamannya. Tidak ditemukan parateks di awal manuskrip yang menunjukkan kitab tafsir itu mulai ditulis kapan. Namun manuskrip tersebut ditulis dalam sebuah buku tulis berukuran 20.5 x 15.5 cm dan setiap lembarnya terdapat 28 garis.
Penulisan kitab tafsir Kiai Suhaimi berbahasa Indonesia dengan harakat arab – pegon tersebut tidak selesai seutuhnya sebanyak 30 juz. Besar kemungkinan beliau wafat terlebih dahulu pada tahun 1982, sehingga ia hanya mampu menyelesaikan penulisannya dari surah al Fatihah sampai al-Baqarah ayat 36.
Untuk menyajikan sebuah tafsir yang utuh, maka Komunitas Pegon menyunting dan menyajikan secara utuh tafsir surah Al – Fatihah dari manuskrip beliau. Dalam keterangan pembuka, tafsir yang ditulis oleh Rais Tsani PCNU Banyuwangi ini merujuk kepada beberapa kitab seperti, Al – Qur’anul Karim Terjemahan Kementrian Agama, Tafsir Jalalain, Hasyiyah Jamal, Hasyiyah Showi al – Maliki, al – Wajiz fii Tafsir al – Qur’an al – Aziz, Tafsir Marah Labid / Tafsir al – Munir, Tafsir al – Khozin, Tafsir al – Baghowi, dan Tafsir Ibnu Katsir.
Sebagai pembuka, beliau menjabarkan asbabun nuzul surah fatihah beserta jumlah ayatnya. Kemudian menginjak pada bab berikutnya, Kiai Suhaimi menerangkan nama lain dari surah al – Fatihah. Lalu pada bab ketiga beliau menjelaskan keutamaan surah al – Fatihah.
Dalam bab ini tidak nanggung-nanggung, beliau menukil pendapat Syaikhul Akbar Muhyiddin Ibn Arabi, bahwa barangsiapa yang membaca al – Fatihah beserta basmalah – nya dalam satu kali nafas, maka Allah dalam hadits qudsi nya akan mengampuni dosanya, diterima amal baiknya, dijauhkan dari perbuatan tercela, diselamatkan dari azab kubur, azab neraka, dan azab hari akhir, serta bakal bertemu dengan Dzat – Nya disurga lebih dulu sebelum para manusia.
Menginjak bab berikutnya, yakni tentang khasiat surah al – Fatihah. Disini Kiai Suhaimi menerangkan bahwa yang merutinkan membaca surah – al Fatihah beserta basmalah – nya sebanyak 41 kali antara waktu shalat sunnah qabliyah subuh sampai ketika akan ditegakkan shalat subuh, maka jika ia faqir Allah akan mencukupi rezeki nya dan apabila ia terlilit hutang, maka Allah akan memberikan kemudahan dalam membayar hutangnya, serta jika ia sakit maka Allah akan mengangkat penyakitnya dan menyembuhkannya.
Setelah bab pembuka tersebut, Kiai Suhaimi kemudian memaparkan tafsir surah al – Fatihah secara rinci. Dalam menafsirkan Basmalah, beliau menjelaskan pula tentang hukum pembacaannya secara jahr (keras) dan sirri (pelan / lirih). Menurutnya pembacaan basmalah disesuaikan dengan kondisi, apabila pada shalat sirri (ashar & dzuhur) maka basmalah – nya dibaca lirih. Namun apabila pada shalat jahr (shubuh, maghrib, & isya’) maka basmalah – nya dibaca dengan keras atau nyaring.
Pada paparan selanjutnya di ayat yang kedua, Kiai Suhaimi menerangkan tentang keutamaan lafadz Alhamdulillah. Mengutip dari perkataan Sayyidina Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhu, bahwa Alhamdulillah adalah kalimat syukur. Jika seorang hamba mengucap Alhamdulillah, maka Allah telah bersabda: “Hamba – Ku telah mensyukuri nikmat – Ku”.
Kemudian dalam menjabarkan Ar Rahman Ar Rahim, Kiai Suhaimi Rafiuddin memaknai sebagai berikut, “Karena Ar – Rahman memiliki makna kasih sayang Allah kepada semua makhluk di muka bumi berupa pemberian rezeki. Adapun makna Ar – Rahim adalah bentuk kasih sayang Allah terkhusus kepada orang mu’min di hari kiamat. Sebagai pembeda dari keduanya, Ar – Rahman bersifat amm / umum kepada semua orang dan Ar – Rahim bersifat khas (khusus) untuk orang mukmin saja di hari pembalasan”.
Di ayat kelima, Kiai Suhaimi menjelaskan tentang pembacaan lafadz “Iyyaka” yang dibaca dengan tasydid berdasar dari pendapat ulama’ qiro’ah sab’ah dan jumhur. Ada pula yang berpendapat lafadz “Iyyaka” dibaca dengan ringan tanpa tasydid, ini merupakan pendapat Amru bin Fayyad. Sementara pendapat lain mengatakan dibaca “Ayyaka” dan “Hayyaka”. Pendapat – pendapat tersebut beliau rujuk kepada Tafsir Ibnu Katsir.
Setelah menjelaskan ayat ketujuh, Kiai Suhaimi memberi catatan bahwa lafadz “Aamiin” bukanlah merupakan bagian dari surah al – Fatihah, akan tetapi merupakan sebuah kesunnahan. Asalnya dari isim fi’il yang memiliki makna “kabulkanlah do’aku ini ya Allah”.
Sebagai bab penutup, beliau menyimpulkan dalam surah al-Fatihah ini terdapat golongan yang terbagi menjadi 3, yakni golongan orang yang diberi petunjuk Allah, golongan orang yang dimurkai oleh Allah, dan golongan orang yang disesatkan oleh Allah. Maka dengan perantara surah ini yang tiap kali dibaca pada shalat fardhu, semoga kita digolongkan orang yang mendapat petunjuk Allah agar wafat dalam keadaan membawa iman dan Islam. Aamiin Allahumma Aamiin…