Di Indonesia, burung tekukur/derkuku memiliki daya tarik tersendiri bagi pemiliknya. Dari sugesti para pemiliknya, diyakini bahwa memelihara burung perkutut dapat menjadi sebab datangnya rizki, keberuntungan, dll. Apalagi model burung tekukur katuranggan, merupakan salah satu jenis burung tekukur yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia dan para pecinta burung.
Menyikapi fenomena tersebut, salah seorang kiai yang bernama Kiai Ahmad Juwaidi bin Umar Al–Baquni Al–Kediri menuliskan sebuah kitab guna menyingkap tabir akan rahasia dari burung tekukur dan suaranya dengan judul “Khususiyah Al–Qamaari wa Ushulu Ashwatiha”. Dalam keterangan di cetakan barunya yang diterbitkan oleh Daar Turots Ulama Nusantara yang diasuh oleh Gus Nanal Ainal Fauz dari Bermi, Pati–Jawa Tengah, naskah ini dicetak pada Percetakan Melati, Surakarta, Jawa Tengah.
Setelah sang muallif memulai penulisan kitab ini dengan basmallah dan sholawat kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam, barulah beliau membuka sebab dari penulisan kitab ini dimana kala itu masyarakat sangat menggandrungi memelihara burung tekukur. Melihat akan fenomena tersebut, akhirnya sang muallif menyusun sebuah risalah ini yang membahas tentang khasiat burung tekukur dan makna asal kicauannya yang sumber referensinya dari kitab “Ajaibul Mathlubat”.
Dari suara burung tekukur, terdapat suatu pesan tersirat yang kiranya dapat dipahami oleh sang pemiliknya. Suara burung tekukur yang memiliki makna udzkurullah (ingatlah kepada Allah), tandanya adalah apabila bulu pada ekornya berjumlah 16. Jika suaranya bermakna aufu bil uqud (tepatilah janjimu), tandanya adalah apabila bulu pada ekornya berjumlah 15. Jika suaranya bermakna ittaqullah (bertakwalah kepada Allah), tandanya adalah apabila bulu ekornya berjumlah 11.
Kemudian apabila suaranya bermakna itsbutul haqqa (tepatilah perkara yang benar), maka tandanya adalah bulu ekornya berjumlah 17. Lalu jika bulu pada ekornya ada 12, maka suaranya bermakna itruku ar riya’ (jauhilah perkara riya’/pamer). Jika bulu pada ekornya berjumlah 13, maka makna dari suaranya adalah ishbiru al-bala’ (bersabarlah atas ujian yang menimpamu). Kemudian jika bulu ekornya berjumlah 14, maka suaranya bermakna laa tabkhalu saaila (janganlah kikir pada peminta).
Jika bulu pada ekornya berwarna putih atau kelabu, maka tandanya adalah burung tekukur tersebut mendoakan agar pemiliknya atau orang yang suka dengannya menjadi seorang pemimpin. Lalu apabila bulu pada ekornya berwarna hitam kemerahan, maka burung tersebut mendoakan agar pemiliknya diberi kelancaran dalam memberikan nafkah. Jika warna bulu nya menghitam, maka suara burung tekukur tersebut bermakna “Ya Allah jauhkanlah dari musibah”. Jika kulit kedua kakinya pecah atas izin Allah, maka maknanya adalah “Ya Allah berilah rezeki bagi tuan yang memeliharaku dan menyukaiku dengan kemurahan – Mu”.
Jika bulu pada jari tengahnya berjumlah 20, maka makna suara burung tersebut adalah “Ya Allah berilah harta bagi orang yang suka dan merawatku”. Jika burung tekukur tersebut pelupuk mata dan pantatnya berwarna kuning, maka ia sedang mendoakan keberkahan rezeki bagi ummat Islam. Jika semua atau sebagian bulu ekornya berwarna putih, maka ia burung tekukur tersebut berdoa “Ya Allah, perlihatkanlah para musuh”.
Jika burung perkutut tengkuk atau lehernya berwana putih, maka ia sedang mendoakan agar Allah menurunkan rezeki bagi orang yang menyukai dan merawatnya. Jika di sebagian atau di setiap atau kedua sayapnya berwarna putih, maka burung tekukur tersebut mendoakan agar Allah mempermudah segala tujuan orang yang menyukai dan merawatnya.
Apabila burung tekukur di sela-sela sayapnya berwarna putih atau hitam, maka makna suaranya “Mudah – mudahan Allah memberikan keselamatan bagi orang yang menyukai dan merawatku dari segala mara bahaya”. Apabila di kepala bulu tekukur terdapat warna bulu yang putih, maka tandanya burung tekukur tersebut mendoakan agar orang yang menyukai dan merawatnya selamat dunia dan akhirat. Dan jika burung tekukur bulunya dari leher sampai pantatnya kelihatan berbeda, maka itu pertanda jika sang pemiliknya sedang bermasalah dengan istrinya dan burung tersebut seakan memberi peringatan agar tidak menceraikan istrinya tanpa dosa.
Setelah tanda-tanda tentang burung tekukur telah dipaparkan diatas, kyai muallif kemudian mengisahkan cerita Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq yang menceraikan istrinya dalam keadaan marah. Walhasil ia merasa menyesal dan menyenandungkan beberapa bait syair atas penyesalannya. Kemudian terdapat tambahan keterangan dari Al Qozwaini yang menyatakan bahwa burung tekukur betina adalah sosok yang setia, apalagi setelah burung tekukur jantan telah mati. Maka burung tekukur betina tersebut tidak kawin lagi sampai ajal menjemputnya.
Sebagai penutup di akhir, kitab ini mengisahkan bahwa dalam majelis ilmunya Imam Malik bin Anas seseorang telah datang kepada beliau dan kala itu Imam Syafi’i muda sedang talaqqi kepada gurunya tersebut. Seseorang itu bercerita kepada Imam Malik bahwa dia telah menjual burung tekukurnya di pasar dan ternyata si pembeli kembali lagi dan mengembalikan burung tekukur tersebut dengan dalih burung tersebut tidak berkicau. Bahkan si penjual itu sampai bersumpah jika burung tekukurnya tidak berkicau, maka ia akan mentalak istrinya.
Mendengar kisah itu akhirnya Imam Malik memberi kebijakan bahwa ia telah mentalak istrinya. Tak lama kemudian keputusan Imam Malik tersebut disanggah oleh Imam Syafi’i, muridnya yang ketika itu berusia 14 tahun. Imam Syafi’i bertanya kepada pemilik burung tekukur itu apakah burung tersebut lebih banyak berkicau atau diam? lebih banyak kicaunya, kata pemiliknya. Maka kamu tidak mentalak istrimu, ujar Imam Syafi’i.
Kemudian Imam Malik bertanya, heh cung… dapat jawaban dari mana kamu? Kemudian Imam Syafi’i memaparkan hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah ketika Fatimah binti Qais datang kepada Rasulullah dan mengabarkan bahwa Mu’awiyah dan Abu Jahm melamarnya, kemudian Rasulullah menerangkan bahwa Mu’awiyah adalah pemuda yang miskin dan Abu Jahm adalah pemuda yang tidak pernah meletakkan tongkatnya.
Dari hadits ini mengandung majaz/kiasan makna pemuda yang lebih baik bagi Fatimah binti Qais dari aspek giatnya bekerja, maka Imam Syafi’i menggunakan hadits tersebut untuk men – qias – kan permasalahan tersebut. Maka Imam Malik terkagum dan memberikan legalitas kepada Imam Syafi’i untuk berfatwa.
Waba’du, kitab ini selesai ditulis pada tanggal 24 Jumadil Awwal 1349 Hijriah atau bertepatan tanggal 17 Oktober 1930 Masehi. Semoga sekilas keterangan dalam kitab yang membahas tentang burung tekukur ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin Allahumma Amiin. Wallahu a’lam.