
Dari tanggal 13-16 Juli 2025, Nahdlatut Turats bersama PBNU, dan Pemerintah Kabupaten Kudus menggelar perhelatan di lingkungan Masjid Menara Kudus dengan tajuk JALANTARA (Jelajah Turots Ulama’ Nusantara). Acara yang berlangsung selama 4 hari ini menyuguhkan pameran sejarah Kudus dari masa ke masa, juga menyuguhkan pameran intelektual dari tokoh yang leluhurnya berasal dari Yaman dan ayahnya pernah dilahirkan di Kudus.
Beliau adalah Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Al-Kuddusi bin Abdul Qodir Al-Khatib. Bersamaan dengan itu, kemarin malam (13/7) salah satu karya dari Syekh Abdul Hamid Al-Kuddusi berupa kitab maulid nabi yang berjudul “Fathul ‘Aliyyil Karim” dikaji dan dilaunching oleh Nahdlatut Turots beserta para masyayikh syuriah PBNU. Namun di balik euforia tersebut, terdapat satu kitab beliau yang luput dari pandangan publik dan kitab ini menarik untuk dikaji pada tiap bulan Rajab atau tiap malam Isra’ Mi’raj.
Kitab ini berjudul “Nafahatul Qobul Wal Ibtihaj: Fii Qisshoti Al-Isra’ wal Mi’raj”. Namun sebelum mengupas isi kitab itu lebih dalam, seyogyanya kita mengenal lebih dekat profil singkat Syekh Abdul Hamid Al-Kuddusi Al-Makki Al-Khatib. Mengutip pendapat dari Syekh Umar bin Abdul Jabbar, murid beliau yang juga penulis kitab Mabadi’ Fiqih. Syekh Abdul Hamid dilahirkan pada tahun 1868 M/1285 H, sementara menurut Syekh Al-Zarkali beliau dilahirkan pada tahun 1863 M/1280 H, tapi pendapat lain menyebutkan bahwa Syekh Abdul Hamid dilahirkan pada tahun 1860 M/1277 H di Makkah Al-Mukarromah.
Dalam perjalanannya menimba ilmu, Syekh Abdul Hamid berguru kepada datuknya, Syekh Ali bin Abdul Qadir Al-Makki, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Sulaiman Hasbullah, Sayyid Abi Bakar Syatha’ ad-Dimyathi penulis kitab I’anah, Syekh Sa’id al-Yamani, dan para masyayikh dan asyraf lainnya yang tinggal serta mengajar di tanah suci Makkah.[1]
Pasca menamatkan pendidikannya, Syekh Abdul Hamid diberi amanah menjadi Imam Masjidil Haram di maqam/pengimaman madzhab Syafi’i.[2] Selain itu, Syekh Abdul Hamid juga diberi amanah menjadi pengajar tetap di pelataran Masjidil Haram, belum lagi di kediamannya Dar Ali Quddus di kampung Syamiyah beliau membuka pengajian yang dihadiri oleh para thalabah (santri) dari penjuru tanah air dan mancanegara. Diantara murid-murid beliau yang kemudian sukses meneruskan kiprah beliau di bidang keilmuan antara lain, Syekh Umar bin Abdul Jabbar, Sayyid Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Al-Batawi, Syekh Ahmad bin Abu Bakar Bakhuwar, dan beberapa murid lainnya yang turut meneruskan kiprah beliau.[3]
Selain aktif dalam dunia mengajar, Syekh Abdul Hamid juga aktif dalam dunia kepenulisan. Adapun beberapa karya beliau yang masyhur dikaji adalah Kitab Kanzun Najah Wa Surrur, Kitab Lathaif Al-Isyarah alaa Tashil Turuqat, dan Kitab Adz-Dzakhair Al-Qudsiyyah yang menerangkan tata cara ziarah ke makam Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun kitab yang dibahas kali ini merupakan salah satu karya beliau yang mengisahkan perjalanan Isra’ Mi’raj nabi dan kitab Nafahat Qabul ini berhasil diselesaikan oleh Syekh Abdul Hamid di Raudhah Syarif pada hari Kamis malam Jum’at di bulan Rajab pada tahun 1304 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 01 April 1887 Masehi di usia beliau yang masih terbilang muda, usia 27 tahun.
Jika kita mengacu pada pendapat ketiga tahun kelahiran beliau. Naskah ini disalin ulang pada tahun 1305 Hijriah yang kemudian salinan naskah ini disimpan lama di King Saud University. Oleh Ibn Abdul Jalil An-Namiriy naskah ini diketik ulang dan ditahqiq ulang secara digital dan diterbitkan kembali pada tanggal 15 Jumadil Ats-Tsani 1446 H/ 17 Desember 2024 M dengan wajah baru.
Dalam muqoddimahnya, Syekh Abdul Hamid al-Kuddusi memaparkan bahwa serampungnya menulis kitab ini, beliau membacakannya dihadapan jama’ahnya dalam memperingati malam Isra’ Mi’raj. Kitab ini berisi 10 pasal tentang kisah Isra’ Mi’raj yang mana Syekh Abdul Hamid meringkasnya dari kitab Dardir-nya Syekh Najmuddin Al-Ghithi dan Syarah-nya yang disusun oleh Syekh Qalyubi.
Hal unik yang dapat kita temui dalam kitab ini adalah adanya kata sambutan (taqridz) dari salah satu kawan beliau asal Mesir yang disenandungkan dalam sebuah syiir berjumlah 14 bait.[4]
Adapun keunikan lainnya yang dituliskan oleh Syekh Abdul Hamid Al-Kuddusi dalam kitab ini adalah, bahwasannya beliau menegaskan jika perjalanan Isra’ Mi’raj Rasulullah dilalui secara nyata bersama dengan jasad beliau, tidak dilakukan di alam mimpi. Sebagaimana yang dijelaskan berikut:
وكونهما بجسده الشريف صلى الله عليه و سلم لا في الرؤية المنامية
“Perjalanan Isra’ Mi’raj berlangsung dengan jasad mulia Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, tidak dengan penglihatan di alam mimpi.”[5]
Tentu apabila kita analisa menggunakan kacamata ilmiah, perjalanan Isra’ Mi’raj yang dilakukan Rasulullah ini menggunakan hitungan cahaya. Tidak menggunakan hitungan jam, menit, ataupun detik dan setidaknya penegasan ini menjadi bukti untuk menepis anggapan sarjana Barat yang tidak mempercayai kisah Isra’ Mi’raj ini. Karena bagi mereka hal tersebut merupakan bentuk cerita yang irasional (tidak masuk akal).
Waba’du, demikian paparan singkat mengenai salah satu karya dari Syekh Abdul Hamid Al-Kuddusi yang pembacaannya perlu kita lestarikan di tiap malam peringatan Isra’ Mi’raj, sebagaimana dahulu pernah dilaksanakan oleh para sesepuh kita menggunakan kitab Dardir yang pembacaannya dilaksanakan selama semalam suntuk pada tanggal 27 Rajab, malam Isra’ Mi’raj. Wallahu a’lam.
[1] Amirul Ulum, Al- Jawi Al-Makki: Kiprah Ulama Nusantara di Haramain, (Yogyakarta : Global Press, 2019), hal. 111 – 113.
[2] Letak pengimaman ini berada di sebelah mimbar khutbah permanen di pelataran Masjidil Haram tempo dulu dan tak jauh dari Maqam Ibrahim.
[3] Ibid, 115.
[4] Abdul Hamid Al-Kuddusi, Nafahatul Qabul Wal Ibtihaj, (Bangkalan : Ibnu Abdul Jalil An – Namiriy, 2024), hal. jim.
[5] Ibid, hal. 5