Sedang Membaca
Lu’lu’ Al-Qamar, Nadzam Tauhid Karya Kiai Qusyairi Shiddiq yang Terlupakan
Akmal Khafifudin
Penulis Kolom

Menempuh pendidikan di UIN KH. Achmad Shiddiq Jember prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah. Kini ia mengajar di Ponpes Darul Amien Gambiran, Banyuwangi. Penulis bisa disapa di akun Instagram @akmalkh_313

Lu’lu’ Al-Qamar, Nadzam Tauhid Karya Kiai Qusyairi Shiddiq yang Terlupakan

Lu’lu’ Al-Qamar, Nadzam Tauhid Karya Kiai Qusyairi Shiddiq yang Terlupakan

Kiai Achmad Qusyairi Shiddiq yang merupakan putra Kiai Muhammad Shiddiq Jember dari istri Ny. Maimunah dan mertua dari Kiai Hamid Pasuruan selain memiliki karya monumental yang berjudul Nadzam Tanwirul Hija’ alaa Matan Safinatun Naja, beliau ternyata memiliki karya lain yang masih berupa manuskrip tulisan tangan (makhtutat) dengan judul Lu’lu’ Al-Qamar.

Naskah manuskrip yang bisa dikategorikan sebagai naskah tunggal (codex unicus) ini ditemukan oleh Mukhammad Lutfi sebagai bahan thesis-nya di Ponpes Hidayatul Mubtadi’in, Desa Pancarkeling, Kec. Kejayan, Pasuruan dan disimpan oleh Gus Anwar Muhammad yang masih merupakan cucu ipar dari Kiai Achmad Qusyairi. Nadzam yang memiliki bahr (metrum) rajaz ini terdiri dari 30 halaman dan dua halaman sampul serta memiliki bait yang berjumlah 100 (Mukhammad Lutfi: 2024).

Disinyalir bahwa nadzam ini merupakan karya awal dari Kiai Achmad Qusyairi, hal tesebut terpatri dalam akhiran naskah ini. Dimana Kiai Achmad Qusyairi selesai menulis nadzam ini pada tanggal 25 Dzulhijjah 1330 / 4 Desember 1912 atau selisih 17 hari dari kelahiran organisasi Muhammadiyah. Berdasarkan thesis Mukhammad Lutfi, terdapat sisi keunikan Kiai Achmad Qusyairi terkait julukan (laqab) asal daerah beliau.

Pada umumnya Kiai Achmad Qusyairi menggunakan laqab AlFasuruani atau AlJimbari (Jember) pada beberapa naskah karya beliau, namun pada naskah Lu’lu’ Al-Qamar ini Kiai Achmad Qusyairi menyematkan laqab Al-Qimbuni sebagai asal daerah nya. Setelah dilakukan penelusuran lebih dalam oleh Mukhammad Lutfi, ternyata AlQimbuni adalah nama lain dari Gembong sebagai nama Pasuruan tempo dulu. Keunikan lain yang terdapat dalam naskah ini adalah adanya kuniyah (nama julukan) Abu Ridwan yang mendahului nama Kiai Achmad Qusyairi pada halaman awal kitab. Ternyata penisbahan Ridwan ini menunjukkan nama salah satu putra dari Kiai Achmad Qusyairi Shiddiq.

Baca juga:  Sabilus Salikin (7): Tarekat, Cara Mengamalkan Syariah

Keunikan yang lain dalam nadzam ini dapat kita lihat dalam bab mukadimah-nya. Jika kita amati dengan seksama dalam thesis Mukhammad Lutfi, kita dapat menjumpai bahwa 5 bait awalan nadzam ini strukturnya memiliki kemiripan dengan 7 bait pembuka dalam nadzam Alfiyah Ibn Malik. Pola struktur dalam pembukaan nadzam Alfiyah diterapkan oleh Kiai Achmad Qusyairi pada nadzam Lu’lu’ Al – Qamar ini. Mengingat Kiai Achmad Qusyairi belajar dan menghafalkan nadzam Alfiyah kepada guru panutannya Syaikhona Kholil bin Abdul Latif Bangkalan dan terdapat kemungkinan jika Syaikhona Kholil yang pertama kali membawa nadzam Alfiyah tersebut ke bumi Nusantara. Dikarenakan beliau mendapatkan sanad nadzam Alfiyah tersebut dari gurunya Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani dan Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, maka tak ayal jika Kiai Achmad Qusyairi menerapkan struktur nadzam Alfiyah ibn Malik dalam nadzam Lu’lu’ Al-Qamar hasil gubahannya (hal. 91).

Adapun materi yang termuat dalam nadzam ini adalah membahas perihal akidah / tauhid (teologi) Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Jika pada umumnya muatan ilmu akidah Aswaja yang dipakai di beberapa pesantren terfokus pada madzhab Asy’ari dengan kitab Ummul Barahin karya Imam Sanusi sebagai bahan ajarnya. Maka di nadzam Lu’lu’ Al-Qamar ini muatan teologi Aswaja – nya lebih terfokus kepada madzhab Maturidi. Dalam bait ketiga, Kiai Achmad Qusyairi menjabarkan bahwa nadzam ini merupakan gubahan ringkas dari kitab Bayan Aqidat Al Ushul karya Imam Abu Laits As Samarkhan dan Imam Abu Laits sendiri menganut madzhab teologi Imam Maturidi. Hal ini juga menunjukkan akan keluasan ilmu teologi yang dikuasai oleh Kiai Achmad Qusyairi, mengingat madzhab Asy’ari kajiannya lebih popular di bumi Nusantara ketimbang madzhab Maturidi. Jika pada madzhab Asy’ari kajian dalam kitab Ummul Barahin-nya lebih tersistematis perihal pembagian sifat wajib Allah, sifat muhal Allah, sifat jaiz Allah sampai sifat wajib Rasul, sifat muhal Rasul, dan sifat jaiz Rasul.

Baca juga:  Sastra (Pesantren), Bukan Sekadar Bercerita

Berbeda dengan karya Abu Laits yang digunakan oleh Kiai Achmad Qusyairi sebagai dasar dalam penulisan nadzam ini, muatannya minim pembahasan sifat-sifat dan hanya terfokus kepada nama para nabi dan rasul, nama malaikat, kitab, hari akhir, serta qadha dan qadar. Akan tetapi pembahasan pokok yang disebutkan dalam nadzam ini adalah status seorang hamba fasiq di hari akhir, ketaatan dan kemaksiatan yang erat kaitannya dengan qadha dan qadar, kemudian apakah iman dapat terbagi, serta apakah iman itu makhluk atau bukan. Tentunya nadzam Lu’lu’ Al-Qamar ini merupakan alternatif pemikiran teologi Ahlusunnah Wal Jama’ah di bumi Nusantara di tengah populernya madzhab Asy’ari dalam ranah kajian keilmuan di berbagai pelosok pesantren/dayah.

Waba’du, dari keringkasan tulisan ini dapat kita simpulkan bahwa betapa pentingnya bagi kita untuk merawat dan mem-pribumisasi ajaran para ulama’ nusantara kita sebagai sebuah usaha bahwa ulama’ lokal kita tak kalah hebatnya dengan para ulama’ yang berasal dari Timur Tengah. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
4
Ingin Tahu
3
Senang
3
Terhibur
2
Terinspirasi
3
Terkejut
3
Scroll To Top