Madrasah Darul Ulum di Mekkah Al-Mukarromah tempo dulu merupakan madrasah yang didirikan oleh kalangan cendikiawan dari tanah Jawi (Asia Tenggara), selain itu madrasah ini juga menjawab tantangan pelajar dari bangsa lain di Mekkah yang sering kali mengejek pelajar dari Jawi sebagai kalangan yang seperti sapi atau suka makan ular (padahal yang dimaksud adalah belut).
Selain itu, madrasah yang pertama kali dipimpin oleh Sayyid Muhsin bin Ali Al Musawwa Al Falimbani mengalami puncak kejayaannya pada masa kepemimpinan Syaikh Muhaimin bin Abdul Aziz Al Lasemi. Suami kedua Nyai Khairiyah Hasyim binti Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari tersebut, telah sukses menggembleng para pelajar dari Nusantara yang kelak menjadi ulama’ di daerahnya masing-masing dengan merintis Raudhatul Munadzirin, sebuah lembaga bahtsul masa’il fiqhiyyah yang menjawab seputar problematika fiqih di Makkah al-Mukarromah berdasarkan pendapat dari imam 4 madzhab.
Hasil dari bahtsul masa’il tersebut terkumpul dalam satu kitab yang berjudul “Tsamrah Ar – Raudhatul Syahiyyah Lithalabah ‘Ilm min Indunisiya bi Makkah Al-Mahmiyyah”. Kitab tersebut merupakan salah satu kitab hasil bahtsul masail murid-muridnya yang berhasil beliau selamatkan ketika Dinasti Saud menduduki dua tanah suci dan dibawa pulang ke Indonesia melalui perantara jama’ah haji asal Lasem.
Adapun salinan yang penulis miliki ini adalah foto copyan dari Agus Izzudin, menantu KH. Cholil Dahlan bin KH. Dahlan Cholil Pengasuh Ponpes Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang. Pada tahun 1988, kitab yang semula berbahasa Arab ini ditransleterisasi ke dalam bahasa Indonesia oleh Drs. Agus. H. Basyari Anwar, dosen bahasa Arab IAIN Sunan Ampel Kediri sebagai bahan ajar di Pesantren Lirboyo, Kediri.
Adapun beberapa anggota dari pelajar Madrasah Darul Ulum Makkah yang ikut serta dalam forum Raudhatul Munadzirin antara lain, Syaikh Zubair bin Umar Bojonegoro, Syaikh Dahlan bin Cholil Al – Jumbangi (ayah dari KH. Cholil Dahlan yang menamai Pesantren Rejoso, Jombang dengan Pesantren Darul Ulum), Syaikh Alwi bin Abdullah Ad – Dimmaki (Demak), Syaikh Muslih Affandi bin Dahlan Al – Kuddusi (Kudus), Syaikh Abu Syuja’ bin Munawwir Kediri, Syaikh Musthofa bin Nursalim Rembangi, Syaikh Masykuri Al-Lasemi, Syaikh Muhammad bin Yusuf Surabaya, dan Syaikh Sulaiman Kurdi Bojonegoro.
Adapun isi dari kitab ini adalah menjawab 178 problematika seputar fiqih yang terjadi di tanah suci Makkah al – Mukarromah dan disusun secara sistematis dengan terbagi menjadi 20 sub bab pokok pembahasan yang dimulai dengan kitab thaharah (bersuci) sampai kitab ‘itq (pembebasan budak). Sedikit dari beberapa masa’il fiqhiyyah unik yang diangkat kedalam kitab ini antara lain, Bagaimana hukumnya kuah sayur terasi, sucikah atau najis yang dima’fu ?
Bagaimana hukum menghisap rokok di dekat orang yang sedang membaca Qur’an dengan jarak kira-kira tiga hasta? Shalat di Hijir Ismail itu yang lebih utama di batu hijau (batas setengah lingkaran), ataukah ditempat yang dekat dengan Baitullah? Bagaimanakah hukumnya shalat mayit setelah shalat Asar di Mekkah atau tempat – tempat lain ? Boleh atau tidakkah memindahkan pengeluaran zakat ke tanah Haram agar memperoleh pahala yang berlipat ganda ? Orang mengghasab kitab yang sudah diberi makna dan tanda – tanda, lalu tanda – tanda dan makna tersebut dikutip. Bolehkah kemudian orang tersebut mengambil manfaat dari tanda – tanda dan makna yang dikutip dari kitab ghasaban tersebut?
Waba’du, masih banyak masail-masail fiqhiyah unik yang dialami dan ditanyakan oleh sebagian pelajar di Madrasah Darul Ulum yang tergabung dalam forum Raudhatul Munadzirin yang digagas oleh Syaikh Muhaimin bin Abdul Aziz Lasem tersebut.
Melalui tulisan ringkas ini, penulis mengharapkan kepada pemerhati Turats Ulama’ Nusantara dimanapun berada agar memperbanyak kembali kitab ini sebagai bukti ilmiah bahwasannya ulama’ di negeri kita ketika menimba ilmu di tanah suci Makkah dan Madinah tak kalah hebatnya dengan ulama’ dari negara lain dan pembahasan yang ada dalam kitab ini dirasa masih cukup relevan digunakan sebagai refrensi di masa sekarang. Wallahu a’lam.