Padangan merupakan sebuah bagian kecamatan di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan kota Cepu, Jawa Tengah, di sisi baratnya dan Kabupaten Ngawi di sisi selatannya.
Kecamatan ini terkenal sebagai embrio cikal bakalnya NU Cabang Bojonegoro dan NU Cabang Cepu. Adalah KH. Hasyim Padangan, Bojonegoro yang bermukim di Dusun Jalakan. Beliau diperkirakan lahir sekitar tahun 1850 Masehi. Belum ada data yang pasti tentang asal usul beliau dan sanad tranmisi ketersambungan nasabnya dengan tokoh – tokoh besar tempo dulu.
Dalam buku “Lahirnya NU Bojonegoro: Hikayat Padangan Kota Cahaya” karya dari Ahmad Wahyu Rizkiawan, tertulis bahwa Kiai Hasyim Padangan yang berasal dari desa Ngasinan, Padangan pernah melakukan rihlah tholabul ilmi ke pesantren Langitan, Widang, Tuban, pesantren Purworejo, Padangan yang diasuh oleh Kiai Tholabuddin, dan menurut cerita tutur Kiai Zainal Arifin[1], beliau pernah nyantri di Bangkalan kepada Syaikhona Kholil serta pernah nyantri di tanah Haramain.
Menurut KH. Machsun Utsman, pengasuh Ponpes Assalam, Cepu yang merupakan cucu dari Kiai Hasyim Padangan, kakeknya dahulu mulai satu pesantren dengan Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari ketika di Langitan. Namun posisinya Kiai Hasyim Padangan posisinya sudah sebagai senior dan lurah pondok dan Kiai Hasyim Asy’ari baru masuk di Langitan.
Selain satu pesantren di Langitan, tercatat bahwa duo Kiai Hasyim ini juga pernah bersama dalam satu pesantren lain, yakni di Bangkalan. Adapun menurut Kiai Furon Azmi, peneliti Sarkub Institute, sosok guru lain Kiai Hasyim Padangan yang turut mewarnai corak dakwahnya adalah seorang waliyullah bernama Sayyid Abdurrahman bin Hasyim Basyaiban yang makamnya terletak di maqbarah Purwoewjo, Padangan.
Diantara santri-santri masyhur Kiai Hasyim Padangan adalah KH. Baidlowi Lasem, KH. Ahmad Bisri Mbaru, Bojonegoro, KH. Bisri Musthofa Rembang, dan beberapa ulama’ Padangan yang nantinya bahu membahu bersama Kiai Hasyim Padangan untuk memprakarsai berdirinya NU Padangan.
Pada tahun 1938, NU Padangan sebagai cikal bakal NU Bojonegoro pun lahir bersamaan dengan NU Cepu, kesuksesan tersebut merupakan berkat hubungan relasi Kiai Hasyim Padangan dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah yang selalu mampir ke kediamannya seusai mengunjungi KH. R Asnawi Kudus.[2]
Adapun untuk kelahiran NU Cepu sendiri, Kiai Hasyim Padangan mengkoordinir pendirian organisasi tersebut melalui perantara menantunya yang bernama KH. Utsman bin KH. Abu Syukur yang tinggal dan mendirikan pesantren di Cepu. Selain memiliki andil besar dalam pendirian NU Bojonegoro dan NU Cepu, Kiai Hasyim Padangan juga berkontribusi di bidang karya tulis yang fokus kajiannya lebih ke ilmu alat / nahwu shorof. Adapun karya – karya beliau yang sampai saat ini masyhur adalah kitab Tasrif Padangan, kitab terjemah nadzam Imrithi, kitab terjemah nadzam Alfiyah Ibn Malik, dan kitab terjemah nadzam Maqshud.
Jika kebanyakan pesantren menggunakan kitab Amsilati At Tashrifiyah karya KH. Ma’shum bin Ali Jombang sebagai kitab panduan untuk mengidentifikasi genealogi kata dalam bahasa Arab, maka Kiai Hasyim Padangan memiliki kitab Tashrifan yang serupa. Entah mengapa kitab Tashrif Kiai Hasyim Padangan ini kurang begitu populer ketimbang kitab Tashrif karya Kiai Ma’shum Ali, padahal konsonan kata yang dimuat beliau dalam kitab Tashrifnya lebih komplit beserta dengan catatan kecil penjelasannya.
Pada perhelatan Bahtsul Masa’il Fiqhiyah Muktamar NU ke – XII tahun 1937 di Malang, Jawa Timur, kitab Tashrif Kiai Hasyim Padangan menjadi perbincangan hangat di kalangan muktamirin.[3] Saat itu sebuah pertanyaan tentang kitab Tashrif tersebut diajukan demikian, “Mengapa kitab Tasrifan karangan Kiai Hasyim Padangan tidak dimulai dengan Basmalah, tetapi dengan fa’ala yaf’ulu ?”.
Dari pertanyaan tersebut, menghasilkan sebuah jawaban demikian, “Sesungguhnya permulaan dengan Bismillah itu sunnah dan mulai dengan Bismillah itu cukup dengan ucapan walau tidak tertulis. Sebaiknya harus diyakinkan bahwa si pengarang telah mulai ucapan Bismillah dengan ucapan yang tidak tertulis. Agar si pengrang diyakinkan menjadi seseorang yang hidup bahagia atau mati syahid”[4].
Jika kita runtut secara periodisasi, perbincangan hangat di arena muktamar NU tersebut terjadi setahun sebelum NU Padangan didirikan. Selain kitab Tashrifan Padangan, Kiai Hasyim Jalakan memiliki karya lain yang unik berupa kitab terjemah nadzam Imrithi. Jika kitab tashrifan Padangan yang kami temukan memiliki enskripsi parateks bertarikh 1405 H / sekitar kurun 1984 – 1985 M, maka di kitab nadzam Imrithi ini tidak kami temukan tarikh enskripsi parateks yang biasanya tertera di halaman awal atau di halaman akhir.
Gaya penerjemahan Kiai Hasyim Padangan di kitab ini memiliki corak khas tersendiri. Jika pada umumnya para Kiai kita memaknai kata “Alhamdu” dengan “Utawi sekabehane puji”, maka Kiai Hasyim Padangan menerjemahkan makna “Alhamdu” dengan kata “Utawi jenise puji”. Dalam terjemah nadzam Imriti tersebut, diksi kebahasaan yang digunakan oleh Kiai Hasyim Padangan lebih menggunakan bahasa jawa halus, meski tidak kromo inggil sepenuhnya.
Waba’du, Kiai yang produktif menulis di bidang ilmu alat tersebut akhirnya wafat pada tahun 1942 di usia 90 tahun, tepat ketika Jepang menjajah bumi Nusantara. Saat diperingati Haul Kiai Hasyim Padangan, banyak mayoritas jama’ah yang hadir merupakan santri & mutakhorijin pesantren Al Anwar, Sarang yang diasuh oleh KH. Maimoen Zubair. Salah satu faktornya adalah Mbah Moen semasa hidupnya pernah memberikan wejangan saat ada pengajian umum di Cepu, bahwa tanah sebelah timur kota Cepu (maksudnya Padangan) adalah lemah sepuh (tanah yang tua) yang pernah ditempati ulama besar ahli nahwu shorof, Kiai Hasyim Padangan. Wallahu ‘alam.
[1] Pengasuh Pesantren Al Musthofa, Jalakan, Padangan, Bojonegoro.
[2] Ahmad Wahyu Rizkiawan, “Lahirnya NU Bojonegoro : Hikayat Padangan Kota Cahaya” , (Bojonegoro, Nuntera : 2021), hal. 19
[3] Muhammad Arief Albani, “Memahami Nahdlatul Ulama’ “, (Banyumas : CV. Cipta Media Nusantara, 2021), hal. 88.
[4] Ahkamul Fuqoha’, No. 198, Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama’ ke – XII di Malang pada tanggal 12 Rabiuts Tsani 1356 H / 25 Maret 1937.