Sedang Membaca
Sejarah Diturunkannya Syari’at (1): Mengenal Sejarah Syari’at Islam
Alwi Jamalulel Ubab
Penulis Kolom

Santri Ma'had Aly Assidiqiyyah Kebon Jeruk Jakarta.

Sejarah Diturunkannya Syari’at (1): Mengenal Sejarah Syari’at Islam

Whatsapp Image 2021 04 26 At 9.55.49 Pm

Pada dasarnya  semua agama “samawi” itu sama. Entah itu Yahudi, Nasrani maupun Islam sama-sama menyembah Allah sebagai tuhannya. Yang membedakan di antara agama-agama samawi tersebut dengan Islam ialah “masa berlaku” nya yang sudah habis. Islam datang sebagai agama pembenaran, pembaharu, penyempurna ajaran dan juga penghapus syariat yang telah habis masa berlakunya.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ اِلَّا نُوْحِي اِلَيْهِ اَنَّهُ لَا اِلَهَ اِلَّا أَنَا فَاعْبُدُوْن

“Kami tidak mengutus utusan sebelummu (Muhammad) kecuali kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan selain aku maka sembahlah aku” (21/25)

Syariat Islam sebagai syariat terakhir yang turun dari Allah merupakan  titik tumpu dan pusat dari syariat agama sebelumnya. Syariat  yang sempurna, agama sempurna dan menyempurnakan (5/3). Sehingga tentunya dengan adanya syariat Islam sebagai pembaharu, syariat sebelum Islam bisa dikatakan expire.

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ الْاِسْلَامَ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْكِتَابَ اِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِأيَتِ اللهِ فَاِنَّ اللهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ

“Sungguh agama (yang diridhai) disisi Allah adalah agama Islam. Mereka (ahli kitab) tidak bersengketa kecuali setelah datang kepada mereka pengetahuan karena berbuat keburukan diantara mereka. Barang siapa yang mengkufuri ayat-ayat Allah maka sungguag Allah adalah dzat yang paling cepat untuk mengoreksi (membalas)” (3/19).

Dengan adanya Islam sebagai pembaharu, menurut keyakinan penulis, mengikuti agama lain tidak dibenarkan. Karena Islam sudah mengklaim hak “sah”nya lewat firman Allah di atas.

Baca juga:  Mengapa Indrapura Ada di Mana-Mana?

Definisi “Syari’at” dan “At-Tasyri’”.

Syari’at atau syar’i adalah bentuk masdar dari lafadz syara’a yang memiliki arti dasar “bejana air yang digunakan untuk minum”. Kemudian lafadz tersebut digunakan oleh orang Arab untuk arti “jalan yang lurus”.  Mempertimbangkan titik temu keduanya yakni sama-sama menjadi jalan untuk menghidupkan dua unsur, ruhani dan jasmani.

Syekh Manna’ Al-Qattan dalam kitabnya “Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami”   menjelaskan arti syariat Islam dengan demikian.

والشريعة الاسلامية فى الاصطلاح: ما شرعه الله لعباده من العقائد والعبادات والاخلاق والمعاملات ونظم الحياة فى شعبها المختلفة لتنظيم علاقة الناس بربهم وعلاقات بعضهم ببعض وتحقيق سعادتهم فى الدنيا والاخرة

 “Syariat Islam adalah hal (jalan, metode) yang disyariatkan oleh Allah kepada hamba-hambanya mencakup teologi, ibadah, etika,  transaksi dan runtutan kehidupan dalam bagiannya yang berbeda-beda guna menjaga hubungan antara manusia dengan tuhannya, antar sesama manusia juga sebagai penentu kebahagian dunia dan akhirat”.

Syariat dalam artian di atas merupakan jalan atau konsep mutlak yang diberikan untuk mencapai sa’adat al-‘abadiyah. Syariat yang datang dari Allah “Al-Syari’ Al-Awal” berbeda jauh dengan “Qanun Al-Wad’i”, undang-undang umum yang dibuat manusia yang bersifat inkonsisten. Syariat dengan At-Tasyri’ Al-Ilahiyyat (datang dari tuhan) dan Qanun Al-Wadh’i dengan At-Tasyri’ Al-Wadh’i (buatan manusia) sangatlah jauh berbeda.

Perbedaan antara Qanun Al-Wadh’i dan Syariat Islam

Sebenarnya tidak dijelaskan pun antara Qanun Al-Wadh’i dengan syariat Islam memang jelas berbeda. Akan tetapi tidak salah jika menyebutkannya untuk mempertegas jarak tingkatan perbedaan antara keduanya.

Baca juga:  Inilah Profil Raja Abraha yang Siap Melumat Kakbah

Pertama, Qanun Al-Wadh’i (undang-undang umum) jelas bersifat inkonsisten karena dibuat manusia yang memiliki kepentingan pribadi. Telah banyak contohnya peraturan di suatu daerah yang hanya mementingkan dan menguntungkan satu pihak saja. Beda halnya dengan syariat Islam yang datang dari Allah yang konsisten karena tidak memiliki kepentingan apapun dengan makhluk.

Kedua, Qanun Al-Wadh’i memiliki batasan. Batasan yang dimaksud mencakup daerah, masa dan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat. Contoh gampangnya, sistem khilafah yang sering dikoar-koarkan oleh kelompok tertentu itu (yang berlaku di zaman Khulafaurrasyidin)  tidak mungkin bisa diterapkan di Indonesia. Karena Indonesia dikonsensuskan sejak dulu merupakan negara demokratis yang bhinneka tunggal ika, terdiri dari banyak kalangan suku, etnis dan umat beragama. Berbeda halnya dengan syariat Islam yang kemanfaatannya tidak memiliki batasan. Berlaku  di seluruh daerah, di sepanjang zaman dan sudah tentu sesuai dengan kebutuhan manusia. Adapun jika ada yang beranggapan syariat Islam itu berat, maka dia belum  melihat dan memahami kenyataan dan hakikat Islam itu agama yang mudah.

Ketiga, Qanun Al-Wadh’i tidak membahas etika, hanya permasalahan umum kemasyarakatan yang juga sifatnya kadang tak mempedulikan etika. Sangat kontradiktif dengan syariat Islam yang sangat mengutamakan etika. Pembelajaran etika dan moral serta budi pekerti menjadi salah satu modal utama dan termasuk ke dalam yang urgen dalam agama Islam. Sudah mafhum, kiranya hadist Nabi SAW “innama bu’istu liutammima makarima al-akhlaq”, aku diutus untuk menyempurnakan etika yang mulia.

Baca juga:  Al-Ma'mun dan Lelaki Berjenggot

Daur At-Tasyri’

Daur At-Tasyri’ atau perjalanan pensyariatan dalam Islam mempertimbangkan peristiwa politik dan kemasyarakatan yang memiliki efek pada fikih Islam memiliki beberapa tahapan dalam perkembangannya.

Pertama, masa pensyariatan hukum. Terjadi  pada zaman Rasulullah sampai wafatnya beliau.

Kedua, masa perkembangan fikih awal. Terjadi pada masa pemerintahan Khulafaurrasyidin (11-40 H).

Ketiga, masa perkembangan fikih tahap kedua. Terjadi pada masa sahabat Nabi kecil dan masa Tabi’in sampai pada permulaan abad kedua hijriah.

Keempat, masa perkembangan fikih tahap tiga. Terjadi pada masa permulaan abad kedua sampai pada pertengahan abad keempat.

Kelima, masa perkembangan fikih yang keempat. Terjadi pada masa pertengahan abad keempat sampai pada jatuhnya pemerintahan Baghdad (656 H)

Keenam, masa perkembangan fikih yang kelima. Dimulai dari runtuhnya Baghdad sampai waktu sekarang.

Dari keenam fase perkembangan fikih mempertimbangkan  peristiwa politik dan kemasyarakatan tersebut, pusat “At-Tasyri’ wa Syari’at” adalah masa diutusnya Nabi sampai beliau wafat. Karena pada hakikatnya fase selanjutnya hanya merupakan rangkaian implementasi dari syariat yang sudah ada. Wallahu a’lam.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top