Melihat pada kalender tahunan, Isra Mi’raj akan pada 11 Maret 2021 atau tepatnya 27 Rajab 1442 H. Seharusnya kebanyakan umat Islam merayakannya dengan mengadakan pengajian-pengajian atau hanya sekedar melakukan marhabanan bersama untuk memperingatinya. Namun, pada tahun ini perayaan mungkin akan dilakukan secara individual karena covid yang belum mereda. Isra Mi’raj mungkin akan dirayakan secara senyap pada tahun ini.
Berbicara mengenai Isra Mi’raj. Di dalam keduanya terdapat kisah tentang Nabi yang melakukan perjalanan dua kali dengan dimensi ruang dan waktu yang berbeda, “dunia dan langit”. Dimensi yang cukup membuat orang-orang Islam pada waktu itu bertanya-tanya: “apa benar iya, ada seseorang yang sanggup melakukan perjalanan dari Mekkah ke Bait Al-Muqaddas dengan hanya satu malam?. Apalagi pernyataan keduanya Nabi mengaku melakukan perjalanan ke langit, sidratul muntaha”.
Yap, pertanyaan tersebutlah yang menggoyahkan keimanan beberapa muallaf sehingga ada dari mereka yang keluar dari Islam pada waktu itu. Namun, tidak bagi Abu Bakar. Sahabat Nabi yang satu ini kukuh dengan pernyataan Nabi. Ia berkata ketika ditanya oleh kaumnya: “lihatlah bagaimana kelakuan sahabatmu ini, masa dia mengaku telah mengunjungi Bait Al-Muqaddas dalam satu malam”. Abu Bakar menjawab:” Kalau Nabi berkata lebih dari itu akupun akan mempercayainya”.
Keteguhan iman yang mantap dari Abu Bakar sehingga membuat orang-orang Kafir mencoba membuktikan kebenaran pernyataan dari Nabi. Mereka menanyai Nabi terkait beberapa pertanyaan mengenai ciri-ciri dari Bait Al-Muqaddas dan apa saja yang ada di jalan tempat yang ia rasa telah melaluinya. Dan mengejutkan mereka, Nabi dapat menjawabnya dengan sempurna.
Baik, perjalanan dari Mekkah ke Bait Al-Muqaddas (Isra’) telah terbukti kebenarannya. Lantas bagaimana dengan pengakuan Nabi akan Mi’raj (perjalanan dari Bait Al-Muqaddas ke Sidratu-l- Muntaha)?.
Kh. Muhammad Musthofa Aqil, Pengasuh Ponpest Khas Kempek menjelaskannya dengan sangat gamblang: “ Al-Isra’ dalil Al-Mi’raj (Isra’ itu dalil kebenaran Mi’raj). Jika Isra’ saja terbukti maka bagaimana mungkin Mi’raj itu bohong. Justru di Isra’kannya Nabi ke Bait Al-Muqaddas itu untuk menjadi bukti kebenaran dari Mi’raj, karena untuk Isra’ itu ruang lingkupnya masih dalam ruang lingkup manusia. Masih terkait dengan dimensi ruang dan waktu jadi masih bisa dibuktikan kebenarannya. Nah, kebenaran dari Isra’ itu kemudian dijadikan dalil untuk menunjukan keautentikan dan kebenaran Mi’raj” tangkas Kiai Musthofa.
Tidak hanya itu, perjalanan Nabi pada Isra’ Mi’raj tersebut yang diabadikan pada beberapa ayat surat Al-Isra (17) dan surat An-Najm (53) menunjukan beberapa keistimewaan Nabi sebagai sayyid Al-Mursalin.
Dalam Hasyiah Al-Sawi ala Tafsir Al-Jalalain, Ahmad Al-Sawi (1175-1241 H) menyebutkan bahwa Nabi Muhammad itu istimewa. Keistimewaan Nabi dapat dilihat dari cara Allah memperlakukannya. Pada surat Al-Isra (17/1) Allah menyebut Nabi Muhammad dengan kata “Al-Abd’” yang memiliki arti hamba. Kenapa demikian?.
Ahmad Al-Sawi menyebutkan demikian:
(قوله بعبده) لم يقل بنبيه ولا برسوله اشارة على ان وصف العبودية أخص الاوصاف وأشرفها لانه اذا صحت نسبة العبد لربه بحيث لا يشرك فى عبادته له احدا فقد فاز وسعد
“(Firman Allah Bi Abdihi): Allah tidak menggunakan kata Nabi ataupun Rasul menunjukan bahwa sifat ubudiyyah, kehambaan merupakan sifat yang paling istimewa dan mulia. Karena ketika seorang hamba telah diberi “stempel” demikian (sekiranya tidak melakukan kemusyrikan) maka ia telah mendapatkan kebahagiaan”.
Ayat tersebut menunjukan keistimewaan Nabi yang sangat sempurna. Di mana Allah memberikan pangkat tertinggi seorang makhluk kepada Nabi Muhammad, yakni ubudiyyah, penghambaan.
Namun, tidak hanya itu yang menarik menurut saya. Ada satu lagi qaul ulama yang sempat membandingkan antara Nabi Muhammad dengan Nabi Musa. Tepatnya kehebatan diantara keduanya. Seorang sufi yang bernama Imam Al-Bara’i mengatakannya demikian:
وان قابلت لفظة لن ترانى * بما كذب الفؤد فهمت معنى
فـان الله كلم ذاك وحيا * وكلم ذا مشافهة وأدنى
فموسى خر مغشيا عليه * واحمد لم يكن ليزيغ ذهنا
“Jika engkau membandingkan ayat لن ترانى (7:143) dengan ayat ما كذب الفؤد (53:11 ) maka engkau akan memahaminya.
Allah berdialog dengannya (Musa) sehingga diberi gelar Al-Kalim dengan wahyu (tidak langsung) sedang Nabi Muhammad berdialog secara Musyafahah (langsung) dan begitu dekat.
Ketika Musa meminta untuk bisa melihat Allah, Musa jatuh tersungkur dan pingsan sedang Nabi tidak gentar sedikitpun hatinya”.
Dari ketiga bait di atas dapat diambil tiga perbedaan antara Nabi Musa as dan Nabi Muhammad SAW. Pertama, dilihat dari lafadz lan taraani (engkau tidak akan bisa melihatku) kalimat ini adalah penggalan dari ayat Al-Qur’an (7/143). Di mana pada ayat tersebut menunjukan dialog antara Nabi Musa dengan Allah SWT. Nabi Musa menginginkan melihat Allah. Namun, Allah menolaknya dengan tegas bahwa Nabi Musa tidak akan mampu.
Berbeda halnya dengan yang terjadi dengan Nabi Muhammad, ketika Nabi dimi’rajkan Nabi melakukan dialog langsung dengan Allah SWT dibuktikan dengan ayat ma kadzaba al-Fuadu ma ra’a (hati tidak membohongi apa yang dilihat) ayat Al-Qur’an (53:11).
Yang kedua, Nabi Musa diberi gelar Kalim Allah (yang berdialog dengan Allah) akan tetapi hanya lewat wahyu saja berbeda dengan Nabi Muhammad yang ketika dimi’rajkan berdialog langsung dengan Allah.
Yang ketiga, ketika Nabi Musa memohon untuk dapat melihat Allah dia pingsan tak sadarkan diri. Berbeda halnya dengan Nabi Muhammad yang tidak gentar hati ketika berdialog dengan sang Khaliq.
Sungguh mulia Nabi, alangkah beruntungnya umatnya. Semoga kita diakui sebagai umatnya. Amiin.