Ketika membahas ilmu Lughat al-arabiyyah (bahasa arab), maka yang terlintas pada kebanyakan pikiran orang secara keumuman ialah Nahwu-Sharaf.
Padahal tidaklah demikian, memang pokok dari segala pokok mengenai ilmu tata bahasa Arab ialah dua fan ilmu tersebut. Tapi, kenyataannya keduanya hanyalah cabang dari sekian ilmu gramatika bahasa arab. Masih banyak cabang ilmu lanjutan dari gramatika bahasa arab (Nahwu-Sharaf), seperti badi’, ma’ani, bayan dan lainnya.
Dan ada lagi, fan ilmu yang kurang familier, sedikit peminatnya, dan jarang diketahui kecuali oleh santri yang mondoknya lawas, yakni Arudh dan Qawafi.
Arudh adalah salah satu fan ilmu cabang dari ilmu Lughat al-‘Arabiyyah (bahasa arab) yang digunakan untuk mengidentifikasi kesahihan suatu syair arab baik klasik maupun kontemporer.
Fan ilmu ini dicetuskan oleh Imam Ahmad bin Kholil Al-Farāhidi (100-170 H, 718-786 M). Sedangkan temannya yakni ilmu qawafi (jamak;qafiyah) adalah ilmu yang digunakan untuk menimbang keselarasan akhir bait dari suatu syiir atau nadzam.
Kedua fan ilmu ini secara morfologi bagaikan Nahwu dan Shorof bagi Syiir Arab. Arudh membahas bangunan syiir, sedangkan Qawafi membahas akhir dari tiap-tiap bagian syiir.
Istilahالعروض Arudh sendiri berasal dari bahasa Arab yang mengikuti wazan fa‘ūlun فَعُوْلٌ yang memiliki arti kaidah-kaidah yang menunjukan al-mizān ad-Daqīq (timbangan rinci) yang dengannya dapat diketahui kesahehan dan keselarasan wazan-wazan syiir Arab dari yang rusak.
Ulama Arab berbeda pendapat dalam memaknai kalimat Arudh dan sebab penamaan fan ilmu ini dalam 6 pandangan:
pertama, kata Arudh العروض berasal dari kata al-‘ardh العرض yang berarti sama, simetris, sepadan, sebanding. Ulama yang berpendapat demikian beralasan dikarenakan setiap syiir nantinya akan dibandingkan dan diqiyaskan dengan mizan-nya (timbangannya), sehingga menghasilkan keselarasan atau tidaknya suatu syiir yang kemudian kita dapat mengetahui apakah syiir tersebut saheh atau fasid.
Pendapat ini juga didukung dengan ucapan yang sering didengar dari bangsa Arab هذه المسالة عرو هذه “ masalah ini sebanding dengan masalah ini”.
Kedua, Imam Kholil dikatakan menghendaki kata Arudh memiliki arti Makkah, di mana kata “Arudh” merupakan salah satu nama dari sekian nama lain kota Makkah. Imam Kholil menghendaki demikian dengan tujuan tabarruk (mengalap berkah) dengan kota Makkah, juga karena ilmu ini beliau cetuskan di kota Makkah melalui ilham dari Allah.
Ketiga, ada yang mengatakan Arudh berasal dari lafadz ” “الناقة الصعبة An-naqah As-Su’bah yang memiliki arti unta yang keras, dikarenakan sulitnya mempelajari fan ilmu ini.
Keempat, ada yang mengartikan Arudh dengan jalan di lereng gunung.
Kelima, kata Arudh merupakan majaz istiaroh dari lafadz an-Nahiyah yang memiliki arti sisi, atau bagian. Karena syiir sendiri merupakan salah satu bagian dari ilmu bahasa Arab.
Keenam, lafadz Arudh merupakan kata yang diambil dari bagian (satar) awal suatu syiir yang juga dinamakan dengan nama yang sama.
Dari keenam pendapat tersebut Dr. Muhammad Ali Al-Hasyimi (1925-2015 M), Dosen mata kuliah al-Adab al-Arabi,Universitas Al-Adab lil-banat Riyadh,Arab Saudi, dalam kitabnya Al-Arudh al-Wadih wa ilm al-Qafiyah condong pada pendapat yang pertama, yakni lafadz Arudh berasal dari lafadz Al-Ardh yang memiliki arti simetris atau sepadan.
Arudh dan Qawafi adalah dua fan ilmu yang langka, karena sangat jarang ada seseorang yang paham apalagi mencapai tingkatan mutabahhir (paham secara mendalam) mengenai kedua fan ilmu ini.
Bahkan untuk sekaliber santri yang identik dengan penguasaan kutub at-turats (kitab kuning). Dan sangat jarang sekali ada Pondok Pesantren yang mempelajari kedua cabang ilmu ini. Apalagi sampai menjadikannya kurikulum pesantren, mentoknya paling hanya dijadikan kitab pasaran balagh Ramadhan. Itupun bisa saya jamin hanya kitab dasar saja yang diajarkan sebagai pengenalan. Hukum mempelajarinya pun mubah.
Kenapa bisa sampai demikian, paling tidak ada beberapa hal.
Pertama, aksen mempelajari ilmu arudh dan qawafi begitu janggal di telinga, sebab ilmu ushul dan furu’ ad-Din (pokok dan cabang agama) seperti kalam, tafsir, ulum al-tafsir, hadist, ulum al-hadist, fikih, ushul fikih, kaidah fikih dan banyak yang lainnya masih banyak yang harus dipelajari dan didalami.
Bahkan, di era milenial ini, yang santrinya saja, untuk bisa dikatakan “paham secara mendalam” terhadap dasar gramatika bahasa arab yang digunakan untuk mempelajari semua fan ilmu tersebut (Nahwu dan Sharaf) adalah sesuatu yang dianggap sulit.
Lantas bagaimana seseorang yang notabene masih awam dan butuh pendalaman mengenai dasar agama hendak mempelajari ilmu yang digunakan untuk mengidentifikasi syair arab yang bahkan dasar gramatikanya (nahwu dan sharaf) saja masih butuh pendalaman.
Imam Al-Ghazali menyebutkan dalam karya monumentalnya “Ihya Ulum ad-Din” diantara wadzifah atau ketentuan yang harus ada pada seorang pencari ilmu ialah mendahulukan mempelajari ilmu yang paling penting untuk dipelajari terlebih dahulu, terlebih ilmu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Kedua, Ilmu Arudh dan Qawafi bukanlah Ilmu kaleng-kaleng atau ilmu sembarangan yang dapat dipelajari oleh banyak orang. Butuh penguasaan secara mendalam terlebih dahulu terhadap beberapa fan ilmu lainnya. Sebab kedua fan ilmu ini bisa dikatakan fan ilmu lanjutan bagi mereka yang memang sudah dikatakan benar-benar mahir dan menguasai gramatika bahasa arab (Nahwu dan sharaf).
Terlebih bahasa yang digunakan dalam syair arab biasa menggunakan lafadz-lafadz yang jarang digunakan, yang implikasinya seseorang yang hendak mempelajari dan mendalami ilmu Arudh minimal menguasai banyak kosakata bahasa arab.
Pengakuan akan sulitnya ilmu Arudh sendiri diakui oleh Dr. Umar Ath-Tiba’, Dosen mata kuliah Al-Adab al-Arabi, Universitas Al-Bannaniyah, Muhaqqiq kitab Ahda Sabil ila Ilmay al-Arudh wa al-Qawafi dalam muqaddimah kitab karangan Syekh Mahmud Musthafa mengatakan “Mereka (para ulama) mengakui bahwa mempelajari dan mendalami kedua fan ilmu Arudh dan Qawafi dari kitab-kitab ulama terdahulu membutuhkan pemahaman dan pendalaman yang tidaklah mudah. Karena terkadang seorang pelajar kesulitan menemukan ritme atau nada yang sesuai dengan wazan syiir, sehingga itu membuat mereka meninggalkan mempelajari ilmu ini sejak dari awal masuk”.
Dan cukuplah satu riwayat untuk membuktikan Arudh adalah ilmu yang sulit untuk dipelajari , Imam Al-Asmu’i , min- rijal-li-lughat, termasuk tokoh besar dalam ilmu bahasa arab berpaling setelah berusaha mempelajarinya dengan berguru pada Imam Kholil sambil berkata :
اِذَا لَمْ تَسْتَطِعْ شَيْئًا فَدَعْهُ ^ وَجَاوِزْهُ اِلَى مَا تَسْتَطِيْعُ
“Jika engkau tidak mampu untuk melakukan sesuatu maka tinggalkanlah, dan beralihlah melakukan apa yang engkau bisa”
Referensi :
Dr. Muhammad Ali al-Hasyimi. Al-Arudh al-Wadih wa ilm al-Qafiyah.1991.(Damaskus Daar al-Qalam)
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali.Ihya Ulum ad-Din.2011.(KSA:Daar al-Minhaj) Syekh Mahmud Musthafa, Ahda Sabil ila Ilmay Kholil al-Arudh wa al-Qafiyah.2005. (Libanon:Muassasah Al-Kutub At-Tsaqafiyah)Yahya bin Ali At-Thibrizi, Kitab al-Kafi fi al-Arudh wa al-Qawafi.1994. (Mesir: Maktabah al-Khanji)