Kebijaksanaan Nabi Muhammad tak perlu diragukan, sebab budi pekerti beliau adalah Al-Qur’an. Lalu, pernahkah ada seseorang yang meragukan kebijaksanaan Rasulullah? Bahkan sempat berburuk sangka kepada beliau?
Tentu saja banyak. Dan bukan saja orang kafir, melainkan ada dari golongan sahabat sendiri juga. Ya, teman seperjuangannya ada juga yang sempat meragukan Nabi Muhammad. Tak tanggung-tanggung, sahabat tersebut juga menjadi periwayat hadits terbanyak pasca Nabi Muhammad wafat. Ia bernama Abdurrahman ibnu Shakr, masyhur disebut dengan Abu Hurairah. Bagaimana bisa sahabat sehebat Abu Hurairah sempat meragukan kebijaksanaan Rasulullah?
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari ̶ nomor 6452 ̶ disebutkan bahwa Abu Hurairah pernah menuturkan sebuah kisah menakjubkan tentang dirinya, ahli Shuffah, dan Rasulullah. Abu Hurairah berkata, “Demi Allah yang tak ada Tuhan kecuali Dia, aku pernah merangkak di atas tanah gegara menahan rasa lapar. Tak hanya itu, aku juga pernah menahan perutku dengan batu agar rasa laparku tidak terlalu. Hingga pada suatu waktu, aku sedang duduk di jalan tempat ahli Shuffah keluar. Kulihat Nabi Muhammad lewat sambil menyungging senyum kepadaku. Agaknya Nabi Muhammad bisa menebak sesuatu yang tergambar dari wajahku dan yang terbesit di hatiku.
Nabi Muhammad kemudian memanggilku, “Abu Hir, ikutlah denganku!”
Beliau melanjutkan langkahnya dan aku mengikutinya dari belakang. Ketika Nabi Muhammad masuk ke dalam suatu tempat, aku pun meminta izin masuk juga. Kulihat di dalam tempat tersebut terdapat susu setempayan. “Dari mana susu ini?” tanyaku pada orang-orang di dalam tempat tersebut.
“Diberi oleh si Fulan,” jawab orang-orang.
Tiba-tiba Nabi Muhammad memanggilku, “Abu Hir, pergilah ke tempat ahli Shuffah dan undang mereka ke sini!’ Segera kulaksanakan perintah Rasulullah, tetapi terbesit perasaan mengganjal di dalam hatiku. Sepertinya ini tidak adil. Bukankah aku yang lebih berhak mendapatkan jatah sebagian dari susu itu ̶ dengan kondisi Abu Hurairah yang ‘cukup’ kelaparan ̶ , walaupun hanya sekadar untuk memulihkan tenagaku yang telah hilang?”
Setelah para ahli Shuffah datang, Nabi Muhammad memerintahkanku untuk memberikan susu itu kepada mereka. Dalam hatiku bertanya-tanya, “Apakah aku akan kebagian susu itu, jika semua ahli Shuffah meminumnya? Namun Aku harus tunduk atas segala yang diperintah oleh Allah dan Rasulullah.”
“Akhirnya, kuambil tempayan yang berisi susu itu, lalu kuberikan pada salah satu dari ahli Shuffah. Ia minum susu itu hingga puas, lalu mengembalikannya lagi padaku. Kulanjutkan memberikan tempayan kepada orang selanjutnya dan begitu seterusnya, hingga seluruh ahli Shuffah telah puas menikmati susu tersebut.”
“Tibalah pada giliran Nabi Muhammad. Lalu Nabi Muhammad mengambil tempayan tersebut, meletakkannya di atas tangan beliau, dan memandangku dengan tersenyum, ‘Abu Hir, sisanya untukku dan untukmu. Duduk dan minumlah!’. Aku segera duduk dan meminumnya.”
Setelah selesai minum, Nabi Muhammad memerintahku untuk meminumnya lagi. Begitu seterusnya, hingga aku berkata, “Cukup, wahai Rasulallah. Demi Dzat yang mengutus engkau dengan haq, tak ada tempat yang tersisa lagi di perutku ̶ untuk meminum susu itu.”
Nabi Muhammad lalu berkata, ‘Coba kulihat.’ Kuserahkan tempayan dan beliau memuji Allah serta mengagungkan-Nya, lalu meminum sisa susu di dalamnya.”
Hadis di atas memberikan hikmah tentang dampak negatif dari prasangka. Abu Hurairah mengira bahwa tindakan Nabi Muhammad tidak adil karena mendahulukan ahli Shuffah padahal Abu Hurairah lah yang sedang kelaparan, padahal Abu Hurairah belum mengetahui maksud dan tujuan tindakan Rasulullah. Maha Benar lah Allah yang telah mengingatkan manusia agar berhati-hati dengan prasangka, karena sebagian prasangka itu mengandung dosa. Wallahu a’lam