
Acapkali, banyak korsleting dalam cara kita memahami ajaran islam. Si paling punya slogan “An-nadhafatu minal iman” (kebersihan sebagian dari iman), tapi banyak sampah berserakan. Salatnya rajin, zikirnya panjang, wiridnya rutin, tapi buang sampah seenaknya, mencemari sungai, dan tak peduli pada lingkungan sekitar. Seolah-olah agama hanya urusan pribadi dengan Tuhan, padahal menjaga kebersihan dan lingkungan juga bagian dari amanah iman.
Dalam literatur hadis dijelaskan bahwa menjaga lingkungan dan keseimbangan alam merupakan salah satu bentuk keimanan terendah;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ، أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
Artinya:”Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Iman itu memiliki lebih dari tujuh puluh atau lebih dari enam puluh cabang. Cabang yang paling utama adalah mengucapkan La ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang dari iman.” (HR.Muslim no. 58)
Menyingkirkan gangguan dari jalan memiliki makna yang luas; tidak terbatas pada arti harfiah semata. Inti dari tindakan tersebut adalah mencegah terjadinya bahaya bagi orang lain. Dengan demikian, segala perilaku yang merugikan sesama—seperti sikap acuh terhadap lingkungan, membuang sampah sembarangan, menebang pohon semaunya, mencemari udara, dan sejenisnya—termasuk dalam kategori perbuatan yang bertentangan dengan semangat menjaga kemaslahatan. Jika sikap semacam ini kita abaikan, berarti kita tengah mengabaikan keimanan pada tingkat yang paling dasar.
Oleh karena itu, kualitas iman seorang Muslim dapat dilihat dari sejauh mana kepeduliannya terhadap lingkungan. Tidak peduli siapa pun ia, apakah seorang ulama besar, tokoh masyarakat, atau bagian dari organisasi ternama. Jika perilakunya merusak dan memperlakukan lingkungan seenaknya, berdampak buruk secara signifikan, dan tidak menaati peraturan yang berlaku, maka hal itu mencerminkan adanya cacat dalam keberimanan yang seharusnya menyatu dengan tanggung jawab menjaga alam.
Menjaga lingkungan bukan hanya berdampak positif terhadap keseimbangan alam dan keberlangsungan kehidupan di dunia, ia juga memiliki nilai spiritual yakni merupakan wujud nyata kasih sayang terhadap makhluk ciptaan Allah. Dalam ajaran Islam, siapa pun yang menunjukkan kasih sayang kepada makhluk di bumi, akan mendapatkan rahmat dan kasih sayang dari Allah.
الرَاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوْا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
Artinya;”Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Tuhan Yang Maha Penyayang. Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya Dia yang di langit akan menyayangi kalian.”(HR Al Baihaqi)
Sebagai seorang Muslim, sudah sepatutnya kita terus menyadari dan menginstrospeksi diri dalam memahami ajaran Islam. Islam bukan hanya tentang ibadah ritual antara hamba dan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan horizontal, yakni cara bersosial dengan sesama makhluk Allah. Keduanya harus berjalan beriringan. Jangan sampai kita hanya menekankan aspek vertikal, tapi mengabaikan hak-hak sosial dan lingkungan.
Begitu pula sebaliknya, jangan sampai kita hanya terlihat baik secara sosial, aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, ramah terhadap sesama, namun lalai dalam menjalankan kewajiban kepada Sang Pencipta alam. Islam mengajarkan keseimbangan. Maka dari itu, mari berislam secara kaffah (menyeluruh), jangan setengah-setengah. Wallāhu a‘lam.
Asyik. Semoga dibaca dan dihayati oleh wan-kawan