“Tidak Ada Udzur Dalam Berjuang.” Kata-kata ini diperkenalkan pada kita atas nama jargon KH Abdul Wahab Chasbulloh, atau sering kita sebut Mbah Wahab. Dalam hal ini, tentu beliau tidak menyuguhkan wacana belaka, tanpa perbuatan dan realisasi dari apa yang dikatakannya. Kita tahu, apa yang beliau nyatakan ini berbanding lurus dengan sepak terjangnya.
Sebagaimana diketahui, berbagai organisasi dan komunitas telah didirikan dan dijalankan oleh Mbah Wahab. Dari memimpin barisan perang, Mbah Wahab pernah menjadi komandan Markas Besar Oelama Djawa Timur (MOBDT) yang bermarkas di Jl. Blauran Gang 1 Surabaya, sampai menjadi pimpinan redaksi media massa (Swara Nahdlotoel Oelama’) juga termaktub dalam sejarahnya. Pengabdian dan kemerdekaan pun telah diperjuangkannya. Disanalah kebesaran Mbah Wahab terletak. Hingga beliau dikenal sebagai organisator dan aktivis yang cakap. Lalu pada akhirnya dianugerahi Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia pada 2014 lalu.
Lewat biografi-biografi yang tersebar, Mbah Wahab dikenal seakan-akan tidak memiliki karya berupa buku atau kitab tulisan terstruktur. Bahkan tidak sedikit yang berkesimpulan bahwa Mbah Wahab tidak memiliki karya tulis. Ini tidak mengherankan, sebab huruf-huruf Mbah Wahab “ditulis” tidak dalam bentuk aksara, namun kita bisa “membaca” huruf-huruf beliau tersebut lewat Taswirul Afkar, Nahdlatul Wathon, Syubbanul Wathon dan pastinya Nahdlatul Ulama’ (NU). Itulah huruf-huruf besar Mbah Wahab. Keilmuan-keilmuan beliau dituangkan dalam peristiwa-peristiwa yang penuh perjuangan. Tetapi itu semua bukan karya tulis.
Dalam berjuang di masa-masa awal pendirian NU, salah satu kawan Mbah Wahab adalah Kiai Saleh yang berasal dari Lateng, Banyuwangi. Kiai Saleh Lateng merupakan salah seorang kiai banyuwangi kelahiran 7 maret 1862 yang juga bertipikal kiai penggerak. Kedua kiai ini menjadi figur penting pada awal pendirian NU.
Bahkan Kiai Saleh, yang pernah menjadi aktivis sarekat islam ini, pernah ditunjuk oleh Mbah Hasyim dan Mbah Wahab sebagai anggota Mu’assis-Mukhtasar (tim formatur) pembentukan NU. Juga dalam hubungannya dengan NU, pada tahun 1934, pesantren Kiai Saleh pernah menjadi tuan rumah Muktamar yang ke-9.
Kiai yang juga mendirikan PCNU banyuwangi ini pada masanya ikut memegang peranan strategis dalam mengkonsolidasi jaringan ulama-santri untuk berdakwah dan mengawal kemerdekaan Indonesia. Beliau merupakan pendekar yang cukup gigih dalam perlawanan terhadap kolonial belanda.
Pada tahun 1950-an, Kiai Saleh wafat. Selain masjid, pesantren dan karya tulis, diantara peninggalan beliau yang berharga adalah perpustakaan pribadi. Konon, di perpustakaan ini ada banyak manuskrip dan arsip berharga terkait sejarah NU masa-masa awal. Dan diantara arsip yang berharga tersebut, ditemukanlah sebuah kitab karya Mbah Wahab.
“Iki kitab Panyirep Gemuruh karangan Kiai Haji Abdul Wahab Kertopaten Surabaya bin Kiai Hasbulloh Tambakberas Jombang bin Kiai Haji Sa’id bin Syamsuddin.”
Begitulah kutipan prolog dari kitab yang kemudian dinamakan Kitab Penyerap Gemuruh tersebut.
Pihak berjasa yang telah menemukan kitab ini adalah Komunitas Pegon. Mereka adalah komunitas yang berinisiatif mempublikasikan hasil penelusuran sejarah dan khazanah tentang pesantren dan NU di Banyuwangi. Kebetulan kitab ini juga ditemukan di Banyuwangi.
Kurang lebih, kitab ini terdiri dari 60 halaman, ditambah daftar isi, 4 halaman daftar salah cetak. Selain terbagi dalam 26 Fashl-fashl, cara kitab ini memberikan pemahaman yang runtut juga dengan memberi semacam Q&A, menjawab langsung pertanyaan yang diutarakan sendiri. Semisal pertanyaan tentang hal yang menyangkut korversi tanah makam menjadi masjid, atau tentang sholat di kuburan:
“Koyo opo karepe saben-saben kitab dawuh makruh sembhayang ing dalem kuburan podo ugo ing ndukure utowo madep?”
Kitab ini ditulis dalam bentuk aksara pegon dengan bahasa bercampur antara bahasa Jawa dan bahasa Arab. Namun sebagian besar menggunakan bahasa Jawa. Adapun penggunaan bahasa Arab biasanya digunakan ketika mengutip teks dari kitab lain atau ketika penggunaan istilah bahasa.
Dengan selisih yang jauh dengan zaman sekarang, bahasa jawa yang digunakan di kitab ini tentu tak sama persis dengan bahasa jawa yang sekarang. Beberapa kosakata telah kita kenal lewat kata-kata yang digunakan dalam memaknai kitab (baca: Maknani). Maka, kita, orang jawa yang hidup di zaman sekarang, barangkali belum tentu kesulitan untuk memahami kata per-katanya, namun akan lebih berpikir lagi untuk menggali dan memahami makna dari hubungan antar katanya.
Misalnya ketika mengartikan suatu hadits riwayat Ibnu Majah pada halaman 38, Beliau mengartikannya dengan: Lamun tumibo opo persulayaan antarane poro ulama’ moko wajib ingatase siro kelawan melu golongan kang luweh akeh serto haq lan ahli haq
“Iki buku nerangaken penggawehane jam’iyah takmir al-masajid anggedeaken masjid jami’ ing kampong penilih nomer 9 Surabaya.”
Kitab ini ditulis untuk keperluan masjid jami’ paneleh surabaya, menerangkan pekerjaan jam’iyah takmir masjid-masjid yang dibuat oleh Masjid Jami’ paneleh nomer 9 surabaya. Pembahasannya meliputi tentang permasalahan pemakaian tanah makam yang akan dipergunakan untuk perluasan masjid yang direhab, yang dibahas dalam berbagai perspektif fikih secara detail. Serta tentang hal-hal yang melingkupinya, seperti bagaimana hukum merawat masjid, seperti apakah pengertian Ijtihad, bagaimana hukum menggali tanah kuburan dan lain sebagainya.
Seperti karya ilmiah pada umumnya, Mbah Wahab juga mencantumkan referensi sedetail mungkin. Semisal ketika menerangkan tentang perincian Fardlu Kifayah, beliau menyatakan bahwa keterangan tersebut dikutip dari kitab Mufid Al-‘ulum Wa Mubid Al-humum karangan Imam Jamaluddin Abi Bakr Al-Khowarizmy di dalam Kitab As-sunnah, Bab yang ketiga, halaman 34.
Dalam kitab tersebut, Mbah Wahab mengambil referensi dari banyak kitab. Misalnya, Minhajul Qowim, Mufid Al-Ulum Wa Mubid Al-Humum, I’anah Ath-Tholibin, Jam’u Al-Jawami’, Al-Umnya Imam Syafi’i, Al-Asybah Wa An-Nadzoir, Khulasoh Al-Kalam, Bada’I’ Az-Zuhur dan lain sebagainya.
Kitab ini selesai ditulis pada 16 muharram tahun 1343 hijriyah. Mbah Wahab wafat pada tahun 1391 hijriyah dalam usia 83 tahun. Maka kemungkinan kitab ini ditulis ketika beliau masih berumur sekitar 35 tahun.
Tentu sebetulnya kitab ini bukan satu-satunya hasil perjuangan beliau di dunia tulis, hanya saja yang lain masih belum terekspos. Ini adalah salah satu perjuangan Mbah Wahab, perjuangan lewat karya tulis tepatnya. Sebenarnya tak sebegitu penting apakah seseorang akan berjuang lewat perang dengan pedang, lewat menggerakkan dengan pikiran, lewat mengalahkan dengan kekuatan, ataupun lewat kepenulisan dengan pena. Yang jelas dan esensial, adalah sudahkah kita mencoba?