Sedang Membaca
Perubahan Demografi NU, Gus Iqdam, dan Posisi “Ahli Maksiat”
Ahmad Suaedy
Penulis Kolom

Dekan Fakultas Islam Nusantara UNUSIA. Peneliti Islam Asia Tengara, menyelesaikan S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menulis beberapa buku.

Perubahan Demografi NU, Gus Iqdam, dan Posisi “Ahli Maksiat”

Img 20230917 153842

Sudah jamak diketahui bahwa hasil survei LSI Denny JA menunjukkan warga NU naik drastis dalam dua puluh tahun terakhir dari 27,5% di tahun 2005 menjadi 56,9% di tahun 2023. Melonjak hampir dua kali lipat.

Sedangkan Muhammadiyah, menurut Denny, justru mengalami penurunan drastis dalam 20 tahun terakhir, dari 9,4% di tahun 2005 menjadi 5,7% persen di tahun 2023. Menurun hampir separuhnya. 

Denny menduga, kenaikan afiliator drastis NU dan penurunan anggota drastis Muhammadiyah ini berkaitan dengan kaderisasi. Benarkah?

Tetapi saya juga menduga bahwa anggota Muhammadiyah yang 5,7% itu adalah anggota yang efektif dan nyata. Mereka melalui proses kaderisasi yang terstruktur, bisa akses pelayanan ke amal usaha serta memegang kartu anggota Muhammadiyah atau KARTAMU.

Ini didasarkan pada manajemen Muhammadiyah yang sangat tertib dan rapi termasuk dalam pengkaderan, data keanggotaan dan barangkali juga iuran anggota. 

Sedangkan sistem keanggotaan NU sebagian besar bersifat terbuka dan pasif. Mungkin kurang dari 5,7% yang memiliki KARTANU dan hampir tidak ada iuran anggota yang masuk ke kebendaharaan PBNU. Kecuali iuran untuk komunitas NU hingga kepengurusan yang paling bawah atau ranting dan anggota komunitas kegiatan tradisi dalam NU seperti tahlilan, yasinan, solawatan, barzanjian dan sebagainya yang kembali dan diperuntukkan untuk mereka sendiri.

Kaderisasi NU dengan semua organisasi otonomnya seperti Banser dan Ansor, Fatayat, Muslimat, IPNU, IPPNU, ISNU dan sebagainya baru sangat belakangan digencarkan. Bahkan, saya kira mereka yang melewati kaderisasi terstruktur belum mencapai 5,7 persen.

Baca juga:  Gus Dur dan Vespa

Jadi jika diukur keanggotaan resmi dan efektif, NU dan Muhammadiyah “11-12”. Ya tipis-tipislah bedanya. Namun, tradisi ketaatan warga NU bagi pemegang KARTANU maupun tidak, bahkan mungkin yang terakhir ini yang lebih taat, kepada para kiai, lapisan demografi paling hegemonik di dalam NU, maka di musim-musim pemilu sekarang ini menjadi daya tarik.

Saya lebih setuju dengan perkiraan Ketum PBNU, Gus Yahya, sebagaimana dinarasikan oleh Hamzah Sahal di status FB-nya kemarin. Sebagian sangat besar rekrutmen keanggotaan NU yang longgar dan pasif itu adalah dari para kiai dan gus-gus yang mengadakan kegiatan ritual dan pengajian rutin serta istiqamah di berbagai penjuru Indonesia. 

Gus Yahya juga sering mengatakan bahwa prinsip keanggotaan NU adalah mereka yang menganggap diri sebagai NU maka itu anggota NU. Itu sudah cukup. Karena itu, dengan prinsip ini, metode survei cocok untuk menguji naik turunnya keanggotaan NU. Namun untuk kader dan pengurus tentu saja harus melalui jenjang kaderisasi sebagaimana organisasi lain.

Mereka yang ikut kegiatan pengajian dan kegiatan-kegiatan ritual NU tidak hanya mereka yang secara canggih benar-benar memahami NU dan jenis-jenis amalannya, bahkan mungkin mereka tidak melakukan rukun Islam secara penuh. Dari sinilah timbul joke, bahkan mungkin joke itu sebenarnya berangkat dari kebenaran, bahwa warga NU tersebar di agama-agama lain, dan juga para “ahli maksiat”.

Baca juga:  Jelang Munas Alim Ulama (4): Gus Dur dan Ulama Lombok

Eit, sebentar dulu. Banyak kiai dan gus-gus NU yang pengajiannya tidak hanya diikuti oleh mereka yang sudah bai’at menjadi Nahdliyin dan saleh secara agama melainkan siapa saja boleh ikut. 

Pengajian Gus Miftah dan Gus Iqdam, misalnya, jamaahnya terdiri dari bukan hanya agama lain, melainkan juga dari para pemabok, kelompok punk, prostitusi dan “pemaksiat” yang lain. Gus Miftah banyak dakwah di kompleks-kompleks prostitusi dan juga mereka yang mengaku LGBT.

Kelompok-kelompok masyarakat itu selama ini dianggap sampah masyarakat dan dihindari oleh para pendakwah.  Para pendakwah umumnya lebih memilih mereka yang sudah mapan secara agama dan memiliki identitas keagamaan tertentu.

Sebaliknya, mereka semua itu diterima oleh Gus Iqdam sebagai anggota jamaahnya mengingat kelompok pengajiannya itu sendiri diberi nama “Sabilul Taubah, jalan menuju taubat.” Demikian juga prinsip Gus Miftah. Bagaimana mungkin menolak orang yang berniat mau bertaubat. Namun keduanya tidak memaksakan untuk bertaubah, keduanya hanya memberi petunjuk jalan yang benar menurut NU dan dipersilahkan untuk memilih. 

Dari proses rekrutmen anggota seperti itu maka bisa ditebak bahwa kini tampaknya telah terjadi perubahan demografi drastis keanggotaan NU selama 20 tahun terakhir. 

Jika di masa lalu anggota NU sebagian sangat besar adalah santri, mereka yang pernah nyantri di sebuah pesantren, maka kini tampaknya sudah berubah. Tentu santri menjadi inti dari keanggotaan NU, tetapi lapisan di luarnya sangat berwarna-warni dan mungkin tidak kalah tebalnya. 

Baca juga:  Siapakah Pengguna Media Keislaman Digital?

Berbagai kegiatan ritual NU, seperti tahlilan, barzanji dan solawatan  yang beberapa tahun lalu dihindari oleh kelompok masyarakat tertentu baik karena tampak kampungan maupun karena dianggap bi’dah, sekarang diikuti oleh kelas menengah dan bahkan kelas menengah atas, dan juga, ini penting: para pemaksiat tadi. 

Pengajian dan tahlilan di Istana presiden sudah menjadi jamak dan diikuti oleh kelompok yang sangat plural.

Dengan perubahan demografi itu menjadi penting pula pola governance terhadap keanggotaan oleh PBNU. Begitu juga governance terhadap para pemilih dalam suatu pemilu: pilkada, pileg, dan pilpres. 

Preferensi PBNU untuk hanya pasangan tertentu dan partai tertentu akan mengecilkan kenyataan demografi yang sudah berubah dan sedang mekar itu.

Santai aja menghadapi pilpres, yang penting datang ke TPS dan memilih! Menang atau kalah, itu urusan kita serahkan, istilah Gus Iqdam, kepada “Pusat”. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
5
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
3
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top