“Wahai nabi sesungguhnya kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah engkau berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang engkau miliki, termasuk apa yang engkau peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara-saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu, dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi ingin menikahinya, sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Kami telah mengetahui apa yang telah kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki agar tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab: 50)
Ayat ini sebagai bentuk legitimasi syariat yang dikhususkan kepada nabi Muhammad SAW. Dan tidak bisa dilakukan oleh selain Nabi. Hal ini sebagai bentuk penyebarluasan dan mempermudah ajaran risalah Kenabian, serta penyampaian dakwah.
Nabi Muhammad hidup bersama Khadijah suka dan duka selama tujuh belas tahun sebelum kenabian dan sebelas tahun setelahnya. Tidak terlintas dibenak beliau untuk menikahi wanita lain. Barulah setelah Khadijah wafat nabi berpoligami. Terlepas dari tuduhan barat yang menyatakan bahwa Nabi melakukan poligami hanya sebagai dorongan syahwat semata.
Allah swt. menghalalkan Nabi berpoligami bukan tanpa maksud dan tujuan. Salah satunya terdapat beberapa hikmah poligami Nabi. Syekh Muhammad Ali as-Shabuni menuturkan dalam karyanya Rawai’ul Bayan, diantara hikmah poligami nabi SAW:
Pertama, Hikmah Pendidikan. Tujuan pokok Nabi adalah menjadikan para istri sebagai pengajar dan pendidik masalah keagamaan khususnya bagi para penanya wanita. Mereka bertugas mengajarkan syari’at Allah SWT karena wanita juga dibebankan kewajiban hukum sebagaimana laki-laki.
Sebagian wanita diantara mereka malu untuk bertanya kepada nabi SAW perihal hukum syari’at berkaitan dengan kewanitaan semisal haid, nifas, junub, perkawinan, dan hal lainnya. Bukan tanpa alasan para wanita malu untuk bertanya kepada nabi, karena terkadang jawabannya berkenaan dengan hal intim.
Demikian pula Nabi SAW memiliki sifat pemalu, -Sebagaimana keterangan di beberapa literatur- bahwa beliau sangat pemalu melebihi diamnya perawan. Ketika ditanya permasalahan hukum wanita, Nabi tidak langsung menjawab pertanyaan dengan terang dan lugas. Terkadang Nabi menjawabnya dengan sindiran, yang kebanyakan tidak banyak dipahami oleh penanya. Salah satu contoh kejadian, Aisyah menceritakan suatu ketika ada seorang wanita dari kaum Ansor bertanya kepada Nabi SAW tentang tata cara bersuci dari haid, nabi menjelaskan bagaimana tatacaranya dengan menjawab “Ambillah sepotong kapas, dan gunakan untuk menyucikannya”. Karena masih bingung sang wanita tadi bertanya kepada nabi “ Bagaimana cara aku menggunakannya?”. Nabi hanya menjawab “Ya, Bersucilah menggunakan sepotong kapas”. Belum puas dengan jawaban nabi, sang wanita bertanya kembali “Ya Rasulallah, bagaimana cara aku menggunakannya? Kesekian kalinya nabi menjawab “Masya Allah, Gunakan kapas itu untuk menyucikannya.” Aisyah melihat kejadian tersebut menarik tangan sang wanita tadi dan mengajarkan tata cara yang dimaksud nabi. Maka baru mengertilah sang wanita tadi.
Di beberapa kesempatan, istri nabi seperti Aisyah menjadi salah satu tempat bertanya tentang hukum agama semisal haid, nifas, junub, dan hukum lainnya. Para istri nabi menjadi pendidik sejati. Dari merekalah para wanita arab waktu itu bisa mengerti dan memahami agama.
Kemudian telah diketahui bersama bahwa sunnah nabi bukannya hanya perkataan nabi saja, melainkan perkataan, perbuatan, dan ketetapan nabi. Maka siapa lagi selain Ummahatul Mukminin yang memiliki peran besar terhadap informan kehidupan dan keseharian Rasulullah terutama ketika beliau berada di kediaman?
Kedua, Hikmah ketetapan Syariat. Salah satu kebiasaan arab Jahiliyah pada masanya adalah mengadopsi anak. Menurut ajaran nenek moyang mereka, pengadopsian tersebut mengakibatkan hak-hak anak angkat sama dengan anak kandung, seperti harta warisan, talak, perkawinan, kemahraman. Salah satu hikmah poligami nabi adalah membatalkan hal yang menjadi kebiasaan arab Jahiliyah tadi.
Suatu ketika Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi utusan, beliau mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak. Sehingga masyarakat Jahiliyah waktu itu menyebutnya Zaid bin Muhammad. Akan tetapi nabi menegaskan dalam riwayat bukhari muslim “Engkau Zaid bin Haritsah bin Syarahil”.
Kemudian Allah memerintahkan kepada nabi untuk mengawinkan Zaid kepada Zainab yang tidak lain putri pamannya. Akan tetapi durasi perkawinan mereka tidak lama. Setelah mereka talak, nabi diperintahkan oleh Allah mengawini Zainab. Kejadian tersebut menjadi buah pembicaraan masyarakat Jahiliyah dikarenakan mengawini istri anaknya. Perkawinan Nabi tersebut sebagai bantahan terhadap ajaran agama nenek moyang masyarakat Jahiliyah yang menyamakan konsekuensi hukum anak angkat dengan anak kandung.
Ketiga, Hikmah Sosial. Nabi SAW Memperistri dua putri sahabatnya: Aisyah binti abu Bakar dan Hafsah binti Umar. Selain itu juga Nabi menikahi beberapa keturunan Quraisy agar mempererat ikatan kekabilahan dan memperkuatnya.
Nabi Muhammad tidak pernah memberikan penghargaan selama hidupnya yang lebih besar dari menjadikan putri abu Bakar dan Umar sebagai istrinya. Tentunya hubungan kemertuaan dan kekerabatan ini memiliki implikasi besar bagi perjuangan Islam.
Senada dengan membangun relasi kekerabatan terhadap Abu Bakar dan Umar, nabi juga memuliakan Utsman dan Ali dengan cara menikahkan keduanya dengan putri Nabi.
Keempat, Hikmah Politik. Pernikahan nabi dengan sebagian istrinya adalah upaya pelunakan hati mereka untuk masuk Islam, dan menyatukan kabilah di kawasan. Karena jika dari satu kabilah menikahi perempuan kabilah lain maka akan membangun relasi kekerabatan yang membuatnya berada di bawah pengawasan dan perlindungan dua kabilah sekaligus.
Juwairiyah adalah putri Haris bin Abi Dhirar kepala suku Musthaliq yang kebetulan menjadi tahanan perang bersama kabilah dan keluarganya. Maka, semua tawanan perang bersama suku Musthaliq berada di bawah kendali Rasulullah. Nabi memerintahkan sahabat untuk berbuat baik dan lemah lembut kepada para tawanan perang.
Kemudian Juawairiyah berkeinginan membebaskan diri dengan menyerahkan tebusan uang. Akan tetapi nabi menawarkan pengembalian uang tebusan tersebut dan berkehendak untuk mengawininya. Dan Juawairyah menerima tawaran nabi untuk menjadikan dirinya sebagai Istri. Maka semua tawanan perang dari suku Mushtaliq dibebaskan dengan cuma-cuma karena secara otomatis menjadi keluarga nabi. Melihat peristiwa tersebut semua suku Mushthaliq masuk Islam dan mereka menjadi orang yang beriman.
Perkawinan nabi menjadi keberkahan bagi suku Musthaliq dan keluarga Juawairiyah, karena menjadi penyebab mereka bebas dari tahanan dan memeluk Islam.
Akhirnya, pernikahan nabi bukanlah semata-mata hasrat nafsu birahi, akan tetapi adalah titah Allah SWT sebagai sarana dakwah yang menjunjung tinggi agama-Nya dan gerakan humanisme yang memperjuangkan martabat serta hak-hak wanita saat itu.