Sedang Membaca
Hassan bin Tsabit: Penyair Andalan Rasulullah

Nahdliyin, menamatkan pendidikan fikih-usul fikih di Ma'had Aly Situbondo. Sekarang mengajar di Ma'had Aly Nurul Jadid, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Menulis Sekadarnya, semampunya.

Hassan bin Tsabit: Penyair Andalan Rasulullah

Husein fahasbu

Nabi hidup dimana semarak sastra arab menemukan puncaknya. Pada waktu itu menjadi seorang penyair adalah idaman setiap orang. Sebab tinggi atau tidaknya posisi seseorang di hadapan kaumnya adalah tergantung syair-syair yang berkembang. Semakin hebat membikin syair semakin hebat pula di hadapan masyarakat. Jika pun tak bisa, maka mereka biasanya menyewa penyair untuk memuji dirinya atau komunitasnya.

Syair pada waktu itu bukan hanya sebagai seni tetapi ia juga menjadi identitas sosial. Bahkan ia bisa menjadi media untuk memuji diri sendiri dan menyerang musuh. Tiap ada perang antar suku, sebelum duel berlangsung biasanya ada pembacaan syair antar satu kelompok dengan kelompok lain. Al-Qur’an dihadirkan untuk menghapus kedigdayaan itu. Disebut bahwa tidak ada satupun penyair papan atas yang bisa menandingi sastra al-Qur’an.

Namun demikian, meski rasul sudah memiliki bekal al-Qur’an sebagai mukjizat, beliau memiliki penyair andalan yang bernama Hassan bin Tsabit. Nama lengkapnya adalah Hassan bin Tsabit bin Munzir bin Haram bin Amr bin Zaid Munat bin Adiy bin Amr bin Malik al-Najjar al-Anshari. Nama panggilannya adalah Abu al-Walid.

Hassan disebut-sebut sebagai penyair andalan nabi. Itu semua diakui sendiri oleh istri nabi, Aisyah. Dulu orang-orang Quraish menghancurkan personal dan marwah nabi dengan penyair-penyair. Penyair itu bertugas menyerang nabi dengan syair-syairnya. Mereka di antaranya adalah Abdullah bin al-Zibakra, Abu Sufyan bin al-Haris bin Abdul Mutthalib, Amr bin al-Ash, Dhirar bin al-Khattab.

Baca juga:  Teladan Toleransi Sahabat Nabi

Melihat tingkah mereka, yang terus-terusan menyerang nabi, seseorang mengadu kepada Ali bin Abi Thalib. Mereka mengadu sekalian meminta bersedia membalas cacian mereka. Ali kemudian mengiyakan tetapi dengan syarat ia harus mendapat izin dari nabi. Setelah disampaikan pada nabi ternyata beliau tidak memberi izin. Merespons itu, sahabat ada yang komentar:

“Apakah kita hanya akan menolong nabi dengan pedang-pedang kita? apakah kita tidak mau menolong beliau dengan lisan-lisan kita?”.

Dari kejauhan, seorang laki-laki berkata:

“Biar aku saja yang melakukan itu (membela nabi dengan lisan)”, ujar laki-laki yang belakangan diketahui bernama Hassan bin Tsabit.

Tetapi setelah itu tidak bermakna Hassan langsung menghajar balik mereka. Rasul masih keberatan. Aspek keberatan nabi adalah bagaimana mungkin kita akan menghajar mereka dengan syair-syair Hassan sementara nabi adalah bagian dari mereka. Bukankah Abu Sufyan masih anak paman nabi?

Solusinya sekarang ada di Abu Bakar. Ia laki-laki paling tahu nasab manusia pada waktu itu. Hassan mendatangi Abu Bakar dan mendata siapa saja yang akan dihajar balik. Abu Bakar kemudian merekomendasikan beberapa orang dan melarang beberapa orang.

Selain Hassan bin Tsabit, ada dua nama lagi dari kaum Anshar yang bertugas menghajar balik serangan syair kaum kafir. Dua orang itu adalah Ka’ab bin Malik dan Abdullah bin Rawahah. Sekiranya Hassan dan Ka’ab menghajar mereka tentang kejadian-kejadian dan fenomena-fenomena maka Abdullah bin Rawahah menghajar mereka dengan syair berisi konten kekafiran mereka dan tuhan mereka yang tak bisa mendengar dan memberi kemanfataan.

Baca juga:  Islam Politik di Indonesia: Persepsi, Aksi, dan Reaksi

Rasulullah senantiasa mensupport Hassan. Beberapa kali ia didoakan secara khusus oleh nabi. Misal doa nabi, “Hajarlah mereka kaum Quraish dengan syair-syairmu, Jibril selalu bersamamu”. Suatu waktu Umar bin Khattab melihat Hassan bin Tsabit bersyair di masjid. Ia kemudian menegur Hassan. Tahu ditegur oleh Umar, ia menjawab:

“Aku pernah bersyair di masjid dan di sana ada orang yang lebih baik dari kamu (yakni Nabi  Muhammad Saw.)”.

Banyak pujian beberapa tokoh sahabat atas keahlian Hassan. Tampak ia adalah contoh bahwa membela agama bukan hanya dengan perang fisik, tetapi dengan apapun yang kiranya bisa memberi manfaat pada agama, salah satunya dengan keahlian bersastra.[]

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top