Hari-hari ini umat Islam di Indonesia dihadapkan dengan dua polemik yang cukup menguras tenaga. Pertama adalah ihwal “dukhon”, kegelapan, yang sedianya terjadi pada tanggal 15 Ramadan namun gagal. Walau demikian, umat kadung gelisah, takut, dan stres. Di beberapa tempat, tersiar info, saking ketakutan akan kiamat itu masyarakat banyak yang enggan bekerja, enggan keluar rumah, menempuk stok makanan dan ekspresi-ekpresi ketakukan yang lain.
Setelah ditelusuri ternyata isu dukhon di atas bermula dari ceramah beberapa ustaz di Yotube. Dalam ceramahnya itu, sang ustaz mengutip hadis nabi bahwa pertengahan ramadan yang bertepatan dengan hari jumat akan ada dentuman besar dan kegelapan. Setelah diusut, ternyata hadis yang beredar itu dikatategorikan sebagai hadis daif bahkan ada yang mengategorikan hadis maudhu’ karena ada periwayat yang bernama Harist, dan ia termasuk orang yang tak bisa dijadikan hujjah.
Kedua, adalah polemik fadhilah tarawih tiap malam ramadan selama satu bulan penuh. Sebagaimana banyak diketahui, tiap tahun, selalu beredar keterangan fadhilah malam pertama hingga malam ketiga puluh yang cenderung fantastis. Misal, “Pada malam keempat, bagi yang melakukan tarawih dapat pahala sebagaimana pahala orang yang yang membaca Taurat, Injil, Zabur dan Alquran”. Dan konon fadhilah-fadhilah itu disandarkan pada hadis Nabi Muhammad Saw.
Keterangan itu menjadi musykil karena, pertama, nabi salat sunnah di malam ramadan selama tiga malam saja lalu tak pernah lagi berjamaah dan namanya masih salat qiyam ramadan. Kedua, istilah tarawih baru muncul belakangan ketika ia diidentikkan dengan salat berjamaah yang punya jeda istirahat setiap dua kali salam hingga genap sepuluh salam (20 Rakaat).
Maka menjadi aneh, bila ada hadis isinya menjelaskan fadhilah tarawih perhari padahal pada waktu itu istilah tarawih belum ada. Jika motifnya untuk memotivasi umat, kiranya cukup apa yang ada dalam Sahih Bukhari & Muslim bahwa “Barang siapa yang mendirikan ibadah di bulan ramadan dengan penuh keimanan dan pengharapan, maka seluruh dosanya yang telah lalu akan diampuni”.
Dua kasus di atas kiranya menjadi cukup sebagai bahan untuk mempertegas kembali bagaimana sebenarnya mekanisme berhujjah dengan hadis nabi. Kita tahu bahwa hadis nabi menempati posisi yang sangat krusial dalam perumusan hukum Islam. Ia menempati posisi kedua setelah Alquran.
Tetapi kita juga tahu bahwa hadis nabi baru dikodifikasi beberapa tahun setelah kepergian nabi Muhammad. Tepatnya pada masa Umar ibn Abdul Aziz ketika menjadi khilafah bani Umayyah (99-101). Sehingga potensi salah kutip, pemalsuan, dusta atas nama beliau sangat besar terjadi, lebih-lebih memang tidak ada garansi keterjagaan, tidak seperti Alquran yang memang dijaga langsung oleh Allah Swt. (Inna Nahnu Nazzalna al-Dzikr Wa Inna Lahu lahafidzun).
Ibnu al-Jauzi dalam muqaddimah al-Maudhu’at, menyebut banyak faktor yang kemudian menjadi pemicu utama pemalsuan hadis nabi. Yang paling banyak adalah faktor ashobiyah, fanatisme tokoh, golongan, bahasa dan lain sebagainya. Di samping itu, eskalasi politik yang pernah panas di masa lalu juga turut menyumbangkan peran dalam pemalsuan hadis ini.
Al-Kisah, dua pakar hadis kenamaan Yahya ibn Main dan Ahmad ibn Hanbal suatu waktu pergi ke sebuah majelis di Masjid al-Rusafah. Di tempat itu, ada seorang penceramah sedang berkhutbah kepada banyak orang . ia berkata, “Ahmad ibn Hanbal dan Yahya ibn Main suatu kali bercerita kepadaku ya ia terima dari Abd. Razzaq, dari Ma’mar, dari Qatadah, dari Anas, dari Rasulullah Saw. Bersabda: siapa yang saja yang berkata “la ilaha illah”, setiap katanya Allah menciptakan burung, yang paruhnya terbuat dari emas dan bulu-bulunya terbuat dari mutiara”
Mendengar itu, Ahmad ibn Hanbal dan Yahya ibn Main kaget bukan main, kemudian saling bertanya, “benarkah kau menyampaikan hadis ini?” keduanya bersumpah bahwa mereka belum pernah mendengar hadis kecuali waktu itu saja. Mereka menunggu sampai tukang dongeng itu selesai dan sudah mengumpulkan uang. Kemudian Yahya menemui dia dan memintanya mendekat. Mungkin karena mengira bakal diberi uang lagi, tukang dongeng itu mendekat dan Yaḥya bertanya: Siapa yang meriwayatkan hadis itu kepadamu? Ia menjawab: Yahya bin Ma’inn dan Ahmad bin Hanbal. Yahya berkata lagi: Tetapi aku Yahya bin Ma’in dan orang ini Ahmad bin Hanbal. Kami tidak pernah mendengar riwayat yang kamu sebut sebagai hadis itu. Jika kamu memang mau berbohong, jangan bawa-bawa nama kami.
“Betulkah kamu Yahya bin Ma’in?” tanya tukang dongeng itu. “Betul” “Saya selalu mendengar bahwa Yahya bin Ma’in itu bodoh,“ kata pendongeng,“ dan saya belum pernah berjumpa dengannya kecuali saat ini.” Yahya bertanya, “Bagaimana kamu tahu aku bodoh?” Pendongeng berkata, “Kamu pikir di dunia ini tidak ada Yaḥya atau Ahmad kecuali kamu berdua? Aku telah menulis hadis dari 17 orang yang berbeda, yang namanya Ahmad bin Hanbal selain yang ini ” Ahmad menutupkan lengan bajunya ke mukanya dan berkata, “Tinggalkan dia.” Dengan sukacita yang menyebalkan, tukang dongeng itu mengawasi kedua ahli hadis itu berlalu.
kisah di atas menjadi bukti bahwa betapa di masa lalu, praktik kebohongan atas nama nabi sudah banyak terjadi. lalu bagaimana dengan hari ini, berabad-abad setelah masa kenabian. maka sikap yang paling benar dalam konteks hari ini adalah hati-hati dan perlu kerja ekstra untuk validasi sabda nabi.
Dalam momen ini, penulis penting mencertiakan sebuah kitab bagus yang isinya berupa penganuliran-penganuliran dari Aisha atas hukum fikih yang dirumuskan para sahabat, bahkan nama-nama pembesar sahabat seperti Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib tak luput dari koreksi Aisha, istri nabi itu.
Aisha memiliki otoritas untuk mengoreksi apa-apa yang dianggap sabda nabi karena ia bergumul sangat intens dengan nabi. Sebagai istri nabi, Aisha banyak tahu semua hal yang berkaitan dengan nabi, meliputi perkataan yang beliau sabdakan, dan wahyu “langit” yang diturunkan.
Kitab tersebut berjudul al-Ijabah Li iradi ma Istadrakathu Aisha Ala al-Shahabah. Nah salah satu hukum yang dianulir oleh Aisha adalah haramnya menangisi kematian seorang kerabat. Dalam sebuah hadis terkenal yang diriwayatkan Umar ibn Khattab disebut:
إِنَّ الْمَيِّت يُعَذَّبُ بِبَعْضِ بكاء أهله عليه
“Sesungguhnya mayyit akan disiksa sebab tangisan keluarganya”
Kemudian hadis di atas terdengar oleh Aisha, seketika ia mengomentari bahwa nabi tidak pernah besabda demikian. Aisha menambahkan, bahwa tidak ada saling tanggung dosa sebagaimana dalam bunyi hadis di atas. Bahwa jika kita menangisi keluarga yang meninggal, maka mayit akan disiksa. Hal itu sejalan dengan firman Allah Swt.:
لا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain” (Qs. Al-Isra’ [17]: 15)
Dua problem ini setidaknya menguatkan tesis bahwa mekanisme berhujah dengan al-Sunnah atau hadis nabi itu tidak semudah yang dibayangkan. Terdapat banyak prasyarat utama seperti mengetahui ulum al-Hadis, Ilm Mustalah Hadis, al-Jarh Wa al-Ta’dil, Naqd al-Rijal, Ilm Lughah, usul fikih, tarikh Tasyri’ dan lain-lain yang harus dipenuhi oleh seseorang sebelum ia berani mendaku, bahwa “nabi bersabda begini dan begini maksudnya”.
Ketentuan di atas penting bukan hanya untuk menjaga agar ajaran islam khususnya sabda-sabda nabi tidak terdistorsi, akan tetapi juga untuk menghindar dari ancaman bahwa, “Barang siapa yang berdusta atas nama nabi, maka ia sudah disiapkan tempat khusus di neraka.”