Sedang Membaca
 Empat Ulama Berpengaruh di Spanyol

Nahdliyin, menamatkan pendidikan fikih-usul fikih di Ma'had Aly Situbondo. Sekarang mengajar di Ma'had Aly Nurul Jadid, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Menulis Sekadarnya, semampunya.

 Empat Ulama Berpengaruh di Spanyol

1 A Andalus

Belakangan beredar broadcast pesan yang konon merupakan transkip dari video dialog Gus Baha’ dengan beberapa tamu di kediamannya. Dalam pesan yang bertajuk “Renungan Untuk NU dari Gus Baha’” itu, ada beberapa hal yang dikritik oleh beliau. Salah satunya, adalah pentingnya kembali kepada tradisi Nahdlatul Ulama, yaitu mengaji kitab khas pesantren. NU, dalam pesan itu, sudah terlampau jauh meninggalkan tradisi ini dan  lebih asyik dengan pengajian umum yang sangat ribet dan terkesan seremonial.

Walau tak sepenuhnya sepakat secara keseluruhan isi trasnkip tersebut, hamba setuju pada substansi dari beberapa poin. Di antaranya adalah pentingnya kembali menyemarakkan tradisi mbalah, ngaji ala NU. Karena diakui atau tidak, diskursus kajian Islam di Indonesia semakin hari semakin menampilkan wajahnya yang sangat terbelakang. Perdebatan tentang ritus peribadatan yang sebenarnya “sudah tutup buku” saban tahun terus diputar ulang.

Dalam hemat penulis, salah satu penyebabnya (bisa saja ini salah) adalah pengajian umum yang menjadi tren, sehingga tidak ada standart atau kualifikasi keilmuan seorang untuk menjadi “penceramah”. Semua orang bisa diberi gelar Kiai, Gus, ustaz dan lain-lain, asal ia naik ke mimbar, baca beberapa ayat. Tentu dengan polesan tim media visual, seperti Youtube juga cukup membantu mendapat gelar “ustaz”.

Pesan GB di atas bisa dijadikan langkah preventif (sadd al-Dzariah), untuk “menutup pintu” agar umat Islam Indonesia tidak surplus penceramah dan defisit intelektual cum ahli fikih. Jika pembacaan kitab menjadi tren untuk sebuah pengajian, tidak semua orang punya “keberanian” untuk naik ke podium. Ikhtiar ini adalah langkah awal untuk kemudian melahirkan raksasa-raksasa intelektual yang benar-benar memahami Islam secara komprehensif. Bukan yang sekadar berani naik panggung, dan menyalahkan orang yang berbeda.

Syahdan. ketika Islam bersemai di Spanyol, negara Eropa yang berbatasan langsung dengan Maroko itu, banyak intelektual-intelektual yang tidak hanya dikagumi umat Islam akan tetapi menginspirasi orang Eropa. Di negara di mana Real Madrid dan Barcelona menyuguhkan el-Clasico, dulu adalah pusat islam yang sangat maju baik dalam bidang ilmu, sosial, politik dan budaya. Berikut beberapa tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dalam dataran spanyol itu.

Ibnu Hazm (384 H-456H)

Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm al-Zahiri. Nama al-Zahiri adalah nisbat kepada mazhab yang ia anut, yaitu mazhab Zahiriyah, sebuah mazhab fikih yang menolak eksistensi kiyas. Karena, menurut mereka, seluruh persoalan dari sejak zaman nabi sampai hari kiamat semua ter-cover dalam Alquran. Bukan tanpa alasan, kenapa mazhab ini menolak kias. Dalam benak mereka, kias adalah ajang memuaskan syahwat dan nafsu manusia dalam merumuskan hukum. Dan hal ini sangat tercela. Dalam kitab-kitab usul fikih mereka gencar mengampanyekan penolakan terhadap kias (nuffat al-Qiyas).

Ibnu Hazm dikenal dengan laki-laki yang memadukan kecerdasan intelektual, sebagai orang yang cerdik  dan memiliki hafalan kuat, dan kecerdasan spritual sebagai orang yang zuhud, tawaduk dan sangat egaliter. Mengenai kelebihannya ini, al-Hafiz Abu Abdillah Muhammad ibn Futuh al-Humaidi, berkomentar, “Tak pernah aku melihat seorang mampu memadukan antara kecerdasan, kuatnya hafalan, kedermawanan dan kesalehan beragama kecuali seperti Ibnu Hazm. Dia adalah seorang cepat dalam membuat syair”.

Keahliannya membuat syair bisa dibaca dalam karyanya yang bertajuk, Tauqu al-Hamamah. Dalam banyak hal, ia melukiskan setiap kegelisahan dengan paragraf yang sangat indah, “Pikiranku kacau, dan hatiku gelisah. Masyarakat dalam keadaan ketakutan. Mereka kehilangan mata pencahariannya. Tidak ada hukum yang jelas. Satu-satunya cara menurutku untuk mengatasi itu semua adalah kembali kepada hukum Tuhan.” Tentang perempuan, ia menulis, “Kaum wanita bila tidak disibukkan dengan kegiatan ilmu dan tugas-tugas mereka, tentu mereka akan memikirkan kaum pria”.

Salah karakter Ibnu Hazm yang sering menjadi bumerang begi dirinya sendiri adalah sikapnya yang keras dan suka berterus terang. Gara-gara sikapnya ini, ia sering dikucilkan dan bahkan sempat mengalami intimidasi. Puncaknya, banyak buku karangan Ibnu Hazm yang dibakar oleh para pembencinya.

Baca juga:  Sabilus Salikin (88): Khalwat Tarekat Suhrawardiyah

Ibnu Hazm tidak hanya berkiprah dalam dunia inteketual semata akan tetapi ia juga turun langsung dalam dunia aktivis, menjadi aktivis politik. Keterlibatannya di bidang politik sejak pemerintahan Khalifah Abdurrahman  V al-Mustadhir (1023) dan Khalifah Hisyam III al-Mu’tamid (1027). Bahkan pada masa ini, ia sempat menduduki jabatan setingkat Menteri.

Pada masa Khalifah Abdurrahman ini, Ibnu Hazm bersama-sama dengan Khalifah ikut turun gunung untuk menghentikan berbagai kerusuhan dan mencoba merebut kembali wilayah Granada dari tangan musuh. Namun, nahas, Khalifah terbunuh dan Ibnu Hazm dijebloskan ke Penjara.

Pasca masa di penjara, Ibnu Hazm kembali ke dunianya, yaitu dunia intelektual. Ia kembali mengajar, membaca dan menulis. Berikut di antara karya-karyanya: al-Fishal (tentang perbandingan agama), al-Muhalla (bidang fikih), al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (bidang usul fikih), al-Usul wa al-Furu’ (hubungan fikih dengan usul fikih), al-Durrah fi Ma Yajibu I’tiqaduhu (bidang ilmu kalam), al-Taqrib li al-Hadd al-Mantiq (dalam bidang ilmu logika), al-Nubzah al-Kafiyah fi Usul al-Din (bidang tauhid), Tauq al-Hamamah dan lain-lain. Ulama yang penuh kontroversi ini, meninggalkan dunia yang fana ini pada Bulan Sya’ban tahun 456 H. Ia dimakamkan di desa Uniyah, sebelah barat Spanyol dalam usia 71 Tahun.

Ibnu Rusyd (520 H-595/ 1126-1198)

Nama tokoh ini tak asing lagi, terutama bagi para pengakaji filsafat dan fikih. Ia sebagaimana disebut Dante, adalah penerjemah terbaik pemikiran Aristoteles yang pilih tanding, bahkan disebut, Ibnu Rusyd adalah “jembatan pengetahuan antara barat (Eropa) dan timur (Islam)”. Kebesaran namanya tidak hanya bersinar di lingkungan umat Islam akan tetapi juga dalam pemikiran Eropa. Hal ini dibuktikan dengan karya-karyanya yang disalin dan diterjemahkan ke berbagai Bahasa di Eropa. Sosok yang dipasrahi untuk menerjemahkan pemikiran Ibnu Rusyd adalah Micheal Scot atas perintah inteletual Kristen, Thomas Aquinas. Orang barat menyebut Ibnu Rusyd dengan sebuatan, Avverroes.

Ibnu Rusyd dilahirkan di pusat Ibukota Andalusia yaitu Cordova  tahun 520 H/1126 M. lahir di lingkungan ilmiah, ia menjadi anak yang sangat cerdas dan semangat. Ia juga dari keluarga terpandang dan punya trah yang tingggi, kakeknya juga bernama Ibnu Rusyd, seorang Hakim Agung Mazhab Maliki di Qordova. Oleh karena itu, dalam khazanah sejarah Islam ada dua nama Ibnu Rusyd yang terkenal, pertama Ibnu Rusyd al-Jadd (kakek) dan Ibnu Rusyd al-Hafid (cucu), nama kedua inilah yang akan diulas dalam tulisan ini.

Ibnu Rusyd dikenal dengan “bapak akal sehat” umat Islam, sebab dari tangannya lahir karya yang mempertegas pertautan mesra antara akal dan wahyu (the perfect harmony between religion and philosopy), yang sebelumnya sering dipertentangkan. Ia menulis, Fasl al-Maqal fima Baina al-Hikmah wa al-Syariah min al-Ittishal dan al-Kasyaf an Manahij al-Adillah, dua buku Ibnu Rusyd yang merupakan “corpus” terbuka dalam khazanah ini.

Ia juga ahli fikih sekaligus usul fikih, terutama dalam mazhab Maliki. Karyanya yang berjudul Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid menjadi bukti utuh kedalaman ilmunya. Kitab ini adalah kitab babon fikih perbandingan (muqaranah) yang umumnya dikaji oleh santri-santri senior di pesantren. Dalam kata pengantarnya, Ibnu Rusyd dengan tegas menyebut tentang pentingnya dinamisasi fikih Islam melalui metode kias atau analogi hukum, ia menulis:

وذلك أن الوقائع بين أشخاص الأناسي غير متناهية ، والنصوص والأفعال والإقرارات متناهية ، ومحال أن يقابل ما لا يتناهى بما يتناهى

Baca juga:  Gus Dur dan Teori Humor

“Dalil aqli kenapa kias sangat perlu adalah kasus-kasus hukum di antara manusia tak pernah berhenti, sementara teks al-Quran dan al-Sunnah (baik sunnah qauliyah, fikliyah dan taqririyah) sudah berhenti (dengan kepergian nabi ke Haribaan Allah Swt.), maka sangat muhal sesuatu yang sudah berhenti (al-Quran dan al-Sunnah) bisa mengimbangi sesuatu yang tak berhenti (kasus-kasus hukum fikih)”.

Aspek lain yang membuat ia makin dikagumi adalah kemahirannya dalam ilmu kedokteran. Al-Khazraji dalam Uyun al-Anba’ fi Thabaqath al-Athibba’, menyebut, al-Kulliyat, buku yang dikarang Ibnu Rusyd dalam bidang kedoktrean sebagai karya terbaik (masterpiece). Partner Ibnu Rusyd dalam bidang ini adalah Abi Marwan ibn Zuhar, seorang dokter kawakan pada waktu itu. Karir kedokteran Ibnu Rusyd pernah menjabat sebagai dokter Istana di Cordoova, sebuah posisi yang sangat presteisus. Salah satu quote Ibnu Rusyd yang berkaitan dengan ilmu ini adalah, “Siapa yang menguasai ilmu anatomy tubuh, keimanannya akan bertambah kepada Allah Swt.”

Ia adalah sosok yang sangat produktif, al-Zarikli (atau al-Zarkali) dalam al-‘A’lam menyebut bahwa Ibnu Rusyd hampir menulis 50 kitab dalam berbagai bidang pengetahuan. Dalam bidang ilmu logika dan akal, seperti, Fashl al-Maqal fima baina al-Hikmah wa al-Syariah min al-Ittishal, Falsafah Ibnu Rusyd, al-Dharuri, al-Masa’il, dalam bidang filsafat seperti Tahafut al-Tahafuth, Jawami’ al-Kutub Aristoteles, Talkhis kutub Aristoteles, dalam bidang fikih dan usul fikih seperi Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Manahij al-Adillah, dalam bidang kedokteran, seperti al-Kulliyat, al-Thib, Talkhis al-Kitab al-Nafs, Risalah fi Harkah al-Falak.

Ibnu Arabi (560 H/1165 M-638 H/1240 M)

Ibnu Arabi adalah mistikus besar yang bergelar al-Syaikh al-Akbar (Doktor maximus). Bernama lengkap Abu Bakar Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad al-Tha’i al-Hatimi al-Mursi. Ia dilahirkan di Murcia (Tenggara Spanyol) tahun 560 H. Atau 1164 M. Pada pemerintahan Sultan Muhammad ibn Said ibn Mardaniyah, Gubernur Andalusia Timur. Ibnu Arabi berasal dari keluarga yang diketahui cukup saleh. Ayah dan kedua pamannya adalah sufi termasyhur. Pada usia 08 tahun Ibnu Arabi meninggalkan kampung halamannya dan pergi ke Lisbon untuk berguru kepada Syaikh Abu Bakar ibn Khallaf.

Selanjutnya kota yang menjadi tujuan Ibnu Arabi adalah Seville Spanyol. Ketika masih muda dan berdiam di Cordoba, Ibnu Arabi sempat bersahabat dengan Ibnu Rusyd al-Havid. Seperti tanpa lelah, Ibnu Arabi terus menyusuri berbagai daerah di dunia ini seperti, Tunisia, Fes, Maroko, Afrika Utara, Mesir, kota suci (al-Quds) Jerussalem, Aleppo, Asia Kecil dan lain sebagainya. Ia memiliki dua putra, pertama Sa’duddin, kedua, Imamuddin. Karya-karya Ibnu Arabi cukup banyak dan ia bisa dianggap sebagai penulis yang produktif. Bahkan Abu Ala’ Afifi, guru besar filsafat di Cambridge University menyebut, dari segi kualitas dan kuantitas, karya-karya yang ditulis Ibnu Arabi melebihi yang ditulis oleh al-Ghazali.

Ibnu Arabi adalah sosok yang sangat kontroversi, terutama terkait ajarannya yang disebut dengan Wahdah al-Wujud. Secara sederhana, konsep tasawuf ini adalah, dalam semesta ini yang ada hanya satu wujud; wujud Tuhan. Tuhan adalah alam, dan alam adalah Tuhan. Ibnu Arabi (1102 M-1240 M) sudah sampai pada puncak faham ini. Beliau mendasarkan pada renungan fakir filsafat dan dzauq tasawuf. Baginya, wujud (bheing/yang ada) itu Cuma satu. Wujudnya makhluk adalah ‘ain wujudnya khalik. Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan antara keduanya: “Subhana man khalaqa al-Asyya’a wahuwa ‘ainuha” (amat sucilah Tuhan Yang Menjadikan segala sesuatu, dan Dialah Sesuatu itu sendiri).

Jalan yang dipilih Ibnu Arabi adalah jalan yang terjal dan berliku, ia memilih memadukan antara tasawuf dan filsafat atau lazim disebut dengan tasawuf falsafi. Dari segi epistemolgi, sufisme adalah proses mujahadah (mengekang jiwa dari nafsu), musyahadah (pandangan batin) dan al-Wjidan (intuisi). Sedangkan filsafat adalah hasil kerja akal (logika) dan argumentasi yang kuat. Kedua memiliki objek yang sama, yakni alam beserta isinya, manusia serta prilakunya dan eksistensi Tuhan. Pemaduan dua unsur ini melahirkan corak berfikir rasional-transendental.

Baca juga:  Amien Rais Berpikir, Gus Dur Tertawa (Bagian 1)

Mengenai jumlah karya yang berhasil ia tulis, tidak ada angka pasti. Brockelmann menyebut ada 150 karya Ibnu Arabi yang masih ada. Dalam catatan muridnya, disebutkan bahwa Ibnu Arabi menulis 289 buku. Jami’ seorang ahli sejarah terkemuka menyebut ada 500 karya yang berhasil ia lacak dari karya-karya Ibnu Arabi. Sekadar menyebut judul buku berikut karya-karya Ibnu Arabi: al-Futuhat al-Makkiyah, Fushus al-Hikam, Tafsir wa isyarah al-Quran, Muhadarat al-Abrar, Mawaqi’ al-Nujum, al-Tadbirat al-Ilahiyah, al-Risalah al-Khulwat, dan lain sebagainya. Ibnu Arabi wafat pada Rabi’ul Akhir 638 H atau tahun  1240 M.

Al-Syatibi (730 H-790 H)

Dalam kajian usul fikih, terutama pada bagian al-Qawaid al-Usuliyah al-Tasyri’iyah, disebut bahwa tujuan dari pensyariatan hukum Islam ialah mewujudkan kemaslahatan manusia, dengan menolak mafsadat dan menarik kebaikan untuk mereka. Itulah yang disebut dengan maqasid al-Syariah, yaitu tujuan dari adanya aturan agama. Nah, orang pertama kali membicarakan secara utuh konsep ini adalah Abu Ishaq al-Syatibi atau yang lebih dikenal dengan al-Syatibi.

Hampir seluruh penulis pemikiran dan biografi al-Syatibi sepakat menyebut bahwa ia adalah sosok yang membuka gerbang pencerahan yang seluas-luasnya untuk mempelajari rahasia dan hikmah syariat Islam. Tidak hanya berhenti di situ, al-Syatibi juga “mempersiapkan” perangkat bagaimana menggunakan maqasid sebagai pisau analisis yang canggih dalam memecahkan hukum Islam. Berkat dedikasinya ini, ia disejajarkan dengan Imam Khalil ibn Ahmad yang berhasil menciptakan ilmu Arudl dan Imam Sibawaih dalam ilmu Nahwu.

Bernama lengkap Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Lakhami al-Gharnathi. Kata al-Gharnathi adalah sebutan untuk daerah Granada, sebuah kota kecil yang terletak di kaki gunung Sulair di Spanyol yang sangat kental dengan saljunya itu.  Ia lahir 730 H dan meninggal pada tahun 790 H.

Konsepsi pemikiran usul fikih yang dibangun oleh al-Syatibi adalah gagasan maslahah. Untuk hal ini, ia menulis dua kitab yang amat terkenal, pertama, al-Muwafaqat fi Usul al-Syariah, kedua al-I’thisom. Kedua karya ini kemudian menghegemoni ulama-ulama arab modern khususnya dalam bidang hukum syariah. Sebenarnya, jauh sebelum era al-Syatibi, seperti oleh al-Juwaini, Izzudin ibn Abd. Salam dan lain-lain, terminologi maqasid sudah pernah dibahas. Hanya saja yang menjadikan maqasid al-Syariah sebagai ilmu independen, memiliki definisi, kerangka pembahasan dan target kajian tersendiri adalah kerja keras al-Syatibi. Pada karyanya yang berjudul al-Muwafaqat, jilid 2, ia menulis fashl dan lembaran khusus pembahasan maqasid al-Syariah.

Menurut al-Syatibi, yang dimaksud dengan al-Maslahah dalam pengertian syari’ adalah mengambil kemanfaatan dan menolak kemafasadatan yang tidak hanya berdasarkan pada akal sehat semata, tetapi dalam rangka memelihara hak hambanya. Ia melanjutkan bahwa tidak semua kemaslahatan di dunia dapat diketahui oleh akal, namun hanya sebagian dan lainnya diketahui melalui syariat.

Mazhab yang dianut al-Syatibi adalah Mazhab Maliki namun ia tetap menghargai ulama-ulama yang memilih mazhab berbeda, termasuk mazhab Abu Hanifah yang saat itu sering bersitegang. Dalam banyak kesempatan al-Syatibi sering menyangjung ulama pengikut mazhab Abu Hanifah, bahkan, kitab yang ia tulis, al-Muwafaqat, sengaja disusun dalam rangka menjembatani ketegangan yang terjadi pada waktu itu antara Mazhab Maliki dan Mazhab Abu Hanifah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
4
Ingin Tahu
2
Senang
2
Terhibur
2
Terinspirasi
2
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top