Abu Hamid al-Ghazali atau lebih disebut al-Ghazali adalah intelektual raksasa yang hidup dalam dua kemalangan sekaligus. Pertama, Ia lahir dalam keluarga miskin, ayahnya meninggal di waktu kecil. Sebelum wafat, sang ayah memasrahkan pendidikan al-Ghazali dan adiknya kepada kepada seorang kolega dekatnya. Sembari menitipkan ayahandanya membekali uang. Sial. Uang itu tidak memenuhi kebutuhan al-Ghazali dan adik tercinta.
Namun demikian, kondisi yang sempit tak membuat semangat mencari ilmunya hilang. Kondisi itu malah menjadi titik balik hidup al-Ghazali untuk terus mencari ilmu. Hingga akhirnya, al-Ghazali dikenal sebagai seorang sarjana besar yang menguasai berbagai disiplin keilmuan. Gelar Hujjatul Islam yang disematkan pada dirinya sudah cukup untuk berbicara tentang kedalam ilmu yang dimilikinya.
Ia berguru kepada banyak tokoh, baik di kampungnya, Naisabur atau di luar daerahnya. Termasuk guru yang paling mempengaruhi dirinya adalah Abu al-Ma’ali al-Juwaini atau yang masyhur dengan sebutan Imam al-Haramain. Bahkan bisa disebut al-Haramain adalah “guru besar” al-Ghazali dalam bidang ushul fikih (Syaikh al-Ghazali fi al-Ushul). Al-Haramain memiliki karya dalam bidang ushul fikih berjudul al-Burhan dan al-Waraqat.
Ketika berguru kepada al-Haramain usia al-Ghazali masih muda tak terlalu tua. Tetapi kerajinan, keteguhan dan kecerdasannya membuat sang guru tak tahan untuk memberi komentar. “al-Ghazali adalah lautan yang melimpah ruah”, ujar al-Haramain suatu ketika.
Kemalangan yang kedua, al-Ghazali hidup dalam iklim keilmuan, sosial dan politik yang terbuka sehingga kran pemikiran menghantam Islam dari berbagai aspek. Dari aspek internal merebak kelompok Syiah dan Bathiniyah sementara dari aspek eksternal gerakan filsafat aristotelian makin subur. Al-Ghazali bertungkus lumus menghadapi dua gempuran itu sekaligus.
Salah satu yang terdampak dari gempuran filsafat yang pada waktu itu menghajar dunia Islam adalah ilmu ushul fikih. Pada abad XI-XII, filsafat berkembang pesat. Nasib ushul fikihsebagai metodologi untuk memahami pesan wahyu juga terancam. Al-Ghazali hadir untuk menyelamatkan ilmu yang dirumuskan oleh al-Syafi’i ini dengan merilis buku ushul fikihyang amat monumental, al-Mustashfa min al-Ilm al-Ushul.
Dalam kitab ini, ia mamsukkan logika aristotelian dalam ushul fiqh. Bahkan bisa disebut, campur tangan logika formal ke dalam pembahasan ushul fikihsejak era al-Ghazali ini. Bahkan dengan agak keras al-Ghazali menyebut, “Siapa yang tak memahami mantik maka ilmunya tak cukup kredibel”.
Meski demikian, ia mendapat kritik keras dari Ibnu Rusyd. Menurutnya, tak perlu mantik dimasukkan ke ushul fikih sebab keduanya berbeda. Jadi tak perlu meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Kritik Ibnu Rusyd tersebut tidak mendapatkan tempat sebab peran logika dalam kajian ushul fikihmemang cukup sentral. Dalam pengantar al-Mustashfa al-Ghazali menyebut ushul fikihsebagai ilmu yang paling mulia sebab ia mamdukan antara akal dan wahyu. Ia menulis dengan indah dalam pengantar al-Mustashfa:
وأشرف العلوم ما ازدوج فيه العقل والسمع واصطحب فيه الرأي والشرع وعلم الفقه وأصوله من هذا القبيل فانه يأخذ من صفو الشرع والعقل سواء السبيل فلا هو تصرف بمحض العقول بحيث لا يتلقاه الشرع بالقبول ولا هو مبني على التقليد الذي لا يشهد له العقل بالتأبيد والتسديد.
“Paling mulianya ilmu adalah yang memadukan antara akal dan wahyu membersamakan antara rasionalitas dan syariat. Fikih dan ushul fikih masuk aspek ini sebab ia mengambil dari kemurniaan syariat dan akal secara setara, ia tak hanya menggunakan akal saja dengan gambaran tak melibatkan wahyu begitupula ia tak hanya mengandalkan taklid yang tak ada peran akal sebagai dukungan dan pembenaran.”
Komentar di atas lahir sebagai turunan atas pembagian al-Ghazali terhadap macam-macam ilmu. Menurut al-Ghazali ilmu itu dibagi menjadi tiga.
Pertama, akal murni (aql mahdh) seperti ilmu matematika dan tekhnik, kedua, wahyu murni (naqll mahdh) seperti ilmu tafsir dan hadis dan ketiga adalah kombinasi antara akal dan wahyu (ma izdawaja alaihi al-Aql wa al-Sam’u), yaitu ilmu usul fikih.
Dalam usul fikih akal dan wahyu menjadi dua entitas yang sama-sama diperlukan. Tidak berpihak kepada salah satunya, akan tetapi memungsikan keduanya. Di satu sisi, wahyu sebagai pedoman beragama telah berhenti seiring dengan kepergian nabi ke hadirat-Nya, maka agar wahyu itu terus “hidup” diperlukanlah nalar rasio yang dikenal dengan ijtihad.
Interrelasi antara akal dan wahyu makin menjadi penting tatkala dihadapkan pada fakta bahwa isi dari al-Qur’an dan hadis menunjukkan posisi yang tak seimbang. Al-Quran dan hadis lebih banyak terdiri dari kategori dzanniyah daripada yang qath’iyah. Istilah pertama adalah istilah untuk sesuatu yang bisa “diotak-atik” oleh akal sementara yang kedua adalah istilah untuk perkara yang sifatnya “harga mati”.
Prinsip keseimbangan natara akal dan wahyu ini, diperkuat dengan pernyataan al-Syatibi dalam al-I’tisham. Ia berkata:
اجْعَلِ الشَّرْعَ فِي يَمِينِكَ وَالْعَقْلَ فِي يَسَارِكَ،
“Jadikanlah wahyu di sebelah kanan kalian dan akal di sebelah kiri kalian”.
Al-Mustashfa milik al-Ghazali pernah dipuji habis-habisan oleh Ibnu Khaldun. Dalam kitab ini, al-Ghazali memberikan permpamaan yang sangat bagus terkait ushul fikih. Menurutnya: usul fikih adalah permisalan dari buah (al-Tsamrah), pohon (mustmir) tata cara membuat dan melahirkan buah (turuq al-Ististmar), dan yang menanam alias tukang kebun (mustasmir).
Al-Tsamrah, buah adalah permisalan dari hukum (meliputi al-Wujub, al-Nadb, al-Karahah, al-Ibahah, al-Hasan, al-Qubhu, al-Qadha’, al-Sihhah, al-Fasad dan lain-lain), mustmir, pohon adalah permisalan dari sumber hukum (meliputi al-Kitab, al-Sunnah dan Ijmak), turuq al-Ististmar, tata cara berkebun adalah permisalahan sebuah aplikasi agar bisa melahirkan hukum (meliputi aplikasi teori tata bahasa, mantuq, mafhum, dhalalah iqtida’ dan lain-lain).
Terakhir adalah mustastmir, tukang kebun sebagai permisalan dari mujthid, yakni orang yang bisa melakukan “operasi lapangan” dalam proses untuk melahirkan sebuah postulat hukum.
Mula-mula seorang mujtahid punya keinginan untuk mengetahui hukum dari sebuah perkara. Lalu ia mencoba menggalinya melalui sumber yang bernama dalil meliputi al-Kitab dan al-Sunnah. setelah lama merenung akhirnya ia menemukan sebuah kesimpulan bahwa “sesuatu” ini adalah wajib (al-Wujub) misalnya. Sesuatu yang ditemukan ini disebut hukum sementara proses merenung tersebut dikenal dengan aktivitas ijtihad. Itulah kira-kira gambaran sederhana aplikasi ilmu ini.
Dalam kitab ini juga, al-Ghazali sudah mulai menyinggung pembahasan lanjutan dari ushul fikih. Yaitu konsep maqasid al-Syariah, meski porsiya amat sedikit. Al-Ghazali menyebutnya dengan al-Mashlahah. Dalam al-Mustashfa ia menulis
أما المصلحة فهي عبارة في الأصل عن جلب منفعة أو دفع مضرة، ولسنا نعني به ذلك، فإن جلب المنفعة ودفع المضرة مقاصد الخلق وصلاح الخلق في تحصيل مقاصدهم، لكنا نعني بالمصلحة المحافظة على مقصود الشرع ومقصود الشرع من الخلق خمسة: وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم، فكل ما يتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة، وكل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة ودفعها مصلحة.:
“Adapun “maslahah” pada dasarnya adalah ungkapan tentang menarik kemanfataan dan menolak bahaya. Akan tetapi kami tidak bermaksud dengan itu semua menurut kacamata manusia dan kebaikan mereka dalam memperoleh tujuan mereka akan tetapi maksud dari maslahat adalah sesuatu yang menjaga atas tujuan agama untuk manusia. Dan itu ada lima, pertama menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Tiap hal yang mempunyai tujuan menjaga lima hal ini adalah kemaslahatan dan yang menghilangkan kelimanya adalah kemafsadatan, menolaknya adalah maslahat.”
Al-Ghazali–bisa disebut–adalah tokoh setelah al-Syafi’i. Di masa al-Syafi’i ushul fikih terbatas pada masalah kiyas. Sementara di era al-Ghazali ushul fikih sudah berkembang sampai pada tahapan istidal. []