Masjid Wapauwe terkait erat dengan sejarah masuknya Islam di Maluku yang dilakukan saudagar Muslim Arab, Gujarat, dan India. Masjid itu tua, bersejarah, unik, penuh mitos, dan bertahan panjang.
Kini, masjid yang terletak di sebelah utara Kota Ambon, tepatnya di Desa Keitetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, masih berfungsi sebagai tempat beribadah jamaahnya. Wapauwe adalah saksi tua sejarah Islam di Maluku.
Artefak lain, yang juga menjadi saksi tua dan bersejarah yang berkaitan dengan masjid juga tampak terawat dan berfungsi dengan baik. Di sana ada bedug, mimbar hingga mushaf Alquran.
Mesjid Wapauwe dibangun pada 1414 M atau 816 H oleh Pernada Jamilu, keturunan Kesultanan Islam Jailolo dari Moloku Kie Raha, Provinsi Maluku Utara sekarang.
Mulanya, masjid itu bernama Wawane karena berada di lereng gunung Wawane. Namun, berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat, masjid itu berpindah ke daerah Kaitetu yang banyak ditumbuhi pohon mangga berabu.
Wapa dalam bahasa setempat berarti mangga berabu. Itulah sebabnya mesjid itu disebut Wapauwe. Artinya, didirikan di bawah pohon mangga berabu.
Cerita rakyat mendokumentasi bahwa masyarakat yang tinggal di Tahala sedikit demi sedikit pindah ke desa Kaitetu sehingga masjid itu pun semakin jarang digunakan.
Pada suatu pagi, peristiwa aneh terjadi, masjid yang ditinggalkan itu tiba-tiba ada di tengah tengah perkampungan mereka. Dan masjid itu adalah masjid Wapauwe yang dibangun di Tahala.
Namun, berdasar sumber lain, masjid itu dipindahkan penduduk setempat setelah kedatangan penjajah Belanda menguasai daerah itu pada 1646 M. Belanda melakukan penurunan penduduk dari daerah pegunungan, termasuk lima kampung di wilayah Wawane.
Arsitektur
Masjid Wapauwe, disangga empat tiang. Di atas empat tiang tersebut terdapat atap piramida dengan kemiringan yang cukup tajam, lalu diikuti di bawahnya dengan atap yang kemiringannya landai, persis seperti atap bangunan tradisional Jawa.
Atapnya dibuat dari daun rumbia. Puncak menara terbuat dari kayu yang berbentuk silindris dengan alur-alur dan molding.
Kayu-kayu masjid yang terhubung dengan empat tiang tersebut, tak menggunakan paku atau pasak sama sekali. Kayu dan tiang yang akan dihubungkan dibuat lobang dan di dalamnya dibikin semacam lidah yang terdiri dari dua lidah. Kemudian kayu dimasukan ke lobang tiang tersebut sehingga di dalamnya saling menguatkan.
Dengan desain semacam itu, masjid tersebut mampu bertahan dari goncangan gempa. Tiang itu terbuat dari kayu nani ata kayu hitam dari Kalimantan. Sampai saat ini, empat tiang di dalam masjid tersebut tidak pernah digantikan.
Sementara dinding dan atapnya terbuat dari pelepah sagu, makan khas Maluku zaman dulu. Sebagian dindingnya juga terbuat dari tembok bercampur kapur.
Masjid Wapauwe berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 x 10 meter. Mihrabnya berukuran 2×2 meter. Mimbarnya terbuat dari kayu yang bentuknya seperti kursi. Ukurannya cukup tinggi sehingga mimbar ditambahi anak tangga. Pada bagian atasnya dihiasi lengkungan dan ukiran kayu.
Masjid tersebut juga memiliki benda bersejarah lain, di antaranya bedug yang terbuat dari kayu lingua. Sementara kulitnya dari kulit rusa. Peninggalan bersejarah lain masjid itu berupa mushaf Alquran, yang diperkirakan menjadi mushaf tertua di Indonesia. Mushaf tersebut adalah ditulis tangan oleh Imam Muhammad Arikulapessy dan selesai pada 1550. Mushaf ini ditulis tanpa iluminasi.
Di masjid itu juga terdapat Mushaf Nur Cahya yang selesai ditulis pada 1590 tanpa iluminasi dan ditulis tangan pada kertas Eropa. Mushaf kedua ini ditulis oleh cucu Imam Arikulapessy.
Karya lain yang terdapat di masjid tersebut adalah Kitab Barzanzi, yaitu syair pujian kepada Rasulullah SAW; sekumpulan naskah khotbah seperti naskah khotbah Jumat pertama Ramadhan 1661, kalender Islam tahun 1407 M, dan manuskrip Islam lain yang sudah berumur ratusan tahun.
Selain masjid itu, tak jauh dari Wapauwe berada terdapat peninggalan purbakala. Sekitar 150 meter dari masjid ke arah utara, di tepi jalan raya terdapat sebuah gereja tua peninggalan Portugis dan Belanda yang telah hancur akibat konflik agama yang meletus di Ambon pada tahun 1999 lalu.
Sekitara 50 meter dari gereja ke utara, berdiri dengan kokoh sebuah benteng New Amsterdam, peninggalan Belanda yang mulanya adalah loji Portugis. Letaknya di bibir pantai dan menjadi saksi sejarah perlawanan para pejuang Tanah Hitu melalui Perang Wawane (1634-1643) serta Perang Kapahaha (1643-1646).
Renovasi
Masjid Wapauwe pernah direnovasi berkali-kali. Meski demikian, bentuk aslinya tidak diubah sama sekali. Sampai saat ini bentuknya sama dengan ketika pertama kali dibangun. Renovasi pertama kali dilakukan oleh pendirinya, Jamilu, pada 1464. Renovasi kedua dilakukan pada abad ke-19 M dengan penambahan serambi depan di bagian timur masjid.
Setelah Indonesia merdeka, Wapauwe mengalami perbaikan. Pertama kali dilakukan pada Desember 1990 hingga Januari 1991 dengan mengganti 12 tiang kolom penunjang dan balok penopang atap.
Pada 1993 dilakukan renovasi dengan mengganti balok penadah kasau dan bumbungan, tapi tidak mengganti empat tiang. Pada 1995 juga sempat juga terjadi renovasi masjid, yaitu penggunaan semen pada atap masjid yang sebelumnya hanya menggunakan kerikil. Pada 1997, masjid yang tadinya beratapkan seng diganti menjadi atap nipah yang diganti tiap lima tahun sekali.
Selain renovasi, masjid ini pernah mengalami perluaasan. Ketika pertama kali didirikan masjid ini tidak memiliki serambi. Dalam renovasi, dilakukan penambahan serambi yang memiliki ukuran 6,35 x 4,75 m.
Demikianlah kisah Wapauwe, masjid sederhana namun kaya kisah. Ia bukan saja saksi sejarah, namun juga memiliki makna penting dalam denyut sejarah, khususnya sejarah Islam di kepulauan Maluku dan umumnya di Nusantara.