Di tengah jantung oasis dan kepungan hutan kurma, jauh di pedalaman sahara yang berjarak ribuan kilo meter dari pesisir pantai Mediterrania dan lembah sungai Nil, di mana kehidupan berlaku di Mesir, terdapat sebuah kuil tua yang legendaris: Kuil Dewa Amun. Di kuil purba inilah epik sejarah Alexander the Great dari Yunani bermula.
Saya bertanya-tanya, kenapa Alexander beserta pasukannya mau datang jauh-jauh ke Kuil Amun di Oasis Siwa yang terpencil ini?
Alkisah, Alexander adalah anak tersayang dari Raja Philip, penguasa Makedonia (Yunani). Dalam sebuah misi, Philip mati terbunuh secara misterius. Alexander pun dinobatkan sebagai pewaris takhta kerajaan Makedonia menggantikan ayahnya. Namun, hatinya selalu dihantui oleh pertanyaan siapa gerangan orang yang membunuh ayahnya itu.
Ketika Alexander masih berusia 13 tahun, saat ia belajar di Mandala (sekolah) Aristoteles. Ia mendengar cerita yang sangat masyhur tentang keberadaan seorang peramal yang kesaktiannya tiada tanding. Peramal itu dijuluki sebagai Peramal Amun, hidup di pedalaman Oasis Siwa, daerah terpencil di tengah-tengah padang sahara di perbatasan Mesir-Libya.
Konon, peramal sakti itu bisa membaca berita gaib. Ia juga mempunyai tempayan berisi air suci. Dari tempayan itu, ia bisa melihat masa lalu dan masa depan seseorang. Setelah menjadi raja, Alexander pun berniat untuk menemui peramal itu.
Tahun 334 SM, Alexander dan pasukannya bergerak melakukan penaklukan-penaklukan. Kerajaan-kerajaan di Yunani dan Asia Minor dapat ia satukan di bawah kekuasaannya.
Setahun berikutnya (333 SM), Alexander menaklukkan wilayah Pheonicia-Levantina (Syam). Dari kota-pesisir Gaza, tapal batas wilayah Levantina di arah selatan, pasukan Alexander bergerak untuk menaklukkan imperium Mesir Kuno yang berusia ribuan tahun. Mesir pun ia taklukkan (332 SM). Di ibu kota Menef dan Thebes, Alexander dinobatkan menjadi Pharaoh (Raja Mesir).
Dari Menef, Alexander lalu merencanakan untuk pergi ke Siwa: sebuah oasis yang terletak jauh di tengah-tengah jantung padang pasir di perbatasan Mesir-Libya.
Ia pun menyusuri lembah sungai Nil sampai bertemu dengan Laut Mediterania. Di sanalah Alexander memerintahkan pembangunan kota baru yang kelak menjadi ibu kota imperiumnya: Alexandria.
Pasukannya terus bergerak ke arah barat, menyusuri pesisir laut, hingga tiba di Paraetonian (kini Marsa Matruh). Dari sana, pasukan Alexander memutar arah ke arah selatan, menembus lautan ganas padang pasir.
Konon, keajaiban-keajaiban mulai terjadi sejak di Paraetonian itu. Ketika pasukan Alexander kehabisan bekal air, langit tiba-tiba mendung dan memuntahkan hujan. Selama perjalanan, terdapat dua ekor gagak yang terbang rendah di hadapan mereka yang menuntun mereka ke arah Siwa.
Setelah 12 hari perjalanan, tibalah jua Alexander dan pasukannya di Siwa: kawasan oasis yang dipenuhi jutaan pohon kurma dan ratusan mata air. Di sana Alexander segera menuju Kuil Amun. Di sana juga ia bertemu dengan sang peramal legendaris.
Kepada sang peramal, Alexander pun menanyakan siapa pembunuh ayahnya. Peramal itu pun menjawab, bahwa yang membunuh Raja Philip adalah orang terdekatnya sendiri, yaitu pemimpin pasukan pengawalnya, Pausanias.
Demikianlah, hanya untuk mengobati rasa gelisah yang menggantung di hatinya tentang siapa orang yang mencelakai ayahnya itu, Alexander rela berjalan ratusan kilo menembus padang sahara yang ganas. Di kemudian hari, Alexander pun memerintahkan untuk menangkap dan membunuh Pausanias si pengkhianat.
Tak hanya itu saja, di Kuil Amun itu juga, para kahin kuil menahbiskan Alexander sebagai manusia setengah dewa, anak dari tuhan Mesir Kuna, Amun. Para kahin seakan mendapatkan wahyu jika lelaki Yunani yang datang waktu itu adalah titisan dewa Amun. Karena itu jugalah, kuil tersebut dikenal dengan Kuil Wahyu.
Dari sang peramal itu pula, Alexander memperoleh nubuwat bahwa ia akan menjadi seorang kaisar besar. Dikatakan oleh sang peramal, bahwa Alexander akan menjadi raja tiada banding, kekuasaannya merentang dari tempat mata hari terbit sampai ke tempat tenggelamnya, dari timur ke barat. Alexander menjadi Kaisar di Yunani, Pharaon di Mesir, Kisra di Persia, dan Maharaja di India.
Ramalan sang kahin rupanya memberikan kekuatan supranatural tersendiri bagi perjalanan Alexander berikutnya.
Setahun kemudian (331 SM), Alexander menaklukkan Babylonia (Irak) dan imperium raksasa Persia (Iran). Alexander kemudian bergerak terus menaklukkan Asia Tengah (kerajaan Turan/Turkik, 329 SM), lalu anak benua India (326 SM).
Kuil Amun tempat pertemuan Alexander dengan sang peramal sakti itu, sekaligus tempat pentahbisannya sebagai anak dewa Mesir Kuna Amun itu kini masih ada, berdiri membisu menjadi saksi sejarah tentang kisah keagungan masa silam yang tak hilang lekang.