Sedang Membaca
Konflik di antara Sahabat Nabi: Ihwal Sayidina Muawiyah
Ahmad Rijalul Fikri
Penulis Kolom

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Ibrahimy cum Mahasantri Marhalah Tsaniyah Ma’had Aly Situbondo Jawa Timur dengan konsentrasi Fikih dan Usul Fikih. Instagram @arfikri4ntb. Relawan Guide (Virtual) Indonesia Generasi Literat.

Konflik di antara Sahabat Nabi: Ihwal Sayidina Muawiyah

Saya hanya ingin tabayun, Kiai. Ini mengenai sepakat ulama mengambil sikap sukût terhadap kedua peperangan, Perang Jamal dan Perang Shiffin. Mengapa harus demikian ya, Kiai? Bukankah, menurut hemat saya, justru akan lebih baik dan berfaedah bilamana kedua peperangan itu dibahas dan dijelaskan sebagaimana adanya sehingga umat Islam sekarang dan di masa mendatang dapat mengambil hikmah dan pelajaran berharga darinya? Sekian.

Kira-kira begitulah deskripsi pertanyaan yang penulis ajukan kepada KH. KH. Zainul Mu’ien Husni, Lc. ketika mengisi kuliah di Ma’had Aly Marhalah Tsaniyah beberapa waktu yang lalu.

Pertanyaan itu muncul di tengah bahasan kitab Fiqhus Sirah an-Nabawiyyah karya Syekh Dr. Muhammad Said Ramadhan Albuthi; tentang perbedaan “Bai’ah ‘Aqabah Pertama” dan “Bai’ah ‘Aqabah Kedua”.

Ketika itu beliau menerangkan bahwa “Bai’ah ‘Aqabah Pertama” disebut pula “Bai’ah Nisa’”, karena dalam pada itu belum ada poin perjanjian untuk berperang, baru kemudian pada “Bai’ah ‘Aqabah Kedua” terdapat isyarat perang di dalamnya. Dalam jeda usai beliau menjelaskan itulah, penulis memberanikan diri unjuk tangan sebagai tanda meminta izin beliau untuk diperkenankan bertanya dan beliau pun mengizinkan penulis.

Yang pertama-tama harus dipahami, yaitu mereka yang terlibat di dalam kedua peperangan itu berperang bukan berdasar hubbud dunya (gandrung dunia) dan juga bukan didasari hubbur riyasah (gila jabatan), namun itu karena ijtihad mereka masing-masing. Demikian dawuh pendiri sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren An-Nadwah Kalianget Banyuglugur Situbondo itu mengawali tanggapan beliau atas pertanyaan tadi.

Baca juga:  Melihat Perdebatan Tasawuf dan Pemikiran Para Akademisi

Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa berperang itu manusiawi sementara tafwid atau sikap sukut termasuk bagian dari akidah kita yang berhaluan paham Aswaja. Adapun alasan ulama memilih tafwid sebab khawatir su´ul adab (kurang ajar) terhadap orang-orang terkasih Nabi saw, di mana Sayidina Ali karramallahu wajhah merupakan sepupu sekaligus menantu Rasulullah, Sayidatuna ‘Aisyah radliyallahu ‘anha adalah istri Rasulullah, sedangkan Mu’awiyah bin Abu Sufyan jelas-jelas termasuk salah satu sahabat Rasulullah. Begitu juga halnya para pendukung mereka masing-masing seluruhnya tergolong generasi sahabat yang disabdakan Rasulullah sebagai:

As-Sahabah kulluhum ‘udul (sahabat seluruhnya ialah orang-orang yang adil),” dan seterusnya. Adapun sikap su´ul adab bukanlah corak keberislaman yang berpaham Aswaja.

Barangkali demi lebih memahamkan penulis selaku penanya bersama kawan-kawan santri yang lain yang mengikuti dan menyimak seksama pengajian beliau, Kiai Zainul (begitu kami karib memanggil beliau) menambahkan beberapa penjelasan terkait lainnya, contoh-contoh, dan juga bercerita; satu di antaranya kenangan beliau tentang al-marhum al-magfur lahu Kiai Haji Zaini Mun’im, mu´assis (pendiri) Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Beliau pernah nyantri di pesantren ini dan termasuk bagian ahlul bait-nya, serta sampai saat ini beliau pun masih istikamah mendedikasikan ilmu beliau di sana.

Dahulu di saat pengajian membicarakan tentang Perang Shiffin, Sang Kiai (Kiai Haji Zaini Mun’im) menyampaikan pandangannya yang lebih condong dan berpihak kepada Sayidina Ali dan menyalahkan tindakan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Akan tetapi, tidak berselang lama setelah itu Sang Kiai meralat pandangannya tersebut.

Baca juga:  Imam al-Qusyairi, Sufi yang Prihatin atas Penyimpangan Tasawuf

“Tadi malam saya didatangi sahabat Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan beliau menegur saya,” begitu kira-kira dawuh Sang Kiai menceritakan mimpinya. Akhirnya, Sang Kiai mencabut keberpihakan dan dukungannya kepada Sayidina Ali tersebut. Juga, tidak lagi segan menyalahkan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Selanjutnya, beliau memilih untuk bersikap tafwîḍ dalam masalah ini.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top