Selasa Pon (16/02/2021) sudah agak siang. Saya mendapat kopi pahit. Setelah sebelumnya berbagai serial kabar duka datang, termasuk nenek saya sendiri yang baru saja genap tujuh harinya, datang bertambah satu kedukaan lagi. Dikabarkan Abuya Minan Abdillah, seorang ulama penghafal, pengajar dan pakar ilmu Alquran, meninggal dunia.
Lama saya berdiang di abu dingin. Untuk mengobati jarak dan keadaan, karena tidak bisa merapat memberi hurmat dari dekat, saya menelusuri You Tube. Mencari kembali sosok dan frekuensi ruhani beliau. Ketemu. Melalui sebuah unggahan (2015), terlihat sosok beliau, terdengar suara beliau.
Beliau bercerita banyak. Salah satunya tentang Jihad, seorang anak kecil, umur 7 tahun yang gemar makan coklat. Entah karena cerdas atau kreatif, anak itu sering (selalu) mengambil coklat tanpa membayar. Dia punya toko langganan. Di situ dia biasa membeli coklat. Sering mampir, membeli satu coklat, membayarnya, namun mengantongi dua-tiga coklat lain yang tidak dibayar: mengutil.
Kebiasaan membeli plus mengutil itu, dilakukan bertahun-tahun. Satu kebetulan. Dia lupa, tidak mengutil coklat, hanya membeli dengan wajar. Pemilik toko yang sudah sangat hafal dengan perangai Jihad, malah janggal: tumben Jihad tidak mengutil. Saat membayar coklat, Jihad diomongi halus oleh pemilik toko, “kamu gak ngambil coklat lagi?”. Jihad kaget, tersentak. Bercampur malu, dengan segenap rasa bersalah Jihad memohon maaf. Dia menunduk, menunjukkan penyesalan, meminta maaf kepada pemilik toko. Tak dinyana ternyata aksinya mengutil bukannya tak ketahuan, tapi dibiarkan begitu saja. Dibiarkan selama bertahun-tahun, tanpa sedikit pun dituduh bahkan disudutkan sebagai pencuri.
Anehnya, pemilik toko justru berkata: “Seluruh coklat yang aku jual di toko ini, boleh kamu ambil sesukamu. Kapan pun kamu mengingininya”.
Sejak itu, Jihad semakin akrab dengan pemilik toko: Ibrahim, seorang Prancis kelahiran Turki. Akrab, seperti bapak sendiri. Setiap ada masalah, Jihad datang ke sana. Bercerita dan meminta saran atau arahan dari Ibrahim. Ibrahim, bagi Jihad menjadi sosok bumi langit, tempat bersandar dan merujuk saat mendapat permasalahan hidup.
Tak bisa diterka, Ibrahim meninggal dunia. Jihad merasa kehilangan. Waktu itu usia Jihad sekitar 25 tahun.
Berbeda dengan Jihad yang merasa dicurangi waktu, Ibrahim sudah mempersiapkan wasiat untuk diberikan kepada Jihad. Ibrahim meninggalkan 2 barang. Sebuah buku dan sebuah lembaran semacam ‘bagan’ atau peta. Dengan diselipi surat wasiat khusus, Ibrahim berpesan kepada Jihad: “saat nanti kamu sedang bingung, tidak menemukan pemecahan atas masalah hidupmu, carilah jawabannya pada buku ini”.
Setelah menerimanya, Jihad mengetahui kalau buku tersebut adalah Alquran yang dilengkapi dengan terjemahan bahasa Prancis. Sedangkan barang satunya, yang berupa lembaran bagan, Jihad belum dapat memahami apa maksudnya. Dia hanya tahu, di lembaran itu tertulis, “ud’u ila sabiili rabbika bil hikmah”. Entah apa maksudnya.
Benar saja, setiap mendapat masalah berat, Jihad membuka Alquran peninggalan Ibrahim. Karena bukan muslim, Jihad tidak bisa membaca Alquran. Walaupun dapat memahami terjemahannya, Jihad ingin mengetahui dan mendengar Alquran dibaca seaslinya. Melalui bantuan orang Tunis, Alquran terbaca. Setelah itu, Jihad lantas membaca sendiri versi terjemahannya. Sedemikian, berulang kali Jihad mengambil inspirasi dan solusi permasalahan hidup dari Alquran. Hasilnya selalu positif: melalui pemahaman yang didapatkan dari Alquran, masalah terselesaikan.
Bagi Jihad, tidak ada masalah yang tidak terselesaikan ketika Alquran telah bicara. Dia pun masuk Islam. Tanpa ada saran atau ajakan dari siapapun, dia menjadi seorang muslim karena tarikan Alquran. Padahal garis keluarganya berdarah Yahudi yang terdidik-terpelajar. Ibunya seorang dosen di perguruan tinggi. Satu pembalikan keimanan yang tidak lazim, bisa dibilang cukup janggal.
Setelah menjadi muslim, Jihad berkeinginan berdakwah. Dia pergi ke Afrika. Tinggal di sebuah perkampungan, berdakwah di sana. Metode dakwahnya seturut pengalamannya sendiri, yakni merujukkan setiap masalah dan pertanyaan kehidupan kepada Alquran. Hasilnya mengejutkan—setidaknya menurut pandangan normal—seluruh warga kampung di sana simpati pada Jihad, dan memeluk Islam. Sekurang-lebihnya 6 juta orang telah masuk Islam, karena Jihad.
Inilah kisah perjalanan keter-futuh-an seseorang. Diceritakan oleh Abuya Minan Abdillah di hadapan para pengajar Alquran metode Qira’ati. Kondisi futuh tersebut menurut Abuya Minan, adalah karena hikmah laku seorang Ibrahim tadi: ud’u ila sabiili rabbika bil hikmah.
Suluk Qur’ani: Melampaui Ragawi Kata
Sejak dulu, setiap mengikuti majlis Abuya Minan, saya seperti rusa masuk kampung. Terdiam, terheran-heran mendengar penjelasan beliau yang panjang lebar dan mendalam. Waktu masih di bangku sekolah Aliyah, Abuya Minan mengampu Ulum Al-Qur’an. Selain itu, dengan tidak rutin saya pun mengikuti pengajian Tafsir Jalalayn beliau.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Sebagai putera dari Kiai Abdullah Zain Salam (Mbah Dullah) Kajen, Abuya Minan mewarisi ruh kequr’anan abahnya. Jika benih baik, jatuh ke laut menjadi pulau. Pernah belajar di Makkah, di Ma’had Al-Maliki, Abuya Minan pulang ke Kajen sebagai seorang ulama qur’an yang luas dan mendalam pengetahuannya.
Bacaan Alquraannya sangat fasih, indah dan ‘terasa dalam’. Abuya Minan, sudah didapuk sebagai imam sholat Jum’at di masjid Kajen saat Mbah Dullah, Mbah Sahal, dan ulama-ulama sepuh masih yuswa. Hal ini menunjukkan kefasihan bacaan Alquran beliau teraklamasi secara bulat.
Walau begitu, Abuya tidak tergoda menjadi tenar. Beliau mencukupkan diri dengan mengajar di kampung. Menjadi guru di sekolahan swasta (Perguruan Islam Mathali’ul Falah), men-talaqqi santri beliau, dan mengisi pengajian tafsir.
Abuya Minan adalah antitesis dari “indah kabar daripada rupa”. Beliau merupakan ulama masak air: padu, selaras antara ilmu dan laku hidup. Sehingga kesan yang dikabarkan terkait beliau, selalu lebih kecil bobotnya daripada saat bertemu dan ber-talaqqi langsung.
“Orang boleh mengkaji tafsir dan meneliti Alquran secara ilmiah, tapi jangan meninggalkan nglalar (membaca untuk merawat hafalan) Alquran, karena manfaat nglalar bagi pengamalnya begitu besar”, salah satu ujar beliau. Dari sini, bisa dipahami bahwa jalan kequr’anan yang dikukuhi beliau adalah kemenyeluruhan: dhohiron wa bathinan.
Waladatka ummuka yabna adama bakiya // Wannasu haulaka yadhhakuna sururo // Fajhad linafsika antakuna idza bakau // Fi yaumi mautika dhohikan masruro
Manusia terlahir menangis, di saat sekelilingnya menyambutnya dengan tawa gembira. Lalu melalui tapa laku ketat, saat dia berpulang mati, dia meninggalkan orang-orang yang mengisinya karena kehilangan, sedang dia sendiri “tersenyum bahagia”.
Al Fatihah. []