Yogyakarta, bila didudukkan dalam konteks keilmuan dan literasi, bisa dikatakan semacam surganya buku. Berbagai jenis buku, dari berbagai disiplin keilmuan tersedia. Namun bagi kalangan pesantren, buku-buku yang ada di Yogyakarta terbilang ‘buku putih’.
Lantas apakah ada buku hitam, hijau, merah, dan semacamnya? Tentu bukan itu maksud saya. Ini hanya sebutan saja, sejauh terkait adanya sebutan aklamatif terhadap satu jenis literatur khas pesantren yang disebut ‘kitab kuning’. Sebuah penyebutan untuk buku-buku khas ala pesantren tradisional.
Kitab kuning ini sebenarnya cukup polemis bila dirunut penamaannya. Apakah ber-illat pada warna kertasnya yang kuning? Ataukah karena kelawasannya yang menjadikan buku-buku ini sampai nampak menguning? Kedua illat atau penyebab ditetapkannya sebutan ‘kitab kuning’ tersebut, cukup lemah. Namun secara isi bahasan, kitab kuning adalah sebutan untuk buku-buku yang di dalamnya membahas ilmu-ilmu keislaman klasik. Ilmu-ilmu ini meliputi ilmu alat atau tata bahasa dan sastra Arab (nahwu, shorof, balaghah, ‘arudh dan segenetikanya), ilmu ubudiyah (fikih, tasawuf, dan seputar kajian keislaman), ilmu riwayat, dan sebangsanya yang ditulis oleh ulama-ulama salaf (Martin van Bruinessen: 2012).
Anehnya, di Yogyakartalah saya dipertemukan dengan satu kitab yang sangat kuning. Walupun kitab ini tidak berkertas kuning. Inilah Kitabul Luma’, sebuah naskah klasik yang dianggit oleh empunya teologi Asy’ariah, Imam Abul Hasan Al-Asy’ari, sekaligus disebut sebagai salah satu simbol penting otoritas keulamaannya dalam diskursus teologi atau kalam (Yunus Masrukhin: 2020).
Dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Martin van Bruinessen mencirikan tradisi keilmuan pesantren tradisional ditandai dengan akidah Asy’ariyah, fikih Syafi’iyyah dan esoterisme Ghazaliyah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar kajian keilmuan di pesantren berada dalam rumah (atau mungkin juga kamar) ketiga mazhab tersebut. Baik yang ditulis langsung oleh ketiga ulama kondang tersebut, atau oleh penerus mereka yang diterima sebagai otoritatif.
Dari ketiga penanda tradisi keilmuan yang sekaligus identitas epistemologis pesantren tersebut, mungkin hanya teologi yang mendapat tempat paling kecil. Kitab-kitab seputar ke-Syafi’iyyahan dan ke-Ghazaliayahan sangat jamak dikaji. Baik melalui kajian sorogan, bandongan, atau melalui laku muthala’ah mandiri.
Kitab-kitab buah karya langsung Imam Al-Asy’ari semisal Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah, Risalat Istihsan Al-Khaudh fi ‘Ilmi Al-Kalam, Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhtilaf Al-Mushallin, Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah:
Nahwa Wasthiyyatin Islamiyyatin Jami’atin, adalah deretan kitab-kitab yang cukup asing bagi kita. Termasuk Kitabul Luma’ yang sedang terbahas ini.
Imam Al-Asy’ari sendiri sebagai seorang yang padanya dinisbatkan sebutan akidah mayoritas muslim Indonesia—bahkan dunia—lebih banyak dikenali melalui ulama-ulama generasi setelahnya. Akidah Asy’ariyah atau teologi Asy’ariyah, lebih sering ‘dikutip sebagian’ daripada dipelajari secara mendalam. Hal ini dapat dilihat dari rona kepakaran ulama maupun kiyai yang ada di lingkungan pesantren. Alih-alih ustadz-ustadz medsos dan ke-youtube-an.
Seberapa banyak dari para ulama kita (Asy’ariyyah) yang cukup otoritatif sebagai pakar teologi? Jangankan para sarjana jebolan universitas kekampusan, para gawagis (figur-figur yang melanjutkan genetika kiyai pesantren) dan alumni pesantren pun masih perlu dipertanyakan penguasaan teologinya. Termasuk perkalaman Asy’ariyah sendiri.
Saya sendiri bertemu dengan Kitabul Luma’ ini lewat pertemuan dengan salah satu kakak angkatan di pesantren yang sekarang berdomisili di Yogyakarta. Setelah lama tinggal sebagai musafir pengetahuan di Yogyakarta, kadang kala saya merasakan sepi. Kesepian ini lebih pada kesepian eksistensial terkait dengan kerinduan nuansa keilmuan khas pesantren yang pada satu tempo bertalian dengan wacana problematika sosial maupun keilmuan terkini. Pada kakak angkatan saya ini, kesepian tersebut sedikit memudar.
Di Yogyakarta, kakak angkatan saya ini lebih persis dikatakan sebagai mentor, bahkan mursyid keilmuan bagi saya. Saya biasa memanggilnya dengan Syekh Yunus. Sebuah panggilan familiar, yang secara implisit menandai kepakarannya dalam ilmu keislaman.
Melalui dia, saya diperlihatkan rupa-rupa literatur keilmuan pesantren maupun keilmuan kontemporer yang berkategori buku antep. Dia sendiri berkuliah di Al-Azhar Al-Syarif, Mesir. Disertasi yang mengantarkannya pada “Ph.D” Teologi Islam, berjudul Al-Janib Al-Insani fi Al-Khithab Al-Kalam ‘inda Al- Asy’ariyah: min Al-Insaniyyah Al-Kalamiyyah ila Maqashid Al-‘Aqidah. Sebuah disertasi tentang “humanisme dalam perspektif teologi Asy’ariyah”.
Melalui dia ini, yang juga mengajar di pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, saya mengenal Kitabul Luma’. Tersebab permintaan dari salah seorang temannya, digagaslah majelis pengkajian rutin satu kitab klasik tertentu. Alhasil, dipilihlah Kitabul Luma’ sebagai materi kajian rutin tersebut. Sebuah kebetulan yang ‘betul’, saya ikut sesekali di majelis ini. Sesekali yang berarti tidak rutin.
Kitabul Luma’ bukanlah kitab tebal, apalagi sampai berjilid-jilid. Halaman terakhir kitab ini, adalah shahifah 136, Artinya, menyertakan cover dan lembar-lembar tambahan, bertebal 130-an halaman. Tidak terlalu tipis, namun jauh dari jenis kitab yang tebal.
Berisi sepuluh bab, Kitabul Luma’ membahas tentang argumen-argumen teologis. Bab-bab dalam Kitabul Luma’ di antaranya membahas tentang: Allah wa Shifatuhu, Al-Kalam fi Al-Qur’an wa Al-Irodah, Al-Kalam fi Ar-Ru’yah, Al-Kalam fi Al-Qodr, Al-Kalam fi Al-Iman, dan selainnya yang berkisar pada tema-tema pokok perkalaman Islam.
Istilah “kalam” sendiri, sejauh merujuk pada Kitabul Luma’, adalah argumen-argumen yang logis-dialogis. Logis dalam sistem perkalimatannya, serta dialogis dalam sistem kerangka tuturannya. Jadi di dalam tata tutur dan penyusunan argumen Kitabul Luma’, oleh penulisnya digunakan pola Tanya-Jawab. Pertanyaan sebagai representasi masalah, serta jawaban sebagai respon berikut analisis induksi-deduksi, sehingga pembaca mendapatkan nuansa terang di dalam permasalahan hujjah ketauhidan tanpa melalui jalan memutar.
Pada waktu Kitabul Luma’ ini ditulis, tentu belum mengemuka sebutan (aliran teologi) Asy’ariyah. Karena penisbatan ini, baru muncul di kemudian hari setelah berpulangnya Imam Asy’ari (330 H). Sebuah penamaan yang mencirikan karakteristik khas sebentuk teologi Islam yang disandarkan pada tokoh penggagasnya: Imam Abul Hasan Al-Asy’ari. Penting untuk diperhatikan bahwa kitab ini merupakan naskah yang ditulis pada abad ke-4 Hijriah. Jadi, argumentasi dan permasalahan terbahas merupakan dinamika diskursif yang khas pada era itu. Wallahu a’lam.