Akhmad Faozi
Penulis Kolom

Penulis berasal (lahir) dari kultur ‘tani’ desa Geneng Mulyo kecamatan Juwana kabupaten Pati, Jawa Tengah. Domisili di Jogja. Hobi: menikmati dan belajar hidup melalui sabda 'iqra'. Sesekali berpiknik fiksi dan ilmiah, untuk memaknai keseharian yang dijalani.

Mengenal Kitab Pesantren (12): Prosa Sufi Lujainud Dani

15888382198431595610806655682318

“Mad, sana pergi panggil Pak Dhe-mu! Mbah Sirun sudah datang. Manakiban akan dimulai, segera.” perintah kakek padaku.

Di ruang tengah, telah berkumpul bapak, paman-paman, dan beberapa tetangga sekitaran rumah. Mereka duduk bersarung-berkopyah, melingkari sajian tertutup mori (lembar kafan) putih. Di dalam mori putih itu ada nasi uduk, ingkung ayam dan setangkep (dua tundun) pisang raja.

Setelah sampai di rumah paman yang tak jauh dari rumahku, paman sudah bersiap dengan pakaian yang hampir sama dengan hadirin lain. Dia pun bergegas. Tiba di tempat, paman menyalami semua yang hadir. Sekitaran sepuluh orang. Manakiban dimulai. Mbah Sirun, seorang lelaki tua berusia enam puluhan yang berumah dekat masjid tetangga desa, membacakan, “al-Fatihah, al-Fatihah”, lalu membaca cepat kata-kata Arab samar.

Acara ini adalah tradisi yang sangat jamak dilakukan di kampung saya. Setelah acara selesai, sajian bermori itu akan dibagi-bagi ke semua yang hadir. Ayam utuh dipatah-patah dengan tangan, dibagikan di piring-piring sejumlah yang hadir. Termasuk ibu-ibu, sekeluarga, setetangga yang telah sejak siang datang bergiat di dapur. Bila masih ada lebihan lagi, dibawa pulang sanak kadang. Suasana tersebut begitu guyup dan hangat.

Ini adalah ilustrasi perkenalan pertama saya dengan ‘manakib’. Sebuah tradisi memperdengarkan seorang pembaca kitab kecil berhasa Arab yang, saat itu tidak saya pahami artinya. Setidaknya sampai saya berada di pesantren. Bahwa manakiban di kampung, adalah sebuah pembacaan manaqib atau hikayat hidup seorang wali masyhur: Syekh Abdul Qadir al-Jilani.

Baca juga:  Jelang Munas Alim Ulama (6): Ulama Sumbawa dan Upaya Rekonstruksi Sejarah Kesultanan Islam Sumbawa

Bagi masyarakat pedesaan, manaqib syekh Abdul Qadir al-Jilani, lebih dikenal dengan sebutan manakib saja. Hampir orang-orang pesisiran utara (Pati, Kudus, Jepara, Rembang, Blora) mengenal kitab ini. Tetapi tak banyak yang bisa membacanya. Alih-alih tahu artinya. Di kampung, jangankan bahasa Arab, bahasa Indonesia saja masih sering bercampur basa Jawa dan logat desa medhok. Setidaknya, ini kondisi saat saya kecil.

Dalam tradisi kepesantrenan, kepopuleran kitab manakib syekh Abdul Qadir al-Jilani, tak kalah dibandingkan kitab maulid Nabi. Di antara ragam kitab manakib—khususnya manakib syekh Abdul Qodir al-Jilani—yang paling populer adalah Lujainud Dani. Lujainud Dani ini pula yang waktu saya kecil dibaca oleh mbah Sirun tadi—yang saat itu terdengar seperti lantunan igauan Arab yang berritme cepat dan bergema samar-samar.

Lujainud Dani adalah sebuah kitab tipis karangan ulama’ Kurdistan bermarga Al-Barzanji: Syekh Husein bin Abdul Karim bin Muhammad. Menurut Martin van Bruinessen “Barzanji” ini bisa juga dieja “barzinji”. Lujain ad-Dani mengisahkan tentang kisah hidup dan momen-momen (jejak) mistik seorang waliyyullah: Abdul Qodir Al-Jilani.

Dugaan terkuat keistimewaan kitab ini adalah faktor penulisnya. Syekh Husein bin Abdul Karim bin Muhammad al-Barzanji adalah tokoh yang dikenal berafiliasi dengan tarekat Qadiriyah. Sebuah aliran praktik kesufian mu’tabarah yang bersandar pada pengalaman kesufian syekh Abdul Qadir al-Jilani. Selain Lujainud Dani, syekh Husein pula memiliki satu karya lain yang justru lebih populer yaitu Iqd al-Jawahir fi Maulid an-Nabiyy al-Azhar yang berisi kisah maulid Nabi Muhammad. Kitab ini pun teramat populer, dikenal dengan “Maulid al-Barzanji” saja. Praktiknya dikenal sebagai berjanjenan. Bila dibutuhkan, bisa dibahas kitab ini di lain kesempatan.

Baca juga:  Catatan Covid Lintas Benua

Dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Martin van Bruinessen (2012) menyampaikam kepada kita bahwa kepopuleran Lujainud Dani ini lahir karena adanya keterpengaruhan tradisi keilmuan tokoh-tokoh awal penyebar Islam di Nusantara dengan tradisi keilmuan Kurdi. Fenomena ngalap berkah ala pesantren, khususnya terkait manakib syekh Abdul Qadir al-Jilani ini, juga mirip-mirip dengan tradisi masyarakat Kurdi atau Kurdistan, sekarang bagian dari negara Iraq. Di Kurdi ini pengaruh syekh Abdul Qadir al-Jilani sangat sentral, hampir tokoh berpengaruh di sana adalah pengamal tarekat Qadiriyyah.

Istilah ngalap berkah sendiri dalam khazanah Arab dikenal dengan tabarruk: mengharapkan hadirnya sebuah keberkahan. Berkah atau barokah ini berarti ziyadatul khair atau mendapatkan ‘nilai plus’ dari sebuah laku kebaikan. Artinya, bisa dipahami bila praktik manakiban yang dilakukan orang-orang tertentu, ditujukan supaya ada ‘berkah’ yang hadir seiring atau setelah pembacaan kitab manakib dilakukan.

Dalam konteks tabarruk-an, praktik memperbaca-simakkan manakib Lujainud Dani, dilakukan dengan harapan mendapatkan ‘berkah’ dari walinya Allah. Melalui pengisahan laku hidup syekh Abdul Qadir al-Jilani, pembaca dan penyimak sama-sama berharap datangnya berkah. Sedemikian alasan masyarakat di pedesaan (pesisir utara) sering melangsungkan ‘tradisi baca-simak manakib’ ketika sedang mempunyai hajat tertentu. Tentu hajat ini sangat beragam. Mulai dari pekerjaan, perkawinan, sunatan, dan rupa-rupa tergantung pemilik hajat.

Baca juga:  Santri dan Buku Filsafat

Di pesantren, kitab Lujainud Dani ini jarang diikutkan dalam kurikulum wajib. Artinya tidak masuk sebagai handbook mata pelajaran formal. Tetapi kepopuleran kitab yang satu ini, tetap tinggi.

Ada momen unik sekaligus menarik, bahwa walaupun di luar kurikulum, namun pernah satu ketika kitab manakib syekh Abdul Qadir al-Jilani ini dikaji di dalam ‘ruang kelas’. Kitab ini dibaca, dimaknai (diterjemahkan dan diterangkan), sekaligus diijazahkan berikut sanad dan pengamalannya di kelas. Kejadian ini terjadi saat target mata pelajaran telah rampung, namun masih menyisakan satu-dua minggu sebelum ujian sekolah berlangsung.
Satu hal penting dalam fenomena manakib Lujainud Dani ini.

Bagi kalangan pesantren, untuk dapat ber-tabarruk-an dengan kitab manakib, disyaratkan mendapatkan ‘ijazah sanad pembacaan’ dari guru kepada murid, melalui prosedur pengijazahan sebagaimana lazimnya di pesantren. Jadi bukan asal bisa membaca tulisan Arab, kemudian nyelonong menjadi qari’ kitab manakib. Walaupun kitab ini bisa saja diperjual-belikan secara umum, namun dalam batas tertentu, tidak setiap orang memiliki keabsahan atau otoritas praktis untuk membacanya. Demikian tradisi pesantren kami.

Akhirnya, kitab Lujainud Dani adalah sebuah fenomena khas yang dalam praktik pembacaan, pengkajiannya terlabari nuansa tabarruk. Kitab Lujainud Dani sendiri bukanlah mantra, atau kidung mistis. Kitab ini bila dibaca adalah sebentuk prosa biasa yang mengkisahkan perjalanan hidup Abdul Qadir al-Jilani. Seorang ulama era 1000-an Masehi yang masyhur sebagai seorang Wali. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Scroll To Top