Sedang Membaca
Pujian Gus Dur untuk Gus Sholah
Ahmad Faozan
Penulis Kolom

Penggerak Pustaka Tebuireng

Pujian Gus Dur untuk Gus Sholah

Selama ini, dipermukaan umum kakak beradik ini terpandang seringkali berbeda pandangan. Dalam buku berjudul, KH. A. Wahid Hasyim dalam Padangan Dua Putranya, Gus Dur & Gus Sholah, memuat debat kakak beradik di media massa.

Polemik itu berawal dari tulisan Gus Dur tertanggal 8 Oktober 1998 berjudul “A. Wahid Hasyim, Islam dan NU” dimuat di Koran Media Indonesia, tepatnya sepanjang tahun 1998. Sesuai permintaan Yai Sholah, kedua artikel Gus Dur dan Gus Sholah untuk diterbitkan kembali Pustaka Tebuireng pada tahun 2015.

Artikel tersebut sangat mencerahkan. Kita dapat belajar mengenai arti perbedaan dan cara menyikapi perbedaan pendapat dengan santun. Namun, di kalangan pengikutnya seakan tampak kemudian terlihat membelah. Padahal sebenarnya di antara Gus Dur dan Gus Sholah baik-baik saja. Kenapa bisa demikian?

Berani berbeda pandangan dan mempertahankan argumentasinya penuh dengan kesantunan sudah diajarkan dengan baik di dalam keluarga mereka. Jadi, menjadi hal biasa di kalangan keluarga mereka. Di luar dalam satu urusan terpandang berbeda pandangan namun dalam hal lainnya mereka guyub rukun.

Sejatinya ibu Nyai Sholihah Wahid Hasyim yang telah berhasil menanamkan pendidikan karakter kepada putra-putrinya dalam lingkungan keluarganya. Dalam banyak hal, ibunya selalu menjadi sebuah inspirasi. Mengapa tidak ayahnya? Karena KH. Abd. Wahid Hasyim wafat di usia muda.

Baca juga:  Pejalan Malam: Teruntuk Ibu

Alkisah, pada suatu waktu Gus Dur diwawancarai oleh seorang wartawan dengan diberi tema, Jangan Pakai Ukuran Lama. Saat Gus Dur ditanya, siapa yang mempengaruhi Anda dalam hidup? Tanya wartawan Matra. Ibu Solichahlah yang berjasa membentuk kepribadian saya. Kami putra-putri KH. Abd. Wahid Hasyim dan Nyai Sholihah dibesarkan oleh ibu saya. Ayah meninggal saat saya berumur 12 tahun. Ada yang menjadi insyinyur, dokter, pengusaha, tokoh masyarakat.

“Gus Sholah, adik saya bisa menjadi insinyur berkat ibu saya. Menurut Gus Dur, apa yang bisa dicapai dengan apa yang dimiliki, yang serba sedikit itu, bisa dicapai dengan sebaik-baiknya. Sebagai contoh, adik saya, bersekolahnya sampai terhenti. Dia berhenti dulu, kerja dulu. Kemudian setelah ada kesempatan dan ada dananya, sekolah lagi. Sampai tamat jadi insinyur arsitek. Itu berkat petunjuk ibu.”

Dan “dalam keluarga, ibu menasehati begini: Kalau kamu mau kawin, terserah. Tapi saya tidak akan membiayai kamu. Sebab kawin itu berarti mentas, kamu bukan tanggungan saya lagi. Dan adik saya kawin sebelum lulus, dan dia bikin perusahaan. Sekarang sudah berkembang biro arsiteknya memiliki 85 Insinyur. Dan omzetnya sekarang sudah sampai 2 milyar. Setelah 16 tahun prei, dia nerusin lagi. Sudah jadi bos, bari dapat gelar insinyur.” (Kisah dialog wawancara Gus Dur ini dimuat di Majalah Matra, 1987)

Baca juga:  Gus Sholah, Kiai Peduli Aswaja

Gus Dur sebagai kakak telah berhasil menjadi inspirasi bagi adik-adiknya. Begitupun dengan adiknya untuk menjadi besar, tidak semata-mata sebatas mengandalkan kakaknya atau kerabatnya yang lain yang sudah besar. Dalam hal inilah bisa jadi, Gus Sholah sebagai adik juga berusaha untuk berjuang keras untuk berhasil menjadi dirinya sendiri.

Ya, beliau pasti berbeda dengan Gus Dur dan pasti ada titik persamaannya, sama-sama terlahir dari keluarga yang sama, dan sama-sama menjadi Ibu Nyai Sholihah sebagai inspirasinya.

Gus Dur dan Gus Sholah merupakan tokoh penting di republik Indonesia ini. Perjuangan dan pengabdian mereka kepada agama dan bangsa layak untuk kita petik. Meminjam istilah, Kiai Ulil Abshar Abdala, “Gus Dur dan Gus Sholah merupakan hadiah dari Hadratussyaikh KH. M. Hasyim untuk negeri ini.”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top