Dalam banyak kesempatan, Gus Zaki berhasil menyampaikan pesan-pesannya penuh dengan makna. Selain sarat gizi, tidak kaku, dan juga mampu membuat suasana menjadi mencair, banyak kesan dan pesan penting dari beliau bila kita perhatikan. Apalagi saat duduk bersama beliau, mbetahi. Cuman kita sebagai santrinya tahu diri. Tidak berani lama-lama kalau urusan sudah selesai segera izin undur diri. Khawatir mengganggu waktu beliau yang sudah tertata jadwalnya.
Bagi kebanyakan santri-santriwati yang sudah dewasa dan masa belajarnya sudah paripurna. Serta sudah melewati masa pengabdian kepada kiai dan almamaternya selama sekian purnama, tentu saja bincang bab nikah sedikit banyak sudah selesai, tinggal nikahnya saja, itupun kalau mau, dan ada calonnya. Kalaupun belum ada calonnya, jikalau ada seorang santri yang sudah cakap ilmu, kepribadian, dan akhlaknya mulia maka tidak sedikit kiai yang siap membantu santrinya mencarikan seorang calon.
Pilihlah Pasangan Yang Salih/Shalihah
Pengetahuan dasar tentang pernikahan penting diketahui oleh siapa saja yang akan menikah. Kata menikah selalu asyik diperbincangkan namun menjalaninya tidak mudah. Tidak sedikit orang setelah menikah terpelanting. Namun tidak sedikit orang yang justru berhasil setelah menikah.
Menurut Gus Zaki bagi kamu khususnya para santri yang akan menikah perlu memperhatikan calonmu dengan tepat. “Bagi seorang santri, pilihlah perempuan yang salih. Jangan semata karena faktor kecantikan fisik yang dilihat.” Saya kira juga sama bagi seorang santriwati untuk memperhatikan calonnya. Jodoh memang misteri makannya melibatkan Allah penting supaya mendapatkan ridho dan petunjuknya.
Pesan lanjutan dari Guz Zaki, “jika ingin mencontoh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari tokoh panutan kaum kiai dan santri dalam memilih pasangan, tidak sebatas melihat kecantikannya semata namun juga kesalehannya.” Lihatlah juga ibundanya, Nyai Halimah yang berpuasa empat tahun.
Kenapa kok harus istri shalihah? Supaya mendapatkan keturunan yang salih-shalihah. Terbukti istri pilihan Hadratussyaikh telah melahirkan putra-putri yang salih-shalihah, hebat-hebat pula.”
Masih kata Pengasuh Masruriyah Tebuireng saat itu, Anak yang hebat terlahir dari seorang ibu yang hebat, bukan dari bapak yang hebat. Karena itulah wanita shalihah akan melahirkan seorang macan”. Pesan selanjutnya, berilah keteladanan yang baik putra-putri yang dimiliki. Yang terakhir, kelola hartamu dengan baik dan benar.
Dalam diri Hadratussyaikh tidak sedikitpun ada rasa hubbu dunnya. Meskipun sulit rasa-rasanya bagi kita mencontoh seperti beliau. Kalau kita tidak mau mencontoh dan meneladani beliau bagaimana mungkin kita dapat menggapai semuanya?
(Pesan di atas beliau sampaikan dalam sambutannya di acara acara bedah buku Kembali Ke Pesantren, buku tentang Gus Sholah, di Surabaya beberapa bulan lalu. Namun dalam kesempatan lain juga pernah beliau sampaikan.)
Setelah Menikah
Sekitaran tahun 2018 silam, alhamdulilah diberi kesempatan untuk menjemput Gus Zaki ke sebuah acara di Cilacap. Selama perjalanan sekitar 73 km dari kota Cilacap ke Gandrungmangu, sepanjang perjalanan beliau bercerita panjang lebar.
Dawuh beliau kepada penulis yang masih teringat mengenai beberapa hal. Pertama, untukmu anak muda yang baru saja menikah mulailah hidup dengan penuh kemandirian. Saya dahulu juga seperti itu. Kerja apa saja yang penting halal dan berkah, jangan gengsi.
Kedua, harga diri seorang pemimpin keluarga adalah mampu memimpin keluarga dengan baik. Dalam banyak hal harus dapat bekerjasama dengan baik dan saling mencintai. Ketiga, harga diri seorang pemimpin keluarga berikutnya adalah soal anak. Belum memiliki momongan seringkali menjadi momok. Terus berjuang. Mintalah sama Allah.
Begitu dapat momongan setelah menikah kita harus mendidiknya dengan baik dan benar. Didiklah anak-anakmu dengan baik.
Keempat, segera miliki rumah. Dengan memiliki rumah sendiri kita akan tenang dan leluasa. Seorang pemimpin keluarga juga harus kerja keras untuk mewujudkannya.
Kelima, soal kendaraan mobil jangan terlalu dirisaukan. Toh, kalau sudah mampu akan kebeli dan hendaknya mampu menggunakannya untuk suatu hal yang penuh kebermanfaatan. Bukan prioritas yang perlu dikejar di awal.
Keenam, menikah bukan suatu halangan untuk melanjutkan belajar. Istrimu yang setelah menikah dan masih memiliki tanggungan, dalam pengertian belum hatam menghafalkan Qur’an harus dilanjutkan. Sebab Al Qur’an bisa nguwalati kalau tidak diteruskan.
Beruntunglah seseorang yang pernah belajar di pesantren selama bertahun-tahun. Belajar hidup kemandirian sedikit banyak terlewati. Awal menjalani proses hidup mandiri bagi seorang santri di pesantren memanglah tidak mudah. Setelah terbiasa hidup mandiri akan membawa berkah di kemudian hari.
Dalam hal ini, saya juga masih mengingat betul pesan Gus Zaki bahwa hiduplah dengan penuh kemandirian. Nunut hidup bersama mertua, orang tua, dan orang lain memang enak tapi tidak selamanya. Kita harus berusaha mampu membangun keluarga sendiri dengan mandiri. Kerja keras. Mulailah dari dirimu dan keluarga kecilmu.
Sampai disini, kita diingatkan akan Syair Hikmah kesukaan KH. Abd. Wahid Hasyim yang diketik dan diterjemahkan ulang oleh Mas Mahbib Khoiron, Jurnalis NU Online. Berikut isinya:
“Setiap manusia adalah anak dari jerih payahnya. Semakin keras berusaha, semakin pantas ia jaya. Cita-cita yang tinggi dapat mengangkatnya ke derajat yang tinggi. Semakin keras berkemauan, semakin terang derajat itu. Tak ada langkah mundur bagi orang yang ingin maju. Tak ada kemajuan bagi orang yang menghendaki mundur.” Dan “Biarkan aku meraih kemuliaan yang belum tergapai. Derajat kemuliaan itu mengikuti kadar kemudahan dan kesulitannya. Engkau kerap ingin mendapatkan kemuliaan itu secara murah. Padahal pengambil madu harus merasakan sengatan lebah.”
Matur nuwun, atas segala bimbingan, nasehat, dan ilmunya Gus Zaki. Njenengan, sosok kiai muda yang menginspirasi dan penuh welas asih. Dan tidak pernah berjarak dengan para santri-santrinya, lebih-lebih santri seperti kawulo. Tentu, tidak akan pernah melupakan. Semoga engkau diberikan, ampunan, welas asih, dan kedudukan mulia oleh Allah Subhanahu wata ala. Al Fatihah.