Alfin Haidar Ali
Penulis Kolom

Mahasantri Ma'had Aly Nurul Jadid. Bisa disapa via Ig: alfinhaidarali179.

Santri dan Konservasi Lingkungan (3): Kiai Ali Yafie dan Konsep Hifzul Bi’ah

Whatsapp Image 2021 12 08 At 00.45.13 (1)

“Buruknya penanganan lingkungan hidup bukan karena agama Islam, tetapi karena beda tingkat pendidikan dan inefesiensi governance negaranya. Jika agama Islam dihayati dengan fikih lingkungan dan memuat enam komponen kehidupan dasar manusiar (al-dlaruriyat/al-kulliyat al-sitti) seperti diusulkan K.H. Ali Yafie, maka kaum Muslim bisa menjadi pendorong pembangunan berwawasan lingkungan,” tulis Emil Salim, mantan menteri KLH.

Sekilas tentang Kiai Ali Yafie

Ketika membicarakan lingkungan hidup di ranah Islam di Indonesia, barangkali nama Kiai Ali Yafie yang masyhur dan terbayang. Kiai Ali Yafie merupaka mantan ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), ketua dewan penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan pejabat Rois ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Mengapa terbayang nama Kiai Ali Yafie ?. Barangkali, sependek pengetahuan saya, Kiai Ali Yafie termasuk salah satu tokoh yang menggagas dan menyuarakan kesadaran lingkungan dari sudut pandang fikih. Ia mengarang dan menyebarkan pemikiran perihal problematika umat yang kontemporer, jarang dibahas dan kontekstual.

Hal ini terlihat dari karya-karya Kiai Ali Yafie seperti, menggagas fikih sosial, wacana fikih sosial, teologi sosiak, jati diri tempaan, perdagangan bebas dan merintis fikih lingkungan hidup. Untuk karya terakhir, saya dipinjami oleh Kiai Muhammad Al-Fayyadl, Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid yang juga aktif sebagai aktivis front nahdliyin lingkungan hidup.

Gagasan Hifzhul Bi’ah

Kembali pada kutipan yang saya cantumkan diatas terkait (al-dlaruriyat/al-kulliyat al-sitti) atau enam komponen dasar manusia, ternyata Kiai Ali Yafie memiliki ‘usulan’ pandangan yang berbeda terkait pentingnya menjaga lingkungan. Hal yang sangat mencolok sekali terkait hifzhul bi’ah (menjaga lingkungan).

Baca juga:  Pesantren dan Ilmu Mantiq (Bagian 1)

Maqashid Asy-Syari’ah atau tujuan-tujuan syari’at dalam kitab-kitab ushul fikih yang biasa kita kenal itu ada lima, yakni hifzhu al-din (menjaga agama), hifzhu al-nafs (menjaga jiwa), hifzhu al-‘aqli (menjaga akal), hifzul al-mal (menjaga harta) dan hifzhu al-nasl (menjaga keturunan).

Setidaknya, lima komponen kehidupan ini yang sering kita dengar ketika membahas persolan maqashid al-syari’ah. Meskipun begitu, ada pula pakar ushul fikih yang menambahkan satu komponen lagi, yakni hifzu al-‘irdhi (menjaga kehormatan manusia). Sehingga, terdapat enam komponen ketika menyebut kata kunci ‘tujuan-tujuan syariat’ atau maqashid al-syari’ah. Meskipun para ulama mengomentari bahwa hifzu al-‘irdhi itu sudah masuk dalam perlindungan manusia (hifzhu al-nafs), yang mana melindungi manusia itu ter yang dimaksud adalah menjaga jiwa, raga dan kehormatannya sekaligus.

Dalam hal ini, Kiai Ali Yafie, dalam karyanya merintis fikih lingkungan hidup, pada halaman 224 (cet. Ufuk press, 2006) menulis dalam bab catatan akhir bahwa ia cenderung mendukung pengembangan al-dlaruriyat / al-kulliyat al-khams menjadi al-dlaruriyat / al-kulliyat al-sitti, dari lima menjadi enam komponen dasar manusia. Akan tetapi, poin ke enam itu bukanlah hifzhu al-‘irdhi (menjaga kehormatan manusia), karena hifzu al-‘irdhi sudah sepaket dengan komponen perlindungan jiwa.

Sesuai dengan kajian buku tersebut, Kiai Ali Yafie cenderung menempatkan komponen keenam tersebut adalan perlindungan/pemeliharaan lingkungan hidup (hifzhu al’bi’ah). Dengan tambahan komponen lingkungan hidup ini, maka enam komponen kehidupan dasar manusia (al-dlaruriyat al-sitt atau al-kulliyat al-sitt) adalah sebagai berikut: perlindungan agama (hifzhu al-din), perlindungan akal (hifzhu al-aqli), perlindungan kekayaan (hifzhu al-mal), perlindungan keturunan (hifzhu al-nasab), perlindungan jiwa (hifzhu al-nafs) dan perlindungan lingkungan hidup (hifzhu al-bi’ah).

Baca juga:  Benarkah Pluralisme di Tubuh NU Hanya Mitos?

Tentu saja, Kiai Ali Yafie mengusulkan gagasan sepert ini bukan tanpa alasan dan argumen yang kuat. Kiai Ali Yafie, dalam buku tersebut, pada mulanya menggali akar permasalahan kerusakan lingkungan hidup. Dengan dibantu tiga orang lainnya, yakni Marzuki Wahid, Maria Ulfa dan Helmi Ali untuk yang membantu Kiai Ali untuk merumuskan gagasan lingkungan hidup, kasus-kasus kerusakan lingkungan dan gagasan awal serta kerangka dalam buku tersebut.

Ketika membaca buku merintis fiqih lingkungan hidup, saya merasa dibawa untuk merefleksikan kehidupan sekitar saya. Seperti udara, tanah dan air. Hal-hal yang seringkali kita bersinggungan tapi sangat jarang sekali memikirkan jangka panjangnya. Saya tersentak ketika membaca isinya yang mengungkapkan eksploitasi alam, kerusakan lingkungan dan kerakusan segelintir atau pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap rusaknya alam yang kita huni ini.

Kerusakan lingkungan global bermula dari adanya globalisasi ekonomi. Sebuah sistem yang di dasari oleh kepercayaan bahwa sebuah ekonomi global dengan peraturan universal yang dibuat oleh korporasi dan pasar adalah hal yang tidak dapat dihindari. Model pembangunan yang menggunakan sistem ini, akan berakibat pada transformasi besar-besaran yang intinya adalah penyerangan hebat terhadap seluruh sendi-sendi kehidupan manusia.

Dalam pasar global, sesuatu yang mulanya tidak bisa dijual, kemudian dapat dan ‘harus’ dijual. Bahkan bagian-bagian yang dianggap sakral dalam kehidupan kita, seperti kesehatan, pendidikan, kebudayaan dan warisan, kode etik dan bibit tanaman, serta sumber-sumber daya alam.

Disadari atau tidak, kita pun juga terkena dampaknya. Dari membahas kerusakan lingkungan global, dari akar persoalan, bentuk-bentuk kerusakan dan dampaknya, Kiai Ali Yafie kemudian mengerucutkan kerusakan global tersebut di negara Indonesia. Data dan fakta yang sebelumnya tidak pernah kita bayangkan, membuat hati menangis ketika alam dan lingkungan rusak begitu saja tanpa alasan yang jelas dan digunakan oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Baca juga:  Living Al-Qur'an dan Pesan Kemanusiaan (6): Tragedi 10 November

Dengan kapasitasnya sebagai tokoh agamawan, tak lupa Kiai Ali Yafie mengulas pandangan fikih tentang kerusakan lingkungan hidup. Ilmu fikih merupakan pengewajantahan dari sumber ajaran islam, yakni al-qur’an dan hadits yang digali oleh para ulama. Dengan ilmu fikih ini, seorang muslim memiliki panutan dan tuntutan kapan boleh dan tidak boleh, utama dan tidak utama ketika bertindak sesuatu.

Titik awal pandangan fikih bukan hanya perihal lingkungan hidup semata seperti masalah sampah, pencemaran lingkungan, pengerusakan hutan, pelestarian alam dan sejenisnya. Melainkan fikih memandang lingkungan merupakan bagian dari suatu pandangan itu sendiri. Sebab dalam kenyataannya, fikih merupakan kritik terhadap kesenjangan realita dan idealitas yang diimpikan banyak orang.

Bila kita tarik pada persoalan lingkungan, berarti fikih lingkungan sejatinya merupakan kritik terhadap kesenjangan yang diakibatkan oleh pemujaan terhadap kemiskinan, strukrualisasi yang tidak adil, kemiskinan dan ditunjang oleh kebijakan pembangunan pemerintah yang mengejar pertumbuhan ekonomi semata. Dengan cara lain, fikih lingkungan ingin hadir sebagai sebagai cara pandang kita terhadap lingkungan. Sikap kita sebagai manusia yang melihat dirinya sendiri dan alam sekitarnya dengan pandangan yang tidak hanya mengandalkan egonsentris semata.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top