Ketika di masyarakat, sebagai orang yang pernah menempuh pendidikan agama selama beberapa tahun di pesantren, santri secara tidak langsung dituntut untuk berperan dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih-lebih urusan keagamaan.
Sebutlah namanya Dul. Seorang santri yang bernama lengkap Abdullah itu, ketika sudah dinyatakan boyong dari pesantren, ia sudah mendapat ‘job’ untuk berperan di masyarakat. Ia ditunjuk untuk kepala kampung untuk mentalqin mayit, karena pak mudin yang biasa melakukannya sedang ada udzur.
Mungkin karena takut kualitas hasil belajarnya atau ingin mengharumkan nama pondoknya, Dul kemudian menyanggupinya. Tetapi karena masih perdana, ada kejadian lucu yang membuat keringat-dingin dul keluar tak terhankan. Cerita singkatnya begini:
Setelah proses penguburan mayit selesai, akhirnya Dul maju dan membawa buku kecil pedoman santri di masyarakat. Langsung ia buka, doa talqin mayit. Setelah membaca kalimat-kalimat berbahasa arab itu, kemudian ia membaca terjemahnya.
Hadirin khusyuk mendengarkan suara Dul.
Ternyata, eh ternyata.. Ada terjemahan yang salah..
“Hai mayit, apabila datang tiga malaikat menemuimu dan bertanya… “
Kemudian salah satu jamaah didepannya mencolek Dul, mengingatkan bacaanya yang salah.
Dul masih belum paham. Ia merasa colekan barusan mengganggu kekhusyukannya. Dul mengulangi bacaan talqinnya.
“Hai mayit, apabila datang tiga malaikat menemuimu dan bertanya…“
Dul tetap dengan bacaannya. Jamaah mencolek lagi karena mengingatkan. Hingga kejadian ke tiga kalinya.
“hai mayit, apabila datang tiga malaikat… “
Sebelum melanjutkan, jamaah tadi bukan sekadar mencolek, tapi berbisik: “itu terjemahannya salah, yang bener itu ada dua malaikat: munkar dan nakir.”
Dul kemudian ingat, entah karena malu atau memang kecerdasannya.. Dul mengulanginya dan semakin percaya diri saja.
“Apabila datang tiga malaikat, percayalah bahwa yang ketiga adalah palsu… “
Serentak, jamaah tadi yang mencolek langsung ketawa terbahak-bahak.