Sedang Membaca
Kisah Menemani Ustaz Abdul Somad Selama di Jombang
Aguk Irawan MN
Penulis Kolom

santri Alumni Darul Ulum, Langitan. Pernah kuliah jurusan Aqidah-Filsafat di Al-Azhar University Cairo dan Sekolah Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Pengajar Antropologi-budaya di STIPRAM Yogyakarta, serta di Ma'had Aly KH. Ali Maksum Krapyak dan STAI Pandanaran Yogyakarta. Buku terbarunya terbit di penerbit Mizan Group; Genealogi Etika Pesantren, Kajian Intertekstual (2018) dan Sosrokartono, Sebuah Biografi Novel (2018).

Kisah Menemani Ustaz Abdul Somad Selama di Jombang

Ketika masyarakat berada di tengah-tengah mesin politik, mesin pasar dan mesin arus informasi global (media-sosial), ada dua pemikir besar yang jauh hari amat gelisah. Dua pemikir besar itu adalah Jacques Ellul, yang menulis buku sangat fenomenal di tahun 1964, yaang berjudul The Technology Soceity. Lalu Erich Formm, yang menulis The Revolution of Hope: Towards a Humanized Technology empat tahun setelahnya.

Bagian penting yang sama dan bisa ditarik dari dua buku itu adalah, jika ketiga mesin di atas bertemu maka lahirlah sebuah ironi yang dahsyat, bahwa masyarakat akan mengalami proses dehumanisasi. Karena tanpa sadar, ketiga mesin itu akan menggerus sendi-sendi kemanusiaan, dan menjadikan masyarakat yang mengalami obyektifikasi dengan wajah abstrak dan ambigu.

Dampaknya, masyarakat akan terserat pada cara pandang yang parsial, kulit luar dan cenderung reduksionistik. Dampak lain yang mengerikan adalah tampilnya sejumlah masyarakat yang berlebihan pada politik kekuasaan. Orang semacam ini akan bertebar di mana-mana, baik di dunia nyata maupun maya, terutama di kota-kota besar. Begitu “dunia ini” banyak diisi oleh orang-orang yang sebenarnya belum mengetahui duduk perkara, apalagi pernah ”tahu”, ”mendengar”, ”mencicip”, ”menghidu”, atau ”meraba”. Tetapi ia sudah tampil di depan seolah-olah yang paling tahu, bahkan memposisikan dirinya bak seorang hakim kepada dunia.

Barangkali berangkat dari ijtihad Jacques Ellul dan Erich Formm inilah saya melihat, begitu banyak orang yang memposisikan dirinya sebagai hakim, lalu memaksakan apapun itu dengan sudut pandangnya yang parsial dan reduksionistik. Hal ini terkait dengan ‘sowannya’ Ustaz (Syekh) Abdul Somad dan rombongannya tiga hari belakangan ini (8-11) pada sejumlah Masayikh NU dan ziarah ke Maqbarahnya.

Baca juga:  Ketika Maulid Burdah Berbicara Hawa Nafsu

Padahal bukankah, sowannya seorang santri kepada Alim-Ulama atau ziarahnya santri ke Maqbarah ulama, atau bahkan, silaturahminya ulama ke ulama adalah teladan yang baik, diantaranya demi suatu keberkahan dan mungkin semakin terjalinnya ukhuwah islamiyah, basyariyah dan wathaniyah. Tetapi orang-orang yang terserang demam politik dengan dosis kekuasan yang tinggi. Apapun ia selalu mengkaitkan dengan nalar kekuasaan.

Mereka, bahkan berani bertaruh, bahwa safari singkat itu demi sebuah simpati untuk mencoba menetralkan kebencian sebagian mayarakat santri pada salah satu Paslon, atau demi pencalonan dirinya, yaitu Abdul Somad dan kelompoknya di panggung Muktamar Nahdlatul Ulama 2020.

Tentu saja kesimpulan demikian ini berlebihan, andai saja mereka turut hadir dan mendengar langsung di acara puncak lawatannya, yaitu saat memberi ceramah di peringatan 1000 hari wafatnya almarhum almagfurlah KH. Dimyathi Romly, ayah dari karibnya KH. Afifudin Dimyati.

Dengan tegas Abdul Somad mengatakan bahwa rangkain sowan ke para masayikh NU ini sudah direcanakan hampir 16 bulan sebelumnya, hal ini lantaran jadwal Abdul Somad untuk ceramah keliling begitu padat. Pernyataan ini tentu menepis anggapan sehipak terkait ‘penetralan’ yang baru-baru ini mengemuka di jagad sosial kita. Bahkan di ceramah yang tepat satu jam itu, Abdul Somad sempat menyindir masyarakat generasi “enceng gondok” telah lahir, akibat perubahan yang tak terbendung. Yaitu generasi yang ke bawah tak berakar, dan ke atas tak berpucuk. Mereka mudah hanyut oleh arah air kemanapun mengalir.

Baca juga:  Jangan Takut Syirik

Sebuah gambaran metaforis yang amat mencemaskan, sebagaimana kegelisahan Jacques Ellul. Selain pernyataan yang terang itu, dan ini penting bagi yang tak hadir, tentu saya punya persaksian sendiri terkait rencana lawatan atau safari-sowan itu. Sedikit cerita itu demikian:

Pada hari Rabu, 18 Mei 2016. Saat itu kota Yogyakarta begitu dingin. Hujan sejak dini hari tak kunjung berhenti. Daun-daun mangga yang menghijau di depan rumah dan telah mekar sempurna pun basah kuyup, bahkan pagi itu angin berkesiur, makin menambah suasana dingin. Jalan cor pun basah kuyup, membentuk kubangan-kubangan air kecil di beberapa sudut. Kulirik sebentar jam dinding di tembok, waktu pukul 7.19.

“Ting.” Ada pesan WA masuk dari seorang kawan yang sedang naik daun, ia lebih populer dipanggil UAS. Singkat cerita ia membawa kabar duka atas meninggalnya ayah dari seorang karibnya, sahabat dalam suka maupun duka selama di perantauan negeri Firuan, yang tentu sangat dikasihinya: “Innalillahi wainnailaihirojiuun, telah berpulang ke Rahmatulloh KH. Dimyati Romli pengasuh Pesantren Darul Ulum Jombang dan mursyid tarekat Qodriyah wa Naqsabandiyah, mohon bantuan bacaan fatihah untuk almarhum…“

Singkat cerita lagi, Abdul Somad merasa menyesal belum bisa takziah ke Jombang dan berbagi kesedihan dengan sahabatnya itu. Sebenarnya sangat ingin, tetapi waktu jualah yang belum memungkinkan untuk meninggalkan rencana lawatan-dakwah yang begitu padat dengan melibatkan banyak saudara-saudaranya.

Sampailah di 7 hari, 40 hari, 100 hari meninggalnya ayah tercinta masih juga belum bisa takziah. Meski begitu ia berazam akan datang, sampailah bertemu dengan momentum 1000 harinya.

Baca juga:  Humor Madura: Kiai D. Zawawi Imron Berlagak Marah

Dalam rentang masa itu pula, ada keinginan untuk menambah kebaikan dan manfaat lain, yaitu sowan kepada para masayikh Nahdlatul Ulama dan berziarah ke maqbarahnya. Terutama, tentu kepada Maqbarah Hadratus syaikh Hasyim Asyari. Karena ia begitu mengidolakan pendiri Nahdlatul Ulama ini, terbukti ia mengambil tema dalam disertasinya seputar peran besar Hadratus Syaikh dalam penyebaran hadis di Indonesia.

Namun, begitu banyak terjadi prasangka dan kecurigaan. Persis seperti kertas, ketika ia menampakkan diri di depan kita berwarna putih, lalu muncul orang-orang dengan semangat tinggi mengatakan bahwa kertas itu kuning, lalu orang lain pun mengiyakan. Padahal tak ada yang berubah, gejala ini oleh Jacques Ellul dan Eric Formm disebut ssebagai sihir baru dunia modern.

Dengan kemampuannya untuk menjadikan manusia bak sebuah mesin, sehingga yang lain tergiring untuk masuk dunia baru dengan wajah dehumanisasi. Wallahu’alam bishawab.

Yogyakarta, 11 Februari 2019.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top