Saat ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah genap berusia 47 tahun berdedikasi untuk bangsa. Tepatnya pada tanggal 27 Juli 2022, MUI merayakan milad ke-47 dengan serangkaian acara semarak dialog kebangsaan dan silaturrahim para ulama, umara, dan para pegiat sosial kemasyarakatan di Hotel Sultan, Jakarta.
Spirit kebangsaan yang mewarnai milad kemarin sangat arif dan aktual terhadap dinamika umat saat ini. Tantangan ukhuwah di tahun politik 2024 menjadi hal primordial titik fokus khittah MUI untuk dua hingga lima tahun mendatang. Tidak dipungkiri, impresi politik elektoral lima tahunan lebih dari cukup membuat polarisasi nyata umat dalam satu hentakan. Inilah mengapa tema milad yang diangkat adalah, “Dakwah Merajut Kesatuan dan Kekuatan Umat dalam Kebhinekaan”.
Hal itu tentu tidak mudah. Meski sejauh ini, usaha MUI dalam merajut amunisi kesatuan dan kekuatan umat dalam menghadapi tahun politik 2024 sudah intens dan konsisten dilakukan. MUI berusaha membangun kesadaran ihwal urgensi kemanusiaan yang adiluhung dan harus ditaruh di atas kepentingan personal dan arogansi struktural. Ia sebagai mitra strategis (shodiqul hukumah) untuk kerja umat terus berkala menyuarakan persatuan dari hulu ke hilir.
Entitas kekhittahan MUI pun terbilang ril untuk permasalahan umat. Artinya, MUI beranjak dari khittah agamis ke khittah politis. Dari kefatwahan dengan persuasif menuju ke usaha preventif yang lebih konkrit. Ini membuktikan, milad yang ke-47 kemarin membuka babak baru kiprah MUI terhadap permasalahan umat dewasa ini.
MUI melakukan dua hal penting dalam memulai khittah persatuan di tahun politik 2024; yakni deklarasi dai-daiyah untuk senantiasa berpegang teguh pada kode etik keislaman dan keindonesiaan, dan; deklarasi politik Islam (siyasah) sebagai pedoman politisi muslim, ormas Islam, dan pemilih mulsim (almitsaq ukhuwah),
Wajah Politik Saat Ini
Komitemen MUI di momentum miladnya patut kita apresiasi. Tapi objek halaqoh dari itu semua adalah hal-ihwal politik dan kerentanan politisasinya. Bagi kita, tahun politik adalah ritus pemujaan terhadap harapan ideal dengan realitas kepentingan. Personifikasi politik dewasa ini hanya sebatas pada mendapat, mempertahankan, dan menginspansi kekuasaan. Melegalisasi cara adalah karakteristiknya.
Inilah mengapa seorang aktivis dan pemikir politik berkebangsaan Italia, Niccolo Machiavelli (1469-1527), cenderung praktis dan pragmatis dalam memandang politik. Politik hanya sebatas pada “trilogi laku kepentingan kuasa” (memperoleh, mempertahankan, dan menginpansi). Ihwal idealisme bernegara hanya tumbuh sebagai rumusan dalam angan semata, realitasnya adalah kekuasaan yang dituankan. Ini petanda (symbolicium) bahwa politik idealis, surplus ide dan defisit sebagai laku.
Lebih ironis lagi, masyarakat sipil menjadi korban dari dramaturgi politik yang dimainkan para elit. Mereka terkungkung dalam fanatisme dan konservatisme politik yang tidak berkesudahan. Residu yang dihasilkan dari framing isu maupun dalih agamis untuk meraup atensi publik susah dihilangkan bersamaan dengan berakhirnya kontestasi politik. Sedangkan para elitnya ‘adem-ayem’ dalam persatuan konsolidasi jabatan. Inilah wajah mengerikan politik dewasa ini, di mana umat menjadi target pasar transaksi politik untuk kesengangan oligarki para elitnya.
Khittah Persatuan
Dengan semangat persatuan ukhuwah di tahun politik 2024, tugas mulia MUI yang harus dituntaskan adalah soal politik identitas. Sejauh ini, dinamika politik masih belum menunjukkan perubahan yang berarti. Hegemoni politik aliran (nasionalis vs agamis), hegemoni politik teritorial (Jawa vs non Jawa), dan hegemoni politik tribalisme (suku dan ras) masih kental mewarnai perpolitikan kita dewasa ini (Nyoman Subanda, 2019: 60). Ini adalah peluang besar yang bisa digunakan elit politik.
MUI di usianya yang ke-47 harus mampu mengantisipasi hal itu. Tali persatuan yang sudah dideklarasikan harus bisa menuai harapan. Pertama, MUI benar-benar mampu menjadi rumah bersama bagi beragam wajah religiusitas umat muslim. Ia secara konsisten bisa memberikan ruang aspiratif (tasamuh) bagi para ulama/dai nusantara. Kita tidak ingin perbedaan paham dan aliran (ormas) membuat para ulamanya saling ‘perang ayat’ dalam dinamika umat. Halaqoh dakwah adalah patron sosio-keagamaan yang merepresentasikan wajah beragama kita di Indonesia.
Kedua, memastikan deklarasi dai-daiyah nusantara dan deklarasi persatuan politisi muslim, ormas Islam, dan pemilih muslim menyentuh pada kesadaran kolektif sebagai kode etik berpolitik. Islam tidak boleh dijadikan dasar legitimasi dengan dalih-dalih politisnya, melainkan menjadi oase ukhuwah dalam menghadapi tahun politik. Masalah perbedaan ormas atau basis dasar kesyariahan (furuiyyah) tidak sampai pada perpecahan politis yang kian menegang. Kesadaran inilah yang menjadi pijakan berdeklarasi umat yang memegang teguh kode etik politik islami.
Hal itu bisa dimulai dengan sosialisasi masif dan berkala baik dengan memanfaatkan para dai-daiyah (yang sudah tersertifikasi) atau pegiat medsos di ruang-ruang maya, maupun juga melalui mimbar-mimbar majelis ta’lim/musyawarah kepada jamaah. Selanjutnya, dengan mengefektifkan peran pemuda secara pro-aktif ikut mengampanyekan urgensi ukhuwah menghadapi tahun politik 2024 dalam kesempatan di ruang-ruang terbuka.