“Belum ke Iran kalau belum ke Isfahan”, begitu kalimat yang sering didengungkan para traveller. Barangkali, karena Isfahan memang menawarkan situs-situs wisata sejarah menarik, terutama jejak peninggalan Dinasti Safavi. Pada era itu, seni dan arsitektur Islam sedang berada di puncak kejayaan.
Banyak bangunan bersejarah yang mendapat sentuhan dekorasi menarik mulai dari istana, gereja, dan terutama masjid-masjid. Beberapa bangunan tersebut sudah menjadi bagian situs budaya UNESCO, salah satunya adalah Masjid Jami Atiq.
Masjid ini dinamai Atiq, karena termasuk salah satu masjid tertua Iran yang dibangun pada abad ke 8, sekitar permulaan pemerintahan Abasiyah. Seiring pergantian kekuasaan, masjid ini pun terus mengalami renovasi.
Puncaknya, penyempurnaan dekorasi masjid ini dilakukan pada masa Dinasti Safavi. Sampai hari ini pun, ketika saya memasuki area Masjid Atiq, banyak pekerja maupun seniman kaligrafi yang sedang memasang ubin keramik di salah satu gerbang masjid.
Selain karena faktor usia, Masjid Atiq juga memiliki berbagai keunikan yang menjadi daya pikat tersendiri, diantaranya memiliki 10 gerbang. Jumlah ini cukup banyak jika dibandingkan masjid-masjid klasik Persia lainnya. Fungsi utama gerbang tersebut, tentu saja untuk memudahkan masyarakat dari berbagai titik menuju ke area masjid.
Mohammad Hossein Riyahi, sejarawan dan peneliti masjid, dalam hal ini memberikan penjelasan lebih mendalam. Menurutnya, rahasia banyak pintu pada Masjid Atiq menggambarkan karakter keterbukaan masjid ini bagi setiap kelompok maupun penganut mazhab apa pun dalam Islam.
14 Mihrab
Keunikan Masjid Atiq lainnya, terdapat 14 mihrab. Satu mihrab yang terkenal adalah Uljaytu. Mihrab ini dibangun sekitar abad ke-14 pada masa Sultan Mohammad Khodabandeh atau yang dikenal dengan julukan Uljaytu. Ia adalah raja dari silsilah Dinasti Ilkhana, satu dinasti Mongol yang pernah mewarnai pemerintahan Islam Persia. Nama mihrab sendiri diambil dari nama sultan, Uljaytu.
Karena ketuannya, tentu saja mihrab ini sudah tidak difungsikan. Lokasi mihrab sendiri ditutup dengan kaca pembatas dan diabadikan sebagai museum. Dari balik kaca, saya dapat menyaksikan kaligrafi kuno yang tertulis dalam dinding mihrab dengan berbagai jenis khat Kufi maupun Tsuluts. Perpaduan ukiran dan kaligrafi yang berbahan dasar kapur ini terlihat klasik dan menawan. Selain di mihrab, kaligrafi juga menghiasi berbagai sudut Masjid Atiq, bahkan sampai ke bagian dinding luar.
Menariknya, tulisan kaligrafi yang menghiasi dinding Masjid Atiq ini tidak hanya berupa lafaz-lafaz Alquran dan Hadis, tetapi juga bait-bait puisi. Tentu saja puisi-puisi yang bertema religius, dari syair yang memuji keagungan Tuhan, Nabi Muhammad Saw, sampai syair tentang keutamaan masjid. Ada satu bait puisi yang saya suka, sayangnya tidak disebutkan siapa pengarangnya.
Seperti taman dan kebun-kebun ranum yang didamba kaum papa
Begitu pun masjid, seharusnya membuatmu terbakar bagai lentera
Ivan, Karakter Masjid Persia
Selain memiliki ciri khas tersendiri, Masjid Atiq juga mewakili karakter masjid Persia yang selalu tampil dengan gerbang ivan dan dekorasi keramik. Awalnya, saya mengira ivan hanya sebagai pintu gerbang biasa. Tapi, setelah melihat langsung ivan-ivan di Masjid Atiq dan masjid-masjid Iran lainnya, saya makin tertarik.
Ivan yang menjadi ciri khas masjid Iran ini ternyata terdiri dari bangunan kompleks yang diapit dua menara kembar dengan ketinggian kira-kira 40 meter. Kalau dilacak secara historis, ivan telah digunakan pada dinasti Sasania, sebelum Islam masuk ke Persia. Dahulu, mereka membangun ivan dengan hiasan patung binatang atau kepala raja-raja. Namun, setelah Islam datang, dimodifikasi menjadi menara.
Saat saya mendongakkan kepala, pada bagian lengkung atas gerbang terlihat dekorasi rumit yang menyerupai stalagtit dengan susunan geometris. Sangat indah. Saya membayangkan betapa rumitnya para seniman itu menata keramik satu demi satu sehingga membentuk mozaik yang indah dipandang.
Dokarasi ivan keramik ini, diyakini secara orisinal merupakan peninggalan arsitektur Islam Persia. Lalu dikembangkan di berbagai wilayah negara tetangga seperti Irak, Afganistan, dan negara-negara bekas jajahan Rusia.
Tidak hanya ivan, kubah dan seluruh dinding masjid-masjid Isfahan ini juga dilapisi keramik. Kubah masjid Persia biasanya berbentuk sedikit runcing seperti gangsing, berbeda dengan model Andalusia yang berundak-undak atau kubah masjid di kawasan Arab dengan kubah melebar.
Penggunaan lapisan keramik pada kubah juga menjadi ciri khas masjid di wilayah Persia. Pemilihan ornamen keramik ini juga mempertimbangkan aspek iklim. Karena kelembaban udara di wilayah Iran rendah, membuat keramik tidak mudah berjamur, kusam, dan rusak.
“Cuerda seca”
Pola desain yang banyak ditemui pada masjid-masjid Isfahan adalah cuerda seca, pola yang memadukan banyak warna pada sebidang keramik. Pola ini dinilai secara waktu dan biaya cukup efisien, tapi tetap menggambarkan kekayaan warna.
Konon, ada tujuh warna yang dipadukan atau dalam bahasa Persia disebut haft rang, tapi bila diperhatikan warna dasar yang lebih menonjol adalah biru dipoles kuning keemasan.
Sambil meninggalkan pelataran masjid, sekali lagi mata saya beradu dengan ornamen berlapis keramik. Ternyata, sebuah masjid dibangun tak hanya memperhatikan elemen-elemen materi saja, tapi juga melibatkan unsur-unsur spiritual. Seperti ungkapan Parviz Ahmadi, salah seorang arsitek masjid Persia, ruh pembangunan rumah ibadah pada dasarnya untuk mengagungkan Tuhan.
Karena itulah, tangan-tangan seniman masjid tak hanya bertugas mendesain dan menata ribuan keramik, namun membuat kesatuan harmoni yang hidup. Sehingga, para pengunjung tidak hanya akan nyaman beribadah dalam masjid, tapi juga menjadi sarana untuk merenungi kebesaran Tuhan. Bahkan, karya seni yang indah akan terus dinikmati oleh para musafir dari berbagai generasi setelahnya.