Di sebuah hutan rindang, tersebutlah kepompong yang menempel di ranting pohon. Kepompong itu terlihat bergerak-gerak hingga badannya sedikit terbuka. Di tempat yang sama, seorang anak dengan asyiknya sedang mengamati usaha kupu-kupu itu untuk keluar dari kepompongnya.
Sejenak, ia melihat dengan takjub. Karena kelelahan, kupu-kupu itu menghentikan usahanya. Si anak berniat untuk membantu makhluk tak berdaya ini. Tentu saja, ia lakukan dengan itikad baik. Ia ingin segera melihat adegan indah kupu-kupu yang keluar dari kepompongnya. Ia pergi mengambil gunting lalu membukanya.
Sang kupu-kupu dapat keluar dengan mudah, tapi badannya begitu ringkih dan sayapnya keriput. Si anak tetap berharap kupu-kupu itu segera dapat mengepakkan sayapnya. Tapi malang, sang kupu-kupu tidak dapat terbang dan ia harus menghabiskan seluruh hidupnya dengan merangkak.
Si anak pun mendapat pelajaran berharga. Gerakan kupu-kupu dalam kepompong yang terlihat seperti kepayahan dan memakan waktu itu, ternyata menghasilkan enzim tertentu yang membuat badannya lebih kuat serta sayapnya lebih mengembang.
Filosofi kepompong dan kupu-kupu ini begitu dekat dengan keseharian kita. Kehidupan modern seolah menuntut kita bergerak dengan cepat.
Pola ini, secara tidak disadari merembas ke seluruh sistem kehidupan sosial kita. Dari soal makan saja, sejak lama kita sudah dimanjakan dengan makanan siap saji yang dalam hitungan menit dapat memuaskan perut.
Di ranah ekonomi, kita dijejali oleh berbagai kiat cepat kaya, meski tak jarang berbuntut resiko yang cukup besar. Di dunia pendidikan, model percepatan ini ditandai dengan menjamurnya sekolah-sekolah unggulan yang menerapkan model akselarasi, tidak penting apakah siswa menikmati proses belajar atau tidak.
Bahkan sayangnya, pola ini juga merembas dalam kehidupan beragama. Banyak orang dengan alasan ingin cepat mengenal agama, merasa terpuaskan hanya dengan asupan instan para dai di media sosial atau komunitasnya saja. Seringkali, mereka enggan untuk memeriksa kembali dari buku-buku atau sumber lain yang berbeda.
Proses pencarian yang biasanya melewati tahap-tahap perjalanan tertentu, bagi sebagian orang menjadi terkesan lamban. Mereka berpikir, karena toh yang terpenting dapat cepat menjalankan perintah agama.
Daniel Kahneman, peraih Nobel dan penulis buku “Thinking, Fast and Slow” menyebutkan, cara berpikir kita dipengaruhi oleh dua sistem: fast thinking dan slow thinking. Sistem pertama bekerja secara cepat, otomatis, bersifat emosional, asosiatif, dan seringkali tidak disadari. Sebaliknya, sistem kedua bekerja lebih lamban, bersifat logis, analitik, dan butuh perhatian tinggi. Di era modernitas seperti sekarang ini, orang lebih cenderung memilih arus fast thinking.
Jauh sebelum Kahneman lahir, Rumi dalam magnum opusnya, Masnawi (jilid 3, bait 3500-3508) mengingatkan, secara sunnatullah sebenarnya kita diajarkan untuk melakukan segala sesuatu dengan tuma’ninah.
Tuhan mencipta alam dengan perlahan
hingga menyempurna tujuh tahapan
Bisa saja Ia berfirman kun fayakun
seratus bumi dan langit mewujud
Tuhan bertahap menuntun manusia
hingga empat puluh tahun sempurna
Bisa saja dalam satu tarikan napas
Ia hadirkan lima puluh pemuka
Jika Nabi Isa dalam sekali doa
mampu hidupkan yang tiada
Tuhan Isa tentu lebih mampu
ciptakan manusia sekejap waktu
Tapi untukmu, Tuhan ingin ajarkan ketenangan
karena yang ideal itu bergerak meski perlahan
seperti mata air yang selalu mengalir
tidak akan berbau dan menjadi najis
Tuma’ninah akan lahirkan bahagia
seperti telur yang rindu meretas
Rumi meyakini, rahasia penciptaan alam secara berangsur pada hakikatnya karena Tuhan ingin mengajarkan manusia untuk berpikir dan bertindak secara bertahap. Begitu juga saat Tuhan mempercayakan kenabian Muhammad di usia 40 tahun, pada dasarnya ingin memberikan teladan tentang arti sebuah proses. Rasul sendiri sejak kecil sudah memiliki potensi kesucian jiwa, namun ia tetap menjalani riyadhat hingga mencapai kematangan spiritual. Karena, dalam proses inilah ada hikmah dan pelajaran berharga.
Rumi juga menyebutkan, tuma’ninah bukan berarti berhenti dan memperlambat diri, tapi bergerak dengan kesadaran dan penghayatan. Guru yoga saya sering mengingatkan, gerakan yoga hanya akan memberikan pengaruh positif dalam tubuh kita saat dilakukan secara perlahan dengan penuh penghayatan.
Dalam terma Islam, sesungguhnya kita juga diperintahkan untuk melakukan gerakan salat secara tuma’ninah.
Tentu tujuannya agar nilai-nilai kebaikan shalat merefleksi dalam kehiduapan. Karena sebagaimana air yang bergerak akan membersihkan apapun yang dilaluinya, tuma’ninah dalam berproses juga akan mengkristalkan prinsip-prinsip hidup.