Alexis Carrel, ahli biologi asal Perancis dan peraih Nobel bidang kedokteran tahun 1912, menulis buku berjudul: “Man, The Unknown” yang mewakili kegelisahannya tentang betapa manusia adalah wujud yang kompleks dan penuh misteri.
Jika fisiologis manusia yang memiliki hukum-hukum pasti saja masih menyisakan banyak teka-teki di kalangan ahli biologi dan kedokteran, apalagi jiwa manusia yang seperti lautan tak berbatas. Banyak para filsuf klasik hingga pemikir kontemporer yang memberikan perhatian khusus pada objek manusia, semisal Gabriel Marcel (1889-1973, Martin Heidegger (1889-1976), hingga Jean Paul Sartre (1980-1980). Melalui pendekatan eksistensialis, mereka berupaya menyingkap alam pikiran dan jiwa manusia.
Dalam ranah tasawuf, para guru sufi juga memiliki otoritas yang mumpuni dalam memahami jiwa manusia. Mereka berhadapan langsung dengan pertarungan panjang dalam diri, baik melalui pengalaman pribadi maupun hasil pengajaran yang diberikan kepada murid-muridnya. Jalaluddin Rumi, termasuk di antara guru sufi yang secara mendalam menjelaskan konsep manusia dari berbagai perspektif. Terlebih, pandangan ini mengkristal dalam kitab Matsnawi Maknawi.
Syair-syair Matsnawi syarat pembelajaran tentang asal-usul dan hakikat manusia, perjalanannya, hingga berbagai potensi yang ada dalam diri manusia. Karena begitu besarnya perhatian Rumi terhadap jiwa dan ruh manusia dengan segala persoalannya, kitab Matsnawi sering kali disebut sebagai insan nameh atau buku tentang perilaku manusia. Melalui syair-syair kolosalnya, Rumi memperkenalkan banyak tokoh yang mewakili berbagai karakter manusia.
Tulisan singkat ini, tentu tidak akan merangkum seluruh pandangan Rumi tentang konsep manusia, tetapi setidaknya bisa menjadi pengantar untuk lebih mengenal alam pikiran dan jiwa manusia. Para pemikir dan filsuf sepanjang sejarah berdebat tentang hakikat manusia dan mereka bertemu pada titik bahwa manusia adalah hewan natiq atau makhluk yang berpikir.
Tetapi, Jalaluddin Rumi dan mungkin para sufi lainnya, melampaui pemahaman tersebut. Meskipun, dalam syairnya, Rumi tetap menggunakan diksi andisheh atau pemikiran.
Duhai saudaraku, esensi manusia ada pada pikiran
Selainnya, yang tersisa hanya daging dan tulang
(Matsnawi, jilid 2, bait 277)
Karim Zamini, dalam kitab tafsir Matsnawi Maknawi menjelaskan, yang dimaksud pikiran bukan akal logika. Ketika Rumi masih hidup, ada seseorang yang bertanya langsung tentang arti teks tersebut. Rumi menjawab bahwa arti kata “pikiran” bukan seperti yang dipahami oleh banyak orang, tetapi fuad atau hati. Mengapa Rumi berpandangan demikian?
Penjelasan ini akan semakin kuat dengan merujuk pada syair-syair Rumi lainnya tentang perjalanan ruh manusia. Syair yang sangat popular dan banyak dikutip oleh para pengkaji dan pecinta puisi Rumi.
Dari alam mineral aku mati, lalu menjadi tumbuhan
Dari tumbuhan aku mati, lalu menempati alam hewani
Dari alam hewani aku mati, lalu menjadi manusia
Lalu mengapa aku harus takut dengan kematian?
Aku akan mati sebagai manusia
Menjadi malaikat yang membentangkan sayap
Sekali lagi, aku melewati alam malaikat
Agar sampai pada hakikat yang sulit dibayangkan
(Matsnawi, jilid 3, bait 3901-3905)
Soudabeh Karimi dalam bukunya “A Window into The World of Rumi” memberikan pemetaan yang menarik tentang perjalanan ruh manusia. Dimulai dari nafs dan berakhir pada del atau hati. Ketika ruh menempati posisi hati, maka ia akan dipunuhi oleh rasa cinta. Jadi, alasan Rumi menyebutkan hakikat manusia adalah del atau hati, karena ia berpandangan, fuad atau hati merupakan puncak spiritualitas yang dapat dicapai oleh manusia.
Nafs -> Mineral -> Tumbuhan -> Hewan ->Manusia ->Malaikat -> Del (Hati)->(Silsilah Ruh)
Kehidupan ->Akal -> Cinta->(Manifestasi Ruh)
Manusia adalah Alam Kabir
Berbeda dengan fisikawan dan sebagian besar filsuf yang memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam, sebaliknya Rumi menyebutkan, manusia merupakan alam kabir. Perjalanan manusia untuk mencapai puncak spiritual memerlukan amunisi yang sangat besar. Karena itulah, Rumi meyakini bahwa manusia diberikan potensi luar biasa.
Secara zahir, engkau bagian alam yang kecil
Namun secara batin, engkau alam yang kabir
(Matsnawi, jilid 4, bait 521)
Karim Zamani, dalam tafsir kitab Matsnawi menjelaskan, syair Rumi ini terinspirasi dari ungkapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib: “Apakah engkau mengira dirimu adalah jasad yang kecil, padahal dalam dirimu terdapat dunia yang luas?”
Syair-syair yang syarat motivasi seperti ini, banyak terdapat dalam kitab Matsnawi, menggunakan berbagai redaksi dan menyimpan kekayaan diksi. Kadang Rumi menyebut potensi dalam diri manusia itu dengan istilah tambang yang beraneka ragam. Di lain kesempatan, Rumi memberikan perumpamaan, potensi manusia itu seperti matahari yang memiliki kekuatan diraja atau seperti laut tak berbatas. Sekali waktu Rumi juga memakai ungkapan lugas yang intinya menegaskan: “Dalam tubuh terbatas, terdapat dunia yang luas”
Manusia adalah sumber segala jenis tambang
Setiap tambang berbuah ratusan ribu tambang lainnya
(Matsnawi, jiid 2, bait 2077)
Matahari bersemayam dalam wujud kecilmu
Seperti singa yang menempati raga domba
Lautan tersembunyi di bawah gemerlap istana
Berpikirlah jernih, perbaiki langkahmu
(Matsnawi, jilid 1, bait 2502-25-3)
Ada manusia yang zahirnya terlihat lemah
Tapi dalam batinnya tersimpan alam kabir
Tubuh ini laksana kayu dan batu
Namun di dalamnya tersimpan bara api
(Matsnawi, jilid 4, bait 3759-3760)
Dalam tubuh lemahmu, terpendam lautan pengetahuan
Dalam keterbatasan fisikmu tersimpan dunia nan luas
(Matsnawi, jilid 5, bait 3579)
Selain menunjukkan potensi besar yang ada pada manusia, Rumi juga mengingatkan ada karakteristik dasar yang perlu diwaspadai dalam diri manusia, yaitu sifat kontradiksi.
Terkadang manusia menyerupai sifat srigala
Di lain waktu manusia menjelma keindahan Yusuf
(Matsnawi, jilid 2, bait 1420)
Wujud manusia laksana hutan belukar
Hanya mereka yang berpegang pada tali Allah lah yang akan selamat
Dalam diri manusia ada ribuan srigala dan babi
Shalih dan tidak, baik dan buruk
(Matsnawi, jilid 2, 1416-1417)
Melalui syair-syairnya yang membangun, Rumi seolah ingin berbicara pada para pembacanya di sepanjang waktu untuk selalu optimis, karena manusia diberikan potensi yang luar biasa. Potensi tak berbatas yang ketika kita jatuh berkali-kali sekalipun, tetap dapat bangkit kembali. Namun demikian, rasa optimis itu perlu dipadu dengan sikap kehati-hatian, sebab selalu ada kekuatan kontradiksi yang siap menghancurkan segala pencapaian kita.
Meski upaya Rumi untuk mengungkapkan konsep manusia telah begitu jauh, tetapi dalam puisi rubaiyatnya, ia sendiri mengakui betapa manusia memang makhluk yang tak mudah untuk dimengerti: “Wuhai manusia, engkaulah rahasia ciptaan Tuhan dan manivestasi keindahanNya”. Pada akhirnya, hanya Sang Pencipta manusialah yang benar-benar memahami hakikat ciptaanNya. Wallahu alam.