Sedang Membaca
Ngaji Rumi: Hanya Lelaki Cerdas yang Memuliakan Perempuan
Afifah Ahmad
Penulis Kolom

Afifah Ahmad: Penyuka traveling, penulis buku "The Road to Persia" dan anggota Gusdurian Teheran.

Ngaji Rumi: Hanya Lelaki Cerdas yang Memuliakan Perempuan

Tanggal 1 bulan Mehr, penanda masuknya musim gugur. Mehr sendiri penamaan untuk bulan pertama dari tiga bulan musim gugur. dalam bahasa Farsi artinya kasih sayang. Sampai sekarang saya masih bertanya, apa relasi antara musim gugur dan kasih sayang? Apakah karena suasana alam yang pelan-pelan mulai berganti jubah kemuning? Atau karena dimulainya tahun ajaran baru?

Entahlah. Yang jelas, bagi banyak orang tua, terutama para perempuan, Mehr malah berarti bulan kesibukan dimulai. Saat harus kembali menyiapkan berbagai keperluan sekolah. Bangun lebih pagi, memasak tepat waktu, dan hilir mudik mengantar anak sekolah.

Tentu saya juga menjadi bagian dan turut merasakan rutinitas awal musim gugur ini. Melelahkan? Bohong kalau saya jawab tidak. Bahkan, kemaren kekonyolan sempat muncul di kepala. Sambil memasak tumis jamur, saya sempat bertanya sendiri, waktu yang dipakai untuk mengambil bumbu-bumbu dan memasukkan kembali ke tempat awal lalu dikalikan setahun, kalau untuk me time sudah dapat apa ya? Belum ditambah waktu motong sayur, nyuci piring, nyetrika, dll. Konyol sekali kan? Untunglah, pendamping saya orang yang cukup peka kalau istrinya sudah butuh angin segar.

Penyegaran yang paling saya suka, salah satunya ikut kelas Rumi. Berdesakan seorang diri di gerbong metro. Menyaksikan langsung para perempuan tegar yang bergulat mencari nafkah hingga petang. Berjalan di malam hari melewati pertokoan ramai atau bahkan jalan-jalan sepi. Sendiri. Ya, benar kata orang. Kenapa suatu saat kita perlu jalan sendiri, agar kita selalu mensyukuri waktu kebersamaan.

Ndilalahnya, kelas Rumi kali ini temanya tentang perempuan. Benar-benar seperti janjian dengan isi kepala saya. Dalam ruangan berpendingin di sudut gedung City Book kawasan Beheshti, Pak Esfandiyar membaca larik-larik puisi Matsnawi Rumi jilid pertama.

Di samping kiri kanan saya, duduk para akademisi dan mahasiswa yang memang tertarik dengan kajian Rumi. Mungkin tidak banyak, peserta seperti saya yang kalau di rumah memilih dasteran alias berprofesi utuh sebagai ratu rumah tangga dan sesekali jadi buruh nulis. Tapi tak mengapa, toh yang penting saya masih bisa mengerti isi materi. Setidaknya ini saja sangat saya syukuri.

Baca juga:  Sabilus Salikin (10): Unsur-unsur Tarekat, Mursyid

 

گفت پیغمبر که: زن بر عاقلان غالب آید سخت و بر صاحب دلان

باز بر زن جاهلان غالب شوند کاندر ایشان تندی حیوان است بند

 

Nabi pernah berpesan: Perempuan akan berjaya (mulia) di hadapan lelaki cerdas

Sebaliknya, lelaki pandir akan mendominasi perempuan dengan watak dogma

(Matsnawi Rumi Jilid 1, bait 2433 dan 2434)

 

Dalam bait di atas, Rumi menjelaskan sebuah potongan riwayat tentang perbedaan lelaki cerdas dan pandir dari bagaimana mereka memposisikan perempuan. Para lelaki keren akan memberikan kesempatan dan ruang kepada para perempuan di sekitarnya, terutama pasangan untuk terus bertumbuh, melakukan me time, dan mencerdaskan diri.

Sebaliknya, lelaki terbelakang hanya melihat pasangannya sebagai barang kepemilikian, ia merasa berhak mengatur dan medominasinya. Hanya menyuguhkan riwayat tentang kewajiban dan larangan, sementara diam-diam ia memiliki perempuan simpanan.

Pendapat ini berangkat dari dua pendekatan dalam memandang perempuan:

Pertama, cara pandang material

Perempuan hanya diperlakukan sebagai kelas kedua baik dalam pengertian sebenarnya, maupun pengertian tersembunyi, yang seoalah mendapat kebebesan semu namun faktanya hanya dimanfaatkan untuk melariskan industri.

Kedua, cara pandang spiritual

Perempuan diperlakukan sebagai manifestasi Tuhan yang dapat terus tumbuh sejajar dan mengoptimalkan potensi dirinya.

Kira-kira, begitulah penjelasan yang disampaikan Profesor Esfandiyar, salah seorang pakar Rumi Iran. Isi ruangan hening. Para perempuan tentu seperti mendapat angin keberpihakan. Entah kenapa ekspresi peserta lelaki pun seperti tak mengisyaratkan keberatan.

Baca juga:  Tafsir Kerinduan (Bagian 2)

Bagi saya, pendapat Rumi ini cukup luar biasa. Di tengah situasi sosial abad pertengaan, Rumi seperti mampu meramal masa depan. Bahkan, aroma gerakan feminisme belum lagi merekah di dataran Eropa saat itu.

“Ini belum seberapa, Anda akan sangat terkejut dengan bait yang akan saya bacakan selanjutnya”

Suara berat Pak Esfandiyar seperti membaca keheranan saya.

 

پر توحق است آن، معشوق نیست

خالق است آن، گوئیا مخلوق نیست

Perempuan adalah pantulan cahaya Ilahi, bukan pelampiasan birahi

Tidak, konon dia bukan makluk biasa, dia bahkan mencipta

(Matsnawi Rumi, jilid 1, bait 2437)

 

Pak Esfandiyar memberikan catatan tentang syair tersebut. Menurutnya, bait ini memang termasuk syair Rumi yang cukup rumit dan memerlukan ekstra kehati-hatian dalam menafsirkannya. Diksi-diksi yang digunakan Rumi terkesan hiperbolis, namun tentu Rumi tak bermaksud membuat sekutu Tuhan. Rumi hanya sedang melihat begitu pentingnya posisi perempuan dalam semesta, yaitu menjadi perantara kehadiran manusia-manusia baru.

Fitrah inilah yang melahirkan konsekuensi sifat kasih sayang (rahim). Konon inilah sifat persamaan yang dimiliki Tuhan dan perempuan. Dengan ini pula perempuan bisa sampai pada puncak makrifat. Senada dengan Rumi, Ibnu Arabi juga meyakini bahwa perempuan merupakan manisfestasi Tuhan yang paling sempurna di alam.

Baca juga:  Sabilus Salikin (42): Golongan Wali yang Tidak Terhitung Jumlahnya

Kelas berakhir dengan tanya jawab panjang, tentu semuanya tak mungkin saya tulis di sini. Tapi satu hal yang saya catat, setinggi apapun potensi yang dimiliki perempuan, sangat bergantung pada kesadaran perempuan sendiri, sejauhmana keinginannya untuk terus bertumbuh. Dan tentu, kesadaran orang-orang di sekitarnya, terutama pasangan untuk memberikan dukungan terbaiknya.

Semilir angin musim gugur kali ini terasa lebih sejuk bersama untaian puisi-puisi Rumi. Sebuah hadiah indah di awal Mehr, bulan kasih sayang. Yo ayo semangat lagi bu ibu, mau yang digelung dan beraktivitas di luar maupun yang dasteran seperti saya. Di posisi apa pun kita, yang kita lakukan insyaallah tidak akan akan sia-sia selama dibarengi makrifat.

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (2)

Komentari

Scroll To Top