Belakangan ini, tidak sulit kita menemukan individu atau kelompok yang melarang penggunaan akal dalam beragama (Islam). Individu atau kelompok ini sangat menentang dan anti dengan penggunaan akal dalam beragama. Mereka menganggap akal manusia merupakan musuh dari agama itu sendiri, dan akal manusia merupakan biang dari segala pertentangan dan perlawanan atas ajaran Islam. Oleh karena itu kata mereka, akal manusia harus dieliminasi dan tidak boleh dilibatkan dalam urusan beragama. Melibatkannya hanya akan menentang ajaran Islam dan menyesatkan manusia itu sendiri.
Kelompok dengan pemahaman semacam itu telah menemukan ruang hidup dalam masyarakat. Mereka tumbuh dan berkembang dengan sangat cepat dan memiliki basis dukungan dengan jumlah yang tidak sedikit. Ibarat sebutir gula diletakkan di tengah kerumunan semut, dengan sangat cepat sebutir gula itu dihinggapi oleh semut-semut. Dari pola pikir yang demikian, mengakibatkan banyak umat Islam dengan mudah ditipu dan dikelabuhi atas nama agama.
Selain itu, umat Islam juga cenderung gampang untuk dimobilisasi, cukup dengan mendramatisir atau mempolitisi suatu hal tertentu telah dapat menyulut api emosinya. Hal ini dikarenakan “akal” yang menjadi anugrah terbesar manusia, sekaligus menjadikan manusia makhluk yang paling sempurna dibanding dengan makhluk lain, tidak digunakan dan dimanfaatkan.
Strategi yang paling sering digunakan oleh kelompok semacam itu untuk mendukung pemahamannya bahwa akal manusia adalah musuh dari agama, yaitu dengan cara mempertentangkan atau melawankan antara akal dan wahyu. Misalnya, ketika manusia mempertanyakan tentang wahyu atau mencoba menafsirkan wahyu tertentu, maka akan dikatakan telah menentang atau melawan wahyu. Padahal tidak demikian. Akal dan wahyu adalah dua hal yang tidak bertentangan dan memiliki peranan yang sama pentingnya dalam beragama. Singkatnya “akal tanpa wahyu tersesat” dan “wahyu tanpa akal pincang.”
Bukankah dalam Islam terdapat dalil naqli dan dalil aqli yang sama pentingnya? Dan bukankah Islam mewajibkan manusia untuk menuntut ilmu yang artinya penggunaan akal? Secara sederhana dalil naqli merupakan dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis yang kebenarannya bersifat mutlak dan hakiki, misalnya Allah itu satu, adanya Surga dan Neraka, adanya Nabi dan Rasul, serta lain sebagainya. Kemudian dalil aqli merupakan dalil yang berdasarkan akal manusia dengan berlandaskan dalil naqli yang kebenarannya bersifat relatif misalnya, dalam masalah-masalah kemasyarakatan dan kenegaraan. Selain itu, dalam ajaran Islam terdapat dua jalan untuk memperoleh pengetahuan.
Pertama, jalan wahyu dalam arti komunikasi dari Tuhan kepada manusia. Dan kedua jalan akal, yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia dengan memakai kesan-kesan yang diperoleh melalui panca indra sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan. Muhammad Abduh mengatakan bahwa hubungan antara akal dan wahyu sangat erat sekali. Adapun yang harus diyakini ialah bahwa Islam itu adalah agama tauhid. Sedangkan akal merupakan pembantunya yang kuat dan wahyu merupakan sendinya yang kokoh (Abduh dalam Taufik Mandailing, 2014).
Dalam hemat penulis, pelarangan penggunaan akal dalam beragama merupakan rekayasa individu atau kelompok tertentu demi tujuan tertentu. Bukan karena Islam yang melarangnya. Islam tidak pernah melarang penggunaan akal dalam beragama, malahan sebaliknya membolehkan dan memposisikan akal sebagai suatu hal penting. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ad-din huwa al-aqlu la dina liman la aqla lahu. Yang artinya, agama adalah akal, tidak beragamalah orang yang tidak mendayagunakan akalnya dengan baik.
Dari riwayat ini menegaskan bahwa akal menempati posisi penting dalam agama, dan agama tidak melarang penggunaan akal. Selain itu, ajaran Islam sesuai dengan akal pikiran manusia dan memotivasi manusia untuk menggunakan akal pikirannya (QS. Al-Baqarah [2]: 165). Bahkan di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa pengabaian akal berpotensi mengantar seseorang tersiksa di dalam neraka (QS. Al-Mulk [67]: 10). Rasulullah dalam hadis Muslim bersabda “Sesungguhnya aku adalah manusia. Bila aku memerintahkan suatu tentang agamamu, maka terimalah itu. Dan bila aku menyuruh tentang sesuatu berdasarkan pendapatku, maka aku adalah manusia” (Muslim, Juz IV, t.rh: 95).
Penggunaan akal dalam Islam digunakan untuk menjelaskan, menafsirkan dan menetapkan hukum dan dalil (wahyu) yang belum ada penjelasannya secara detail baik di dalam al-Qur’an maupun Hadis. Selain itu, juga untuk menjelaskan persoalan-persoalan kemasyarakatan dan kenegaraan yang tidak tersentuh secara eksplisit oleh al-Qur’an dan Hadis.
Untuk itu, Rasulullah sendiri sering memberikan “mandat” kepada sahabat-sahabatnya untuk memutuskan suatu perkara, sekalipun itu terjadi dihadapan beliau sendiri (Ibn Hazm, Juz IV, 1345 H: 25). Dengan demikian jelaslah bahwa Islam tidak melarang penggunaan akal dalam beragama. Oleh karenanya kita sebagai umat semestinya bukan hanya sekedar menjadi pengikut, akan tetapi kita harus menjadi pengikut yang cerdas dan mampu mendayagunakan akal dengan baik. Agar tidak terjerumus dan tersesat ke dalam ajaran-ajaran yang salah.