Nizar Qabbani lahir pada tanggal 21 Maret 1923, di kota Damaskus, Suriah, dari sebuah keluarga pedagang terkemuka. Ayahnya, Tawfiq Qabbani, adalah seorang pedagang yang sukses, sementara ibunya, Faiza, merupakan seorang keturunan Turki. Kehidupan awal Nizar Qabbani diwarnai oleh lingkungan keluarga yang kaya akan tradisi dan budaya Arab, yang mana menjadi pintu masuk baginya untuk mengenal dunia kesusastraan
Qabbani menempuh pendidikan awalnya di sekolah setempat di Damaskus. Pada usia yang sangat muda, minatnya pada puisi mulai muncul, dan dia sering menulis puisi kecil yang mengungkapkan pemikirannya tentang cinta, keindahan alam, dan fenomena sosial di sekitarnya. Ketertarikannya pada sastra membuatnya memutuskan untuk mengejar pendidikan tinggi, dan dia masuk ke Fakultas Hukum di Universitas Damaskus.
Meskipun dia menempuh pendidikan hukum, minat dan bakatnya dalam dunia sastra terus berkembang. Dia aktif dalam lingkungan sastra di kampus dan sering membaca karya-karya sastra terkemuka dari penulis-penulis Arab dan internasional. Namun, pada saat yang sama, keadaan politik di wilayah tersebut, terutama kebangkitan nasionalisme Arab dan konflik dengan ideologi kolonial, juga memengaruhi pandangan dan pemikirannya.
Pada masa ini, Qabbani mulai menulis puisi-puisi yang mencerminkan pandangannya tentang identitas Arab, perjuangan rakyat, dan keindahan budaya mereka. Dia juga tertarik pada tema-tema cinta dan romantisme, yang sering menjadi subjek puisi-puisi awalnya.
Setelah menyelesaikan studinya, Qabbani memulai karir diplomatiknya yang membawanya ke berbagai negara termasuk Turki, Mesir, dan Lebanon. Pengalaman ini memperluas wawasannya tentang dunia dan memberinya pandangan yang lebih luas tentang berbagai persoalan sosial dan politik. Selama bertahun-tahun, dia menyaksikan penderitaan dan ketidakadilan yang mempengaruhi karya-karyanya.
Salah satu ciri khas karya Qabbani adalah penggunaan metafora yang kuat dan gambar-gambar yang indah. Dia menggambarkan cinta sebagai bunga yang mekar di padang pasir kering dan penuh rindu, atau kesedihan sebagai air mata yang mengalir dari matahari terbenam. Metafora yang digunakan Qabbani tidak hanya memperkuat keindahan puisinya, tetapi juga memberikan kedalaman dan kompleksitas pada pengalaman manusia.
Qabbani juga menggunakan gaya prosa yang sederhana dan lugas, yang memungkinkan pembaca dari berbagai lapisan masyarakat untuk meresapi makna dalam karyanya. Metafora yang digunakannya tidak hanya untuk keindahan saja, tetapi juga untuk menyampaikan pesan politik dan sosial. Dia memanfaatkan gambaran-gambar kuat untuk menyoroti ketidakadilan sosial, penindasan, dan penderitaan manusia.
Pada suatu waktu, Nizar Qabbani sedang membacakan puisinya di salah sebuah festival sastra di Baghdad pada tahun 1962. Matanya tertuju pada seorang wanita Irak berusia dua puluhan, cantik, dan anggun. Mata mereka bertemu berulang kali, dan Nizar jatuh cinta padanya.
Dia menanyakan tentangnya, dan mengetahui bahwa namanya adalah Balqis al-Rawi, tinggal di Al-A’zamiyah di sebuah rumah yang elegan menghadap Sungai Dajlah. Dia kemudian meminta izin kepada ayahnya untuk melamar sang gadis, namun karena tradisi Arab yang tidak mengizinkan seseorang menikahi putrinya setelah mengungkapkan cintanya, ayahnya pun menolak. Nizar akhirnya memutuskan untuk kembali ke Spanyol, di mana dia bekerja di Kedutaan Besar Suriah, dengan hati yang sedih.
Bayangan Balqis selalu menghantuinya, dan dia terus bertukar surat dengannya tanpa sepengetahuan ayahnya. Tujuh tahun kemudian, dia kembali ke Irak untuk turut berpartisipasi dalam Festival Al-Marbad dan membacakan puisi yang menggetarkan khalayak dan juga sukses membuat rakyat Irak bersimpati kepadanya, di dalamnya ia menceritakan sebuah kisah cinta yang tidak mendapatkan restu.
Kisah ini diketahui oleh Presiden Irak, Ahmad Hasan al-Bakr. Karena tergerak olehnya, dia mengirim Menteri Pemuda, Shafiq al-Kamali, dan wakil dari Kementerian Luar Negeri, Shadhil Taqi, untuk melamar Balqis untuk Nizar dari ayahnya. Kemudian ayahnya pun setuju, dan mereka akhirnya menikah pada tahun 1969, untuk menjalani hari-hari terindah dalam hidup mereka.
Setelah sepuluh tahun pernikahan dan perjalanan, Qabbani menciptakan puisi bucin untuk Balqis yang dinyanyikan oleh Kazem al-Saher, yang berjudul
“Aku bersaksi tiada wanita selain engkau”
أشهد أن لا امرأة تجتاحني
فى لحظات العشق كالزلزال
تحرقني
تغرقني
تشعلني
تطفئني
تكسرني نصفين كالهلال
وتحتل نفسي أطول احتلال
واجمل احتلال
إلا أنت
يا امرأة
اترك تحت شعرها أسئلتي
ولم تجب يوما على سؤال
يا امرأة هي اللغات كلها
لكنها
تلمس بالذهن ولا تقال
Aku bersaksi tiada wanita
Yang menggempurku dalam gejolak cinta laksana gempa
Membakarku.. menenggelamkanku
Menghidupkanku.. memadamkanku
Membelahku menjadi separuh bak bulan sabit
Selain engkau
Aku bersaksi tiada wanita
Yang menjajah jiwaku selama ini
Juga sebahagia ini
Selain engkau
Oh kasih,
Kutinggalkan pertanyaanku terpendam di balik rambutnya
Tapi tak satupun terjawab jua
Oh kasih,
Dia adalah bentuk dari segala bahasa
Dia menyentuh dengan pikiran tanpa kata
Tidak lama setelah itu, pada tahun 1981, Qabbani dan istrinya menetap di Beirut, di mana Balqis bekerja di Kedutaan Besar Irak. Tepat pada tanggal lima belas bulan desember, Qabbani mengantarnya pergi bekerja dan mereka berpisah setelah berpelukan. Kemudian ia pergi ke kantornya di Jalan Hamra, dan setelah dia meneguk kopinya, Qabbani mendengar suara ledakan yang menggetarkannya dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Dia pun refleks berucap, “Ya Allah, ya tuhanku” dan hanya selang beberapa menit kemudian dia mendapat kabar bahwa kekasihnya telah tewas dalam serangan bom bersama dengan 61 korban lainnya.
Dia menulis puisi duka cita yang tidak pernah dia tulis sebelumnya, dan tidak ada yang lebih indah daripada itu dalam karir sastranya. Inilah kisah cinta dan teror. Ini adalah cerita yang menegaskan bahwa terorisme tidak memiliki hati, tidak memiliki prinsip, tidak memiliki belas kasih, dan tidak memiliki iman!
Qabbani melampiaskan kesedihannya yang mendalam dan tak berkesudahan ke dalam sebuah puisi yang menjadi salah satu elegi terpanjang yang ditulis olehnya, yaitu elegi “Balqis”. Berikut sedikit penggalan dari puisi tersebut:
Terima kasih kepada Anda semua…
Terima kasih kepada Anda semua…
Kekasihku telah tiada… dan sekarang kalian bisa
Minum dengan bebas di atas makam sang syahid
Dan puisiku telah terbunuh…
Apakah ada bangsa di dunia…
– Selain kita – yang juga membunuh puisi?
Balqis…
Dia adalah ratu tercantik dalam sejarah Babilonia
Balqis…
Dia adalah pohon kurma tertinggi di tanah Irak
Ketika dia berjalan…
Burung-burung menyertainya…
Dan rusa-rusa mengikutinya…
Balqis… rasa sakit ini…
Dan rasa sakit jari jemari saat menyentuh puisi ini
Apakah mungkin…
Setelah rambutmu, bulir-bulir akan tumbuh?
Oh Nineveh yang hijau…
Oh wanita gipsiku yang berambut pirang…
Oh pesona Dajlah…
Mengenakan sandal-sandal terindah di musim semi
Mereka membunuhmu, oh Balqis…
Bangsa Arab manakah
Yang tega membunuh bulbul yang tengah berkicau?
Karya-karya Qabbani terus menginspirasi banyak penyair dan pembaca hingga saat ini. Dia dianggap sebagai salah satu penyair Arab terbesar abad ke-20 dan sebuah simbol perlawanan terhadap tirani dan ketidakadilan. Selain itu, karya-karyanya juga menjadi sumber inspirasi bagi gerakan feminis di dunia Arab, karena dia sering menyoroti peran dan pergerakan perempuan dalam masyarakat.
Melalui puisinya yang indah dan berani, Nizar Qabbani meninggalkan warisan yang tak terlupakan dalam sastra Arab. Karya-karyanya mengajarkan kita tentang kekuatan kata-kata untuk memperjuangkan cinta, kebebasan, dan keadilan.
Nizar Qabbani meninggal dunia pada usia 75 tahun di London pada 30 April 1998. Pada saat kepergiannya, dia telah menjadi legenda dan salah satu penyair Arab paling terkenal dan dihormati di dunia.