Sedang Membaca
Kerusakan Lingkungan dan Agama Hanya Sekadar Pemanis?

Lahir di Birmingham, 31 Maret 2000. Sekarang sedang menempuh pendidikan Bahasa Arab dan Terjemah di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Kerusakan Lingkungan dan Agama Hanya Sekadar Pemanis?

kerusakan lingkungan

 

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)

Rasanya, Ayat ini sangat relevan dengan situasi saat ini, di mana deforestasi, pencemaran, dan perubahan iklim semakin parah akibat aktivitas manusia.

Merujuk kepada tafsir tahlili Kemenag, di dalam ayat ini diterangkan bahwa telah terjadi al-fasād di daratan dan lautan. Al-Fasād adalah segala bentuk pelanggaran atas sistem atau hukum yang dibuat Allah, yang diterjemahkan dengan “perusakan”. Perusakan itu bisa berupa pencemaran alam sehingga tidak layak lagi didiami, atau bahkan penghancuran alam sehingga tidak bisa lagi dimanfaatkan. Di daratan, misalnya, hancurnya flora dan fauna, dan di laut seperti rusaknya biota laut.

Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa tidak seluruh akibat buruk perusakan alam itu dirasakan oleh manusia, tetapi sebagiannya saja. Sebagian akibat buruk lainnya telah diatasi Allah, di antaranya dengan menyediakan sistem dalam alam yang dapat menetralisir atau memulihkan kerusakan alam. Hal ini berarti bahwa Allah sayang kepada manusia. Seandainya Allah tidak sayang kepada manusia, maka pastilah manusia akan merasakan seluruh akibat perbuatan jahatnya. Seluruh alam ini akan rusak dan manusia tidak akan bisa lagi menghuni dan memanfaatkannya, sehingga mereka pun akan hancur. Sebagaimana termaktub dalam surat Fatir ayat 45:

“Dan sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka perbuat, niscaya Dia tidak akan menyisakan satu pun makhluk bergerak yang bernyawa di bumi ini, tetapi Dia menangguhkan (hukuman)-nya, sampai waktu yang sudah ditentukan. Nanti apabila ajal mereka tiba, maka Allah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.”

Di Indonesia sendiri, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, isu lingkungan hidup dan keberlanjutan (sustainability) kerap menjadi perbincangan yang tidak dapat diabaikan. Di tengah krisis lingkungan yang semakin akut, dari banjir di berbagai kota besar hingga deforestasi yang meluas, narasi tentang hubungan Islam dan keberlanjutan mulai mendapatkan panggung. Islam sebagai agama mayoritas seringkali dijadikan rujukan moral untuk memperkuat komitmen menjaga alam. Namun, seiring meningkatnya wacana greenwashing dan retorika agama dalam isu lingkungan, muncul pertanyaan: apakah Islam benar-benar dijadikan pedoman untuk merawat bumi, atau hanya dijadikan pemanis dalam narasi politik dan ekonomi?

Baca juga:  Buya Syafii Maarif, Napasmu akan Lebih Panjang

Fenomena Greenwashing

Greenwashing adalah praktik di mana perusahaan atau organisasi memberikan klaim palsu atau menyesatkan tentang produk atau kebijakan mereka yang dikatakan ramah lingkungan, padahal sebenarnya tidak demikian. Tujuannya adalah untuk menciptakan citra positif di mata publik tanpa melakukan perubahan signifikan yang benar-benar mendukung lingkungan. Perusahaan-perusahaan ini sering menggunakan label “hijau” atau “ramah lingkungan” dalam kampanye pemasaran, namun praktik operasional mereka tetap merusak alam.

Fenomena greenwashing tidak hanya terbatas pada perusahaan, tetapi juga bisa digunakan oleh pemerintah, organisasi non-profit, dan bahkan individu untuk memperbaiki citra mereka terkait isu lingkungan. Elemen-elemen ini menggunakan narasi keberlanjutan atau aksi ramah lingkungan untuk menarik simpati publik

Sebagai contoh, industri minyak atau kelapa sawit sering menggunakan istilah keberlanjutan (sustainability) untuk mendapatkan dukungan publik atau memperluas pasar. Mereka mungkin menyatakan bahwa produk mereka bebas dari bahan kimia berbahaya atau diproduksi dengan metode ramah lingkungan, namun di balik itu, mereka terus melakukan deforestasi, merusak ekosistem, dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang tinggal di sekitar lahan operasi mereka. Hal ini menyebabkan publik sering tertipu oleh klaim palsu tersebut, sementara kerusakan lingkungan tetap terjadi.

Contoh lainnya, dari greenwashing dapat dilihat pada penggunaan label halal dan sertifikasi syariah pada produk-produk agrobisnis maupun kuliner yang mengeklaim kepedulian terhadap lingkungan, padahal di balik itu terdapat praktik-praktik eksploitatif. Di beberapa proyek infrastruktur besar, penggunaan retorika agama dan green hanyalah alat untuk meraih legitimasi publik. Agama, dalam konteks ini, tidak lagi menjadi panduan moral yang memengaruhi kebijakan dan tindakan konkret, melainkan menjadi ornamen retoris untuk menciptakan citra positif tanpa dampak substansial.

Retorika Sustainability: Islam sebagai Legitimasi?

Indonesia adalah salah satu negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim, dengan populasi besar yang tinggal di kawasan pesisir dan bergantung pada sumber daya alam. Di tengah tantangan lingkungan yang nyata, ada kecenderungan pemerintah dan perusahaan besar menggunakan retorika Islam untuk melegitimasi proyek-proyek pembangunan. Dalam pidato-pidato kenegaraan, sering kali ajaran Islam tentang menjaga lingkungan disebut-sebut sebagai bagian dari kebijakan hijau pemerintah. Namun, pertanyaannya adalah, seberapa jauh ajaran ini benar-benar diterapkan?

Baca juga:  Fenomena Antitesis Dunia Sastra

Proyek-proyek infrastruktur besar seperti pembangunan bendungan, jalan tol, dan kawasan industri sering kali menyebutkan kepentingan publik sebagai justifikasi utama. Dalam banyak kasus, pemerintah menggunakan terminologi “amanah” dan “tanggung jawab” untuk memperkuat narasi bahwa pembangunan ini sejalan dengan nilai-nilai Islam. Padahal, di balik itu, banyak proyek yang merugikan lingkungan dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang terdampak.

Salah satu contohnya adalah pembangunan food estate di Kalimantan Tengah yang dicanangkan sebagai proyek pertanian berkelanjutan untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Proyek ini, meskipun dibungkus dengan narasi keberlanjutan, menuai kritik karena berpotensi merusak ekosistem hutan gambut yang sangat penting bagi penyerapan karbon. Dalam hal ini, nilai-nilai Islam tentang keseimbangan alam dan tanggung jawab terhadap bumi seolah hanya menjadi narasi pemanis untuk menjustifikasi proyek yang berpotensi merusak lingkungan.

Masyarakat Sipil dan Aksi Nyata

Di luar retorika pemerintah dan korporasi, ada gerakan masyarakat sipil yang mencoba menerjemahkan ajaran Islam tentang keberlanjutan ke dalam tindakan nyata. Salah satu contohnya adalah gerakan EcoMasjid, yang digagas oleh beberapa komunitas Muslim di Indonesia. Gerakan ini bertujuan untuk menjadikan masjid sebagai pusat edukasi dan aksi lingkungan, termasuk dalam pengelolaan sampah, hemat energi, dan penggunaan air. Gerakan ini muncul dari kesadaran bahwa menjaga alam adalah bagian dari amanah yang harus dijalankan oleh umat Islam.

Selain itu, gerakan hijau berbasis komunitas seperti Green Hajj mulai muncul sebagai respons terhadap tantangan lingkungan dalam pelaksanaan ibadah haji. Mengingat jutaan umat Islam setiap tahunnya melakukan perjalanan ke Mekkah, banyak aktivis lingkungan yang mendorong agar pelaksanaan haji lebih memperhatikan jejak karbon. Apalagi, Indonesia menjadi negara terbesar dengan kurang lebih 241.000 jamaah, Ini tentunya menimbulkan consent lingkungan (Sampah, penggunaan listrik dan air) selama perjalanan. Dengan adanya gerakan seperti ini, bisa menjadi bentuk aksi nyata yang menggabungkan ajaran Islam dengan kesadaran lingkungan.

Namun, upaya-upaya ini masih terkendala oleh minimnya dukungan dari pemerintah dan sektor swasta. Banyak komunitas yang bergerak di bidang lingkungan merasa kesulitan untuk menjangkau audiens yang lebih luas, terutama ketika isu-isu lingkungan kerap dikalahkan oleh agenda politik dan ekonomi yang lebih mendesak.

Peran Gen Z

Generasi Z di Indonesia memiliki peran penting dalam mendorong perubahan paradigma terkait keberlanjutan. Dengan akses yang lebih luas terhadap informasi dan teknologi, generasi ini memiliki potensi untuk menjadi agen perubahan dalam isu-isu lingkungan. Islam, sebagai bagian integral dari kehidupan sebagian besar milenial Muslim di Indonesia, bisa menjadi landasan moral untuk mendorong aksi nyata terhadap krisis lingkungan. Namun, tantangannya adalah bagaimana menjadikan ajaran Islam ini lebih dari sekadar retorika.

Baca juga:  Gerak, Gerakan, dan Pergerakan

Salah satu cara untuk melibatkan para penerus dalam aksi lingkungan berbasis Islam adalah dengan mengintegrasikan ajaran agama ke dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’” (QS. Al-Baqarah: 30). Konsep ini menekankan tanggung jawab manusia untuk menjaga dan merawat bumi yang telah dipercayakan kepada mereka. Contohnya, dengan kampanye sosial yang mendorong perubahan gaya hidup, seperti pengurangan konsumsi plastik, penggunaan energi terbarukan, dan pengelolaan sampah yang lebih baik. Dengan pendekatan yang inklusif dan relevan, ajaran Islam tentang sustainability bisa menjadi pendorong bagi gerakan hijau yang lebih luas.

Islam sebagai Pemanis?

Pada akhirnya, pertanyaan apakah Islam benar-benar menjadi panduan dalam menjaga lingkungan atau hanya digunakan sebagai pemanis retoris sangat tergantung pada bagaimana ajaran ini diterapkan dalam kehidupan nyata. Jika Islam hanya dijadikan ornamen dalam narasi politik dan ekonomi tanpa aksi nyata, maka ajaran ini kehilangan substansinya di tengah krisis lingkungan yang kita hadapi.

Namun, jika ajaran tentang Sustainability dapat diterapkan secara konkret dalam kebijakan, gaya hidup, advokasi lingkungan, san juga sedini mungkin, maka umat Islam, khususnya di Indonesia, dapat menjadi pelopor dalam isu keberlanjutan. Aksi nyata yang diperlukan mencakup perubahan gaya hidup, partisipasi dalam gerakan lingkungan, dan dukungan penuh terhadap kebijakan hijau dari seluruh lapisan masyarakat.

Sekali lagi, dengan mempraktikkan nilai-nilai Islam yang otentik dan tidak sekadar menggunakan agama sebagai alat retoris, umat Islam di Indonesia dapat berkontribusi signifikan dalam menjaga alam untuk generasi mendatang. Sebagaimana ajaran Islam mengajarkan keseimbangan dan tanggung jawab, umat Muslim memiliki peluang untuk menjadi penjaga bumi yang sesungguhnya, bukan hanya dalam wacana, tetapi dalam tindakan nyata yang membawa perubahan bagi masa depan lingkungan global.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Scroll To Top