Lahir di Birmingham, 31 Maret 2000. Sekarang sedang menempuh pendidikan Bahasa Arab dan Terjemah di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Abu Miqosh, Sang Bakhil yang Dilema Rokok

Syekh Mutawalli asy-Sya’rowi dalam tafsirnya mendefinisikan kikir, pelit, atau bakhil dengan makna “مَشَقّةُ الإِعْطَاء”
(masyaqqatul i’tha’i). Artinya, susah, sulit, atau sukar untuk memberi.

Pelit sendiri ternyata mempunyai tingkatan-tingkatannya. Pada puncaknya, (tingkat paling tinggi) ia akan menahan segala sesuatu yang sebenarnya dia tidak akan merugi jika memberinya dan tidak mendapat untung dalam menahannya. Pelit dengan tipe seperti ini hanya ada pada seorang bakhil sejati yang bahkan sungkan memberi untuk dirinya sendiri.

Orang Jawa punya banyak perumpamaan untuk orang bakhil pada dirinya sendiri. Satu contoh ekstrim: jika seorang bakhil maaf, berak, lalu beraknya ada biji cabai, maka biji cabai itu akan dibersihkan kembali. Lalu dibuat sambal lagi.

Apabila ia pelit untuk dirinya sendiri bagaimana ia bisa memberi untuk orang lain?

Telinga kita mungkin sudah tidak asing lagi mendengar nama Isa al-Bakhil, seorang yang bisa jadi telah mencapai tingkatan tertinggi dalam kebakhilan, bahkan ia telah menjadi simbol kebakhilan pada zamannya.

Salah seorang penyair menggambarkan kepelitan Isa al-Bakhil dengan mengibaratkan bahwa jika bisa, ia hanya akan bernafas dengan satu lubang hidungnya karena baginya itu lebih menguntungkan. Atau jika saja Nabi Yusuf datang untuk meminta satu jarum darinya untuk menjahit bajunya yang robek niscaya ia akan menolaknya.

Baca juga:  Akhlak sebagai Pokok Ajaran Kenabian

Tapi bukan Isa al-Bakhil yang ingin kita bahas saat ini, melainkan Abu Miqosh, sang bakhil yang berasal dari negeri Suriah. Bukannya tanpa sebab kenapa disematkan kepadanya “Laqob” Abu Miqosh, tidak lain dan tidak bukan karena ia adalah seorang pecandu berat rokok atau yang biasa disebut sebagai “Miqosh” dalam bahasa sehari-hari mereka.

Yang membuatnya menarik ialah biasanya seorang yang bakhil pada umumnya tidak akan merokok, bahkan mereka akan menasihati orang sekitarnya bahwa merokok itu berbahaya bagi kesehatan badan dan kesehatan “kantong”, tetapi lain cerita dengan apa yang dialami oleh Abu Miqosh, bahkan dikatakan jika kita melihat Abu Miqosh maka kita akan melihat ada rokok yang terselip di sela-sela jarinya.

Sebenarnya hal ini membuat Abu Miqosh pusing setiap waktunya, karena sebisa mungkin ia tidak mau mengeluarkan uang sepeser pun untuk membeli rokok, maka ia akhirnya menemukan cara yang cukup efektif untuk mengatasinya, yaitu sebagaimana kita ketahui bahwa sudah menjadi adat dan kebiasaan para perokok untuk berbagi kepada sesama perokok yang sedang bokek atau tidak mempunyai rokok, maka dari sinilah ia melancarkan gagasan liciknya itu.

Setiap waktunya dia berlagak seolah-olah dia bokek, maka dengan santainya dia mendatangi temannya dengan wajah yang sedikit memelas lengkap dengan jari tengah dan manis yang terbuka lebar siap mencaplok rokok sembari berkata ” ‘ayyi lii hal miqosh” (berikanku satu rokok).

Baca juga:  Menimbang Iman dengan Akhlak

Tidak berhenti sampai di situ, ia berusaha untuk tidak menyalakan rokok yang ia dapat secara gratis itu dengan koreknya sendiri melainkan ia akan meminta kembali korek kepada temannya itu dengan berdalih “alkhoiru bitamamih, a’thini wal’ah ” (kamu kalau mau baik jangan setengah-setengah, berikanku korek!), dan teruslah seperti itu yang terjadi setiap waktunya, sehingga satu korek miliknya saja bisa bertahan hingga berbulan-bulan lamanya.

Dan yang menjadi kebiasaan buruknya juga adalah ia tak pernah menaruh rokok di dalam sakunya, tetapi menyimpannya di dalam kaus kaki dan bahkan di dalam celana dalamnya, maka jika ada temannya yang meminta rokok ia akan bilang bahwa rokok yang ada di tangannya adalah miliknya yang terakhir, bahkan ia sampai akan menarik sakunya keluar untuk memastikannya.

salah satu temannya menuturkan bahwa kebiasaan Abu Miqosh ini terus berlanjut bahkan saat ia menjabat sebagai salah satu kepala pemerintahan, dikatakan bahwa ternyata rokok yang biasa ia kumpulkan dari teman-temannya itu ia timbun di dalam lacinya, dan setiap ada orang yang berkunjung ke ruangannya maka ia akan mengeluarkan kata-kata pamungkasnya

” ‘ayyi li hal miqosh” dan tentunya dilengkapi dengan ” alkhoiru bitamamih, a’thini wal’ah”. (Sumber: “Idhak Ma’al ‘Ulama” karya Sami Muhammad)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
3
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top