Sedang Membaca
Universitas, Gereja, Masjid, dan Pesantren
Achmad Munjid
Penulis Kolom

Menyelesaikan pendidikan doktoral di Temple University, Amerika Serikat. Sekarang mengajar di UGM. Selain menekuni bidang kajian agama, juga menulis sastra.

Universitas, Gereja, Masjid, dan Pesantren

Di Amerika, banyak universitas pada mulanya lahir dari gereja. Ketika makin berkembang, gereja-gereja mendirikan lembaga pendidikan untuk memenuhi kebutuhan internalnya, khususnya untuk mendidik para calon pendeta.

Setelah tumbuh, lembaga pendidikan itu berubah menjadi universitas yang sepenuhnya berdiri sendiri dan tak ada hubungannya lagi dengan gereja yang melahirkannya, kecuali secara historis. Tidak jarang, gereja yang dulu melahirkannya justru hanya menjadi “peninggalan sejarah” di sudut kampus.

Harvard, Princeton dan Yale adalah contoh yang menonjol. Temple University, kampusku, dulunya juga didirikan oleh Gereja Baptist Temple yang kemudian menjadi namanya. Gereja tua itu sekarang ada di sudut kampus dan berfungsi sebagai museum sekaligus gedung pertunjukan.

Di Indonesia, kini makin banyak masjid lahir dari universitas. Semua kampus besar ramai-ramai mendirikan masjid kampus dengan kegiatan yang makin ramai.

Semula masjid-masjid itu juga dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan internal kampus saja, khususnya salat jama’ah dan kegiatan peringatan hari besar.

Seiring dengan pasang naik gelombang Islam dan makin besarnya kebutuhan publik untuk aktualisasi simbol-simbol Islam, tampaknya kegiatan masjid kampus bukan cuma kian meluas tapi juga makin terpisah dari kegiatan universitas, ia makin jadi lembaga yang independen, mungkin malah mulai meninggalkan universitas. Riak kecil di Masjid Kampus UGM bisa dibaca sebagai gejala ke arah itu.

Baca juga:  Masjid Raudhatul Muttaqin: antara yang Tetap dan yang Berubah

Jangan lupa, bukan cuma universitas, bahkan sekolah-sekolah dari SD hingga SMA kini juga makin banyak yang mendirikan masjid yang kemudian terbuka untuk umum.

Fenomen ini berbeda dengan tradisi ulama zaman dulu. Tradisi ulama kita mirip dengan kampus-kampus di Amerika. Awalnya ada rumah kiai kecil, ngaji di emperan. Lantas jamaah membesar, dibuatlah langgar. Lalu jadi masjid. Makin banyak peserta pengajian, bahkan di luar kota. Dibangunlah kamar –saat masih sedikit tidur di rumah kiai atau di masjid. Makin banyak kamar-kamar untuk jemaah dari luar kota. Jadilah apa yang kita sebut sebagai pesantren.

Almarhum Cak Nur atau Nurcholis Madjid, dulu juga mensinyalir begitu, harusnya kampus besar, lahir dari Pesantren Krapyak, Pesantren Lirboyo, Pesantren Tebuireng. Mereka menjadi Universitas Krapyak, Universitas Lirboyo, dan Universitas Tebuireng. Angan-angan Cak Nur pelan-pelan menjadi kenyataan bukan? Dengan bentuk yang berbeda tentunya.

Bagaimana dengan masjid di kampus? Apakah masjid-masjid itu akan terus berkembang menjadi lembaga yang berdiri sendiri dan akhirnya universitas yang mendirikannya akan jadi “peninggalan sejarah” seperti gereja di universitas-universitas Amerika?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top