Sedang Membaca
Kampus Sekuler, Kampus Religius?
Achmad Munjid
Penulis Kolom

Menyelesaikan pendidikan doktoral di Temple University, Amerika Serikat. Sekarang mengajar di UGM. Selain menekuni bidang kajian agama, juga menulis sastra.

Kampus Sekuler, Kampus Religius?

Sejak 1990an, banyak orang (Islam) di kampus-kampus umum di Indonesia kian sibuk mengurus agama, meski sedikit atau bahkan tidak ada jurusan yang terkait langsung dengan disiplin kajian agama (Islam) di sana.

Munculnya kelompok seperti Jamaah Shalahuddin di UGM, Salman di ITB, Masjid Arief Rahman di UI, dan lain-lain, sampai berdirinya ICMI bisa disebut sebagai contohnya. Meski belajar ilmu-ilmu sekuler, tidak sedikit mahasiswa di kampus umum yang mungkin malah lebih banyak menghabiskan waktu dan sibuk belajar agama daripada ilmu sekuler yang konon mau ditekuninya. Istilah dalam bahasa Arab pun makin disukai sebagai “bumbu” dalam percapakan sehari-hari. Mungkin menarik untuk mengukur, mana yang lebih sering dikunjungi mahasiswa Muslim sekarang, perpustakaan atau musholla/masjid kampus?

Sebagai mahasiswa kampus ‘sekuler’ yang tertarik agama, banyak di antara mereka yang juga belajar agama kepada para ahli ‘ilmu sekuler’ yang menekuni agama, ketimbang kepada para pakar agama yang bidang keahliannya memang kajian agama. Tidak terlalu banyak para pakar agama dari UIN, misalnya, yang dijadikan rujukan oleh para mahasiswa kampus sekuler yang belajar agama itu. Sebaliknya, tidak sedikit para pakar dari UIN yang justru membuat mereka alergi ketika bicara soal agama. Gelombang frekuensinya berbeda.

Baca juga:  Apa yang Dikisahkan Soekarno tentang Masjid Indonesia?

Kalau minatnya memang agama, kenapa tidak belajar jurusan agama di UIN atau pesantren sekalian yang jelas-jelas mengajarkan disiplin kajian agama? Kenapa bisa begitu? Selain apakah benar itu merupakan peningkatan derajat religiusitas yang merupakan urusan pribadi masing-masing pelakunya, salah satu penjelasan sosiologisnya kira-kira begini.

Kecuali baru belakangan ini, tidak banyak UIN (dulu IAIN) dan pesantren yang menyediakan keahlian kredibel dalam ‘ilmu sekuler’ yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Padahal, ada anggapan umum, bahwa tidak terlalu luas peluang kerja bagi orang-orang yang hanya punya keahlian/ketrampilan agama dengan ijazah dari lembaga agama, apalagi jika kemampuanya hanya rata-rata. Jadi, melulu belajar agama memang bukan pilihan menarik bagi banyak orang. Tidak marketable. Sebaliknya, melulu belajar ilmu sekuler juga dianggap bukan pilihan yang bijaksana. Kenapa?

Setelah lulus, sebagian besar mahasiswa itu tentu mau bekerja. Untuk bekerja di Indonesia, selain kompetensi–atau bahkan lebih penting dari itu–adalah relasi. Di tengah arus deras gelombang “reislamisasi” sejak 1990an itu, salah satu jejaring yang makin membesar ruang lingkup dan pengaruhnya adalah jejaring Islam. Kalau punya network pengajian, dengan kompetensi yang pas-pasan, bahkan tidak lulus pun masih tetap ada kemungkinan bisa mengakses lowongan pekerjaan. Lebih-lebih jika kompetensinya memadai.

Baca juga:  Isu PKI dan Rekonsiliasi Kultural ala NU

Sebaliknya, meski punya kompetensi, apalagi kalau kompetensinya rendah, jika tidak ada jaringan (Islam), kesulitan dalam mengakses pekerjaan bisa lebih besar. Maka forum pengajian dan kegiatan Islam menjadi arena untuk mendapatkan “soft skill” yang bermanfaat bagi persiapan masa depan, untuk menaiki tangga sosial. Silakan dicatat, aktif pengajian atau kegiatan Islam ini bukan faktor penentu, tapi faktor yang membantu dalam soal pekerjaan kelak. Semakin aktif dan semakin luas, semakin tinggi nilai dukungnya.

Maka belajar ilmu sekulär penting sebagai bekal dasar, sedang kesibukan dan aktifitas agama penting sebagai faktor pendukung. Lalu, apakah sikap mendua alias setengah-setengah itu–maunya belajar ilmu sekuler malah sibuk ngurus agama, tapi kalau disuruh melulu belajar agama juga nggak mau–yang membuat prestasi akademik rata-rata mahasiswa kita memble? Mungkin.

Yang menarik, seolah-olah sebagai kebalikan, banyak orang di kampus-kampus agama yang berlatar belakang pesantren dan sedang mempelajari kajian-kajian agama (Islam) seperti UIN justru tampak semakin tertarik pada hal-hal yang ‘sekuler’. Kalau di kampus umum para tokoh Arab, buku terjemahan dari bahasa Arab, istilah bahasa Arab dan para pembicara dari negara Arab tampak makin luas mewarnai kegiatan para mahasiswa, di kampus seperti UIN bahasa Inggris, rujukan, istilah, para pakar dan pembicara Barat justru tampak makin ramai dan akrab.

Baca juga:  Yazd, Kota dengan 2 Agama Berdampingan: Islam dan Zoroaster

Kenapa? Minat dan kesibukan kegiatan agama di kampus-kampus umum yang berorientasi pengamalan telah membawa mereka lebih dekat ke dunia Arab, sementara kesibukan dan orientasi keilmuan di kampus seperti UIN telah membawa mereka lebih dekat ke dunia Barat. Di UIN seminar ilmiah tentang Islam lebih disukai. Pembicara Barat sering dianggap punya nilai plus. Sementara di kampus umum acara keagamaan dalam bentuk tabligh akbar makin populer, pembicara Arab atau yang kearab-araban cenderung dilihat sebagai nilai plus.

Tentu, di UIN pergaulan dengan dunia Arab juga terus berlangsung, malah dengan intensitas yang lebih tinggi daripada yang terjadi di kampus sekuler. Begitu juga di kampus-kampus sekuler, pergaulan dengan dunia Barat tidaklah menurun, mungkin juga lebih intensif ketimbang di kampus seperti UIN. Tapi jelas, ada peningkatan mencolok dalam hal kehadiaran ‘dunia Arab’ di kampus sekuler di satu sisi dan ‘dunia Barat’ di kampus agama di sisi yang lain.

Apakah ini artinya kampus agama kini makin sekuler, sedang kampus sekuler main religius?

Jawabannya sangat tergantung pada apa yang sampeyan maksud dengan religiusitas.

Selamat berhari Minggu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top