Ini otokritik. Kebanyakan universitas kita masih disibukkan oleh urusan akreditasi dan kejar target peringkat, alias ranking. Sebagai konsekuensinya, dosen pun jadi sibuk dengan urusan administrasi dan kejar setoran kredit demi kenaikan pangkat. Karena banyak energi dan waktu yang tercurah untuk itu, tak jarang pengajaran yang mestinya menjadi tanggung jawab utama para dosen justru dilakukan secara kedodoran, dengan kualitas yang jauh dari memuaskan.
Para mahasiswa tak terlayani sebagaimana mestinya. Meskipun secara formal mungkin peringkat suatu perguruan tinggi naik, tapi mutu pendidikan di lembaga pendidikan itu justru bisa sebaliknya, merosot. Fenomena serupa juga kita lihat pada lembaga pendidika di jenjang yang lebih rendah, dari SD hingga SMA.
Untuk kasus perguruan tinggi, demi memenuhi persyaratan administratif itu pula, ketika punya publikasi tulisan di jurnal (yang adalah syarat kenaikan pangkat) tak sedikit dosen yang tega meminta-minta orang lain membuat “sitasi” dengan merujuk ke tulisannya. Kenapa?
Tulisan yang berkualitas adalah tulisan yang punya impact dan itu ditunjukkan oleh frekuensi sitasi. Jadi, yang penting adalah banyak sitasi, entah bagaimana caranya. Tak penting tulisan orang lain itu tentang apa dan apa relevansinya. Yang penting, tulisannya tampak banyak dikutip orang, meski cuma rekayasa, artifisial dan tak nyambung sama sekali. Muncullah “efek kobra” dimana-mana.
Efek kobra adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan munculnya fenomena rekayasa yang tampak begitu merebak di permukaan karena adanya insentif menarik tapi sesungguhnya ia tak benar-benar mewakili atau bahkan bertentangan dengan kenyataan. Sebagai cara untuk memberantas ular kobra di sekitar Delhi, dulu pemerintah kolonial Inggris mengambil inisiatif untuk memberi hadiah uang bagi setiap bangkai ular kobra yang diserahkan kepada mereka. Asumsinya, semakin banyak orang menangkap dan menyerahkan bangkai ular kobra, binatang berbisa itu bisa diberantas secara efektif.
Maka orang-orang India pun dengan gembira menyambut kebijakan itu. Setiap hari, orang berbondong-bondong menyerahkan bangkai ular kobra untuk mendapatkan hadiah uang. Setelah sekian lama, ternyata populasi ular kobra tak kunjung menyusut. Selidik punya selidik, rupanya orang-orang India justru beternak ular kobra demi mendapatkan hadiah. Akhirnya kebijakan itu pun dihentikan. Tapi apa akibatnya? Para peternak ular itu segera melepas ular-ular yang dipeliharanya. Walhasil, akibat kebijakan yang tak tepat, populasi ular kini justru meningkat, berkebalikan dengan maksud kebijakan yang dibuat untuk memberantasnya.
Tanpa identifikasi problem kualitas pendidikan tinggi yang memadai, bukan tidak mungkin rekayasa sitasi dan kewajiban publikasi jurnal yang sekarang ada–juga kebijakan yang serba formalistis lainnya–akan berdampak mirip fenomena ular kobra tadi. Setelah anggaran dikeluarkan dalam jumlah besar, fenomena permukaan memang tampak marak. Tapi semua itu adalah rekayasa dan superficial sementara problem yang sesungguhnya tak pernah teratasi, bahkan memburuk.
Orientasi kampus kita masih ke dalam, untuk membuktikan, atau paling jauh mendapat pengakuan formal hampir-hampir sebagai target, bahkan tujuan utama. Ya itu baik-baik saja. Mirip pelajar yang lagi gandrung ikut lomba ini dan itu untuk mendapatkan piala dan tepuk tangan.
Kampus-kampus kita rajin menjejer angka-angka sebagai bukti penghargaan macam-macam sebanyak-banyaknya sehingga muncul kesan wah, hebat, penuh aksesori, dekorasi dan karangan bunga. Tapi kontribusi dan terobosan nyata yang diperhitungkan dunia keilmuan masih jarang terdengar. Sementara kampus-kampus di negara maju yang dijadikan rujukan perankingan itu justru tak ambil pusing dengan ranking, karena mereka terutama sudah sibuk memikirkan bagaimana mendorong, menciptakan terobosan bahkan mengubah arah percakapan keilmuan untuk merambah wilayah-wilayah yang semula tak terpikirkan.
Dalam forum-forum internasional tak sedikit para akademisi kita yang terlihat aneh karena sibuk mencari-cari panitia demi mendapatkan selembar sertifikat sebagai bukti partisipasi. Sementara para akademisi dari berbagai kampus negara lain intens terlibat dalam perdebatan konseptual dan teoretis mengenai isu mutakhir dalam bidang masing-masing, baik di dalam maupun di luar forum.
Semoga akhirnya universitas kita bisa melampaui situasi ini dengan lebih berpikir keluar dari dirinya: bagaimana berkontribusi secara lebih substansial bagi pendidikan yang benar-benar mencerdaskan anak bangsa, bagi ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Soal pengakuan dan tepuk tangan mestinya jadi implikasi saja, bukan target utama.
Banyak universitas kita yang bergerak mirip gasing. Waktu masih kecil di kampung, kami suka bermain gasing dari bambu yang dibuat berlubang pada bagian samping. Ketika gasing dimainkan dan ia berputar kencang, suara mendengung akan terdengar dari lubang itu. Semakin kencang gasing itu berputar, suara dengungnya semakin keras. Tak sedikit universitas kita yang seperti itu. Suaranya mendengung keras, tapi sesungguhnya ia hanya terus sibuk berputar makin kencang mengelilingi dirinya sendiri dan tak pernah bergerak ke mana-mana, alias jalan di tempat.