Abi S Nugroho
Penulis Kolom

Aktivis NU. Konsen pada kerja-kerja jaringan untuk inklusi sosial. Tinggal di Jakarta

Tan Joe Hok: Pahlawan Bangsa Sang Pembunuh Raksasa

Tan Joe Hok: Pahlawan Bangsa Sang Pembunuh Raksasa

Pada Senin pagi yang tenang, 2 Juni 2025 pukul 10.52 WIB, Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya. Pegiat Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Azmi Abu Bakar mengirim pesan singkat kepada penulis, bahwa di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, Tan Joe Hok, atau Hendra Kartanegara, menghembuskan napas terakhirnya di usia 87 tahun.

Tan Joe Hok mungkin tidak sefamiliar tokoh-tokoh politik atau seni, tapi bagi dunia olahraga, khususnya bulu tangkis, ia adalah legenda. Sang pahlawan olahraga. Seorang anak bangsa peranakan Tionghoa yang membuat jutaan mata dunia menoleh ke Indonesia, bukan karena senjata, bukan karena kekuasaan, tetapi karena raket dan keberanian.

Tan Joe Hok lahir di Bandung, 11 Agustus 1937, di tengah suasana politik yang tak menentu. Ia tumbuh sebagai bagian dari komunitas Tionghoa-Indonesia, yang dalam banyak fase sejarah bangsa ini, harus menghadapi stereotip, stigma, diskriminasi, dan tantangan identitas. Tapi Tan memilih jalannya sendiri. Dengan senyap dan kerja keras, ia menyalurkan patriotismenya bukan melalui orasi di panggung politik, melainkan melalui lapangan bulu tangkis.

Perjalanan dimulai saat membawa Indonesia pertama kalinya ke panggung dunia melalui dunia olahraga. Ajang Thomas Cup 1958 di Singapura adalah saksi sepak terjangnya. Kala itu, Tan dan kawan-kawannya berangkat dari tanah air dengan segala keterbatasan. Mereka mengenakan kaos oblong bermerek “777”, disablon gambar Garuda di dada. Tanpa sponsor, tanpa fasilitas mewah, tanpa publikasi dan sorot kamera. Tapi dengan semangat, nyala jiwa nasionalisme, dan tekad mengharumkan bangsa.

Baca juga:  Memahami Pernyataan Gus Menag Melalui Kacamata Ilmu Mantiq

Dalam pertandingan yang menentukan itu, ia menghadapi Finn Kobbero, pemain Denmark yang saat itu dijuluki raksasa dunia bulu tangkis. Set pertama, Tan kalah telak 1-15. Set kedua pun ia tertinggal jauh 2-9. Namun dengan semangat pantang menyerah, Tan membalikkan keadaan dan memenangkan dua set berikutnya 15-12 dan 15-10. Kemenangan itulah yang kemudian membuatnya dijuluki sebagai “The Giant Killer”, si pembunuh raksasa.

Kemenangan Tan bukan hanya milik dirinya, tapi milik seluruh bangsa. Indonesia mengalahkan Malaya (sekarang Malaysia) dengan skor 6-3 di final Thomas Cup, menandai kemenangan besar pertama Indonesia di panggung olahraga internasional. Tan tidak hanya bermain di nomor tunggal, tetapi juga ganda, membuktikan dirinya sebagai pemain serba bisa.

Tahun berikutnya, 1959, Tan mencetak sejarah sebagai putra Indonesia pertama yang menjuarai All England, salah satu turnamen bulu tangkis paling bergengsi di dunia. Di partai final, ia mengalahkan rekan senegaranya Ferry Sonneville. Kejadian ini seolah menjadi pernyataan bahwa Indonesia benar-benar telah hadir sebagai kekuatan baru di dunia olahraga.

Tan kembali mengulang prestasinya bersama tim Indonesia pada Thomas Cup 1961 dan 1964, mencatatkan karier gemilang sebagai tunggal andalan dengan nyaris tanpa cela. Tidak hanya itu, pada Asian Games 1962 di Jakarta, ia menyumbangkan medali emas dan memperkuat identitas Indonesia sebagai negara besar dalam bulu tangkis. Kerja kerasnya mengubah jalan takdir.

Namun kisah kepahlawanan Tan tidak hanya berhenti di lapangan. Saat ia melanjutkan studi di Amerika Serikat pada awal 1960-an, ia menerima beasiswa dari pemerintah Indonesia senilai USD 1000 per bulan, angka yang saat itu setara dengan setengah harga mobil mewah Chevrolet Impala. Tapi Tan mengembalikannya. Ia merasa cukup. Ia mengatakan ada orang lain yang lebih membutuhkan. Sebuah keputusan langka yang mencerminkan nilai luhur: integritas, kesederhanaan, dan tanggung jawab sosial.

Baca juga:  Kala Buya Syafii Maarif Menulis tentang Ajip Rosidi

Tan juga menjadi pelatih tim nasional, dan pada tahun 1984, ia kembali mengharumkan nama bangsa dengan mengantarkan Indonesia merebut kembali Piala Thomas. Sebuah siklus kepahlawanan yang utuh, dari pemain, juara, hingga pelatih pemenang.

Azmi Abu Bakar putera kelahiran Aceh yang giat dengan budaya Tionghoa ini menjelaskan, tak banyak yang tahu bahwa dalam perjalanannya, Tan konsisten menyuarakan pentingnya persatuan dan nasionalisme. Dalam kunjungannya ke Museum Pustaka Peranakan Tionghoa bersama legenda lainnya Haryanto Arbi, Tan menyampaikan keprihatinan tentang kondisi bangsa yang mulai terkotak-kotak. Ia hanya berharap agar semangat kebangsaan seperti di masa mudanya bisa kembali menyala di kalangan anak muda.

Azmi menambahkan pesannya, “Kekuatan itu bukan pada materi,” kata Tan, “tapi pada hati, semangat, budi pekerti dan rasa bangga sebagai bangsa Indonesia.”

Tan Joe Hok adalah bagian dari generasi emas yang mengubah arah sejarah Indonesia dari lapangan olahraga. Di tengah keterbatasan, ia membuktikan bahwa nasionalisme tak harus dengan teriakan, tapi hadir lewat dedikasi, kerja keras, dan integritas. Ia adalah simbol keberanian melampaui batas identitas etnis dan agama.

Kepergian Tan bukan hanya duka untuk dunia olahraga, tetapi kehilangan bagi bangsa ini. Ia adalah satu dari “Tujuh Pendekar Bulu Tangkis Indonesia” yang berjasa membawa bulu tangkis menjadi identitas nasional. Ia membuktikan bahwa kehebatan tidak membutuhkan kemewahan, bahwa keberanian tidak tergantung pada dukungan media, dan bahwa cinta pada bangsa tidak perlu diumbar.

Baca juga:  122 Tahun Tebuireng dan Gus Dur (2): Mendirikan Perpustakaan

Sejak kabar kepergiannya diumumkan oleh mantan pebulutangkis nasional Yuni Kartika dan dikonfirmasi oleh PBSI, ungkapan duka mengalir dari berbagai penjuru. “Selamat jalan Om Joe Hok,” tulis Yuni. “Warisanmu untuk bulutangkis akan abadi,” ujar PBSI.

Ya, warisan Tan Joe Hok adalah keberanian. Adalah integritas. Adalah kebangsaan. Dan tentu saja, adalah inspirasi. Inspirasi bagi anak muda Indonesia yang mencintai tanah air bukan hanya dengan kata-kata, tapi dengan tindakan.

Maka pada hari ini, ketika kita menundukkan kepala mengenang Tan Joe Hok, kita tidak hanya kehilangan seorang atlet. Kita kehilangan bagian dari jiwa bangsa. Kita kehilangan cermin yang jernih dari cita-cita Indonesia yakni mengabdi dengan berprestasi, rendah hati, dan bersatu.

Selamat jalan, Tan Joe Hok. Jasamu abadi dalam lembar sejarah yang dicatat dengan tinta emas. Namamu akan terus bergema dalam setiap langkah para pebulutangkis muda yang menjadikan raket sebagai senjata perjuangan bangsa. Dan dalam setiap jiwa Indonesia yang tetap percaya bahwa semangat, keberanian, dan kesederhanaan adalah jalan menuju kejayaan.

Rest in peace, Sang Pembunuh Raksasa. Terima kasih atas segalanya.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top