Zaman dulu ketika orang tua hendak mengirim putra dan putrinya ke pesantren, pertanyaan yang sering muncul adalah, “kitab apa yang diajarkan di pesantren? Kiainya alumni pesantren mana? sanad keilmuannya menyambung ke kiai siapa dan seterusnya?
Namun sekarang ini, pertanyaan orang tua berbeda. Dari mereka banyak bertanya, Apakah di kamar pesantren ada AC-nya? Bagaimana tempat tidurnya (di kasur atau lesehan)? bagaimana makanannya (bergizi atau tidak)? Mencuci seperti apa? Boleh pulang gak seminggu sekali?
Banyak yang bisa kita tafsiri dari pergeseran pertanyaan-pertanyaan calon wali santri hari ini, zaman now. Salah satu tafsir yang berat dan serius, adalah ada pergeseran makna dan tujuan orang tua mengirim anaknya ke pesntren, kalau orang tua zaman dulu memondokkan anaknya untuk mencari ilmu sekaligus mencari berkah ilmu dan para pemilik ilmu, namun orang tua zaman sekarang hanya bertujuan mencari ilmu saja, kalau orang tua zaman dulu sadar bahwa mondok harus disertai dengan ber-riyadhah (tirakat) dengan berpuasa, qiyamullail dst.
Namun orang tua zaman now lebih mementingkan kenyamanan dalam memondokkan anaknya dan mengesampingkan hal-hal seperi riyadloh. Kalau orang zaman dulu memondokkan anaknya dengan menyerahkan jiwa raga anaknya kepada kiai bahkan sering berkata “kalau melanggar aturan mohon diberi takzir (semacam hukuman atau sangsi), namun orang tua zaman now berbeda dan bahkan tidak rela kalau anaknya diberikan takzir.
Fenomena-fenomena tersebut di atas bagaikan fenomena gunung es, masih banyak fenomena-fenomena lainnya yang tidak terlihat.
Selanjutnya, saya akan mengulas sekilat tentang keilmuan di era digital. Ada tulisan menarik dari Mas Pradana Boy (dosen UMM) tentang “kepakaran di era media sosial” Jawa Pos (19/2/18). Dia bercerita tentang kegelisahan yang sama masalah kepakaran di era media sosial, dengan adanya internet banyak orang yang sudah tidak tertarik dengan hal-hal yang bersifat “proses”, orang sekarang lebih suka dengan sesuatu yang cepat (instan).
Mas Pradana membuka tulisannya dengan mengutip bukunya Nichols yang berjudul “The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why It Matters” Nichols memaparkan apa yang sedang terjadi di Amerika Serikat menyangkut informasi dan pengetahuan.
Menurut dia, hidup di era informasi seperti sekarang ini banyak melahirkan apa yang dia sebut ignorance atau kedunguan di kalangan publik di AS. Nichols (2017: ix-x) menulis:
’’… Amerika Serikat sekarang ini adalah sebuah negara yang terobsesi dengan kedunguan (ignorance)-nya sendiri… Masalahnya bukan pada kenyataan bahwa orang tidak memahami geografi… Masalah yang lebih besar adalah kita bangga karena tidak mengetahui banyak hal.’’
Kegelisahan tersebut ternyata tidak hanya terjadi di negara kita Indonesia saja tapi juga di Amerika, kemungkinan juga terjadi di belahan dunia yang lain, Nichols juga mengungkapkan,
’’… dengan kematian para pakar, saya tidak mengatakan bahwa kemampuan kepakaran benar-benar telah musnah…’’ Jika kepakaran telah hilang maka secara praktis dokter, pengacara, insinyur, akademisi tidak akan ada lagi, di era digital ini segala sesuatu bisa dipelajari melalui internet, lama kelamaan para pakar tidak dibutuhkan lagi, kalau keadaan ini terjadi, maka proses akademik yang sudah berlangsung beberapa abad akan luntur, jika ini terjadi maka kita teringat dengan sebuah hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori “jika suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya maka tunggulah kehancurannya (HR. Bukhori).
Generasi milenial banyak belajar agama melalui internet yang mengesampingkan kepakaran dalam bidang agama. Mereka secara otodidak berguru melalui Google, melalui video di Youtube dst, mereka lupa belajar agama seperti santri yang secara langsung bertatap muka (muwajjahah) dengan kiai, belajar dengan kiai yang mempunyai sanad keilmuan tersambung (muttasil) sampai ke pengarang kitab dan sampai ke Rasulullah SAW.
Kita beruntung menjadi seorang santri pondok pesantren yang sangat menghargai “proses” menghargai kepakaran, mempelajari sebuah ilmu di pesantren itu melalui proses yang panjang bermula dari mempelajari ilmu yang paling dasar (ushuli) kemudian sampai mempelajari ilmu cabang (furu’i), belajar dari yang umum (am) kemudian baru yang khusus (khos), menurut Ulil Abshar Abdalla menganalogikan ilmu pesantren dan ilmu non-pesantren itu seperti “bawang” dan “pisau” maksudnya “ilmu” yang dipelajari di pesantren itu bagaikan “bawang” ilmu dipandang sebagai “ilmu” bukan sebagai “metode” atau alat.
Karena ilmu itu bawang maka derajad ilmu seseorang tergantung pada seberapa banyak bawang yang dia punya. Lalu seberapa lihai dia memasak bawang untuk membuat makanan yang lezat. Ilmu di pesantren adalah subtansi, yang berkaitan dengan kitab suci Alquran dan Hadis yang sangat sakral termasuk ilmu-ilmu alat (nahwu, sharaf, balaghah dst). Tidak berlebihan jika empunya ilmu, sang guru, juga sakral. Kenapa?
karena beliau memegang teguh ‘adalah dan muru’ah (moral probity), hati-hati dalam bersikap dan menjaga kehormatan peribadinya dan ilmu yang dimilikinya, sebagai seorang murid kita harus hormat kepada para empunya ilmu (guru, kiai dst). Di dalam kitab Ta’limul Mutaalim diterangkan tentang etika dan etiket menghargai ilmu dan empunya, seperti suci ketika memegang kitab, menghadap kiblat ketika mengaji, dan mengirimkan alfatihah kepada pengarang kitab ketika mau mengaji dst.
Ini berbeda dengan pisau, pisau adalah alat yang netral sehingga memerlukan jarak agar alat bisa objektif dalam melakukan analisa, dan orang yang mempelajari ilmuan modern tidak mendapatkan tuntutan dan tidak terikat dengan ‘adalah dan muru’ah dia bebas berkehendak menurut dia sendiri karena keilmuannya tidak mensyaratkan itu.
Di pesantren kita belajar tentang bagaimana tata cara menghargai seorang guru, kiai, nyai dan keluarganya. Mengapa?
Karena di pesantren selain mengenal istilah “ilmu manfaat” kita juga mengenal istilah “ilmu barokah”. Barokah tidak akan bisa didapatkan tanpa adanya penghormatan kepada ahli ilmu. di pesantren para kiai tidak hanya mengajarkan ilmu melalui transfer of knowledge melalui pengajaran sorogan, bandongan, musyawarah, rihlah ilmiah dst tetapi juga para kiai mengajari tentang akhlak dengan menjadi teladan dan role model keilmuan, bahkan para kiai juga mendoakan para santri-santrinya kelak menjadi orang yang bermanfaat dan barokah di dunia dan akhirat. Inilah karakteristik santri yang “mahal” yang dimiliki oleh seorang santri karena tidak hanya terikat secara dhohiriyah (luar) saja tetapi terikat secara bathiniyah (dalam) juga, tidak hanya raganya tetapi juga jiwanya.