Dalam pemilihan presiden yang berlangsung selama sepuluh tahun terakhir, banyak orang yang melupakan satu adab penting dalam menjalani politik elektoral. Orang-orang bukannya tak tahu tentang hal itu. Hanyasaja, banyak orang yang mabuk elektoral sehingga tak sanggup menjaga akhlak yang melandasi adab tersebut. Mari kita bahas.
Berpemilu (khususnya berpilpres) membawa beberapa tokoh tertentu ke posisi yang kompleks. Jika Anda ingin menjadi warga yang aktif dan bermanfaat dalam proses berpemilu itu, jangan lupa perhatikan kompleksitas itu baik-baik, agar tak salah bertindak, apalagi menyebarkan kebencian bahkan ancaman pada kandidat politisi. Sama saja, apakah kebencian itu berdasar ataukah kebencian itu tanpa dasar. Kebencian sebaiknya jangan diperturutkan.
Izinkan saya menjadikan Jokowi dan Prabowo sebagai contoh-contoh kasus untuk memudahkan Anda menghayati uraian ini. Ingat loh ya, Jokowi dan Prabowo cuma studi kasus. Yang lebih penting dari kasus adalah essensinya.
Kedua nama itu menarik untuk dijadikan contoh kasus, sebab politik elektoral Indonesia sejak tahun 2014 sangat ditentukan oleh rivalitas antara keduanya. Perbincangan warga seringkali didominasi oleh tema mencintai atau membenci kedua politisi.
Kalau sekadar dukungan yang proporsional pada kedua politisi, tentu tidak akan menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah kebencian dan dukungan yang melampaui proporsionalitas. Tak sedikit orang yang terjebak dalam hal itu. Ulama, akademisi, seniman, pensiunan (tentara atau sipil), akitivis, banyak yang tidak bisa menghindar dari jebakan ini.
Mari kita lihat Prabowo terlebih dahulu. Pertanyaannya sederhana: bolehkah kita membencinya karena latar belakang dia dan ambisi politik dia untuk menjadi presiden? Soal kebencian, itu urusan pribadi setiap orang. Tapi mengekspresikan kebencian dalam hinaan kepada Prabowo, seharusnya tak boleh dilakukan.
Mengapa? Ketika Prabowo mencalonkan diri sebagai calon presiden, dia sedang menggunakan hak konstitusional sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih.
Posisi kita pada orang yang sedang mengajukan diri untuk dipilih sebenarnya sangat powerful, sebab kitalah yang punya hak untuk memilih. Jadi kalau kita suka pada Prabowo, pilih dia. Tak suka? Jangan pilih dia.
Mengekspresikan kebencian padanya sama sekali tak memberi kontribusi apa pun pada demokrasi. Malah mungkin bisa membuat demokrasi tidak sehat, seperti yang telah kita lakukan dengan mencipta polarisasi politik karena kebencian.
Andai saja Prabowo memenangkan pemilihan presiden kemarin ini, maka dia akan menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, setidaknya lima tahun sejak dia terpilih. Jika kita membiasakan diri untuk mengumbar kebencian pada seorang politisi dalam masa kandidasi, maka kita akan terbiasa mencari sisi buruknya secara pribadi sepanjang dia menjalankan amanah demokrasi.
Lihat saja pemerintahan Jokowi sebagai presiden RI dan Anies Baswedan sebagai gubernur DKI. Hingga saat artikel ini ditulis, banyak orang yang sebenarnya meneruskan kebiasaan membenci kedua politisi, yang sudah dipelajari sejak era pra-elektoral.
Sekarang mari kita lihat Jokowi. Dalam pemilu 2019 dia adalah salah satu kandidat presiden. Tapi dia juga sekaligus adalah petahana, seorang presiden Indonesia yang sedang menjabat.
Semua argumen tentang Prabowo di atas juga berlaku untuk Jokowi sebagai kandidat. Silakan saja kalau Anda mau membenci Jokowi, tapi jangan biasakan melakukan ekspresi publik yang terbuka tentang kebencian padanya. Jika kita membiasakan diri untuk mengumbar kebencian pada seorang politisi dalam masa kandidasi, maka kita akan terbiasa mencari sisi buruknya secara pribadi sepanjang dia menjalankan amanah demokrasi.
Sebagai presiden petahana, Jokowi menyandang dua posisi penting dalam dirinya, yakni kepala negara dan kepala pemerintahan. Itu adalah konsekuensi dari sistem presidensiil yang diterapkan di Indonesia. Kedua posisi itu berbeda tapi tak terpisahkan. Banyak orang yang gagal membedakan keduanya.
Sebagai kepala pemerintahan, Jokowi adalah pelaksana pemerintahan sehari-hari, yang memperoleh mandat langsung dari rakyat. Kekuasaannya diimbangi oleh lembaga perwakilan, yang juga memperoleh mandat langsung dari rakyat. Inilah yang disebut sebagai checks and balances dalam sistem presidensiil.
Dalam sistem ini tak ada oposisi parlementer. Lebaga perwakilan adalah satu entitas utuh yang bertugas untuk memastikan adanya keseimbangan dalam setiap langkah yang dilakukan oleh kepala pemerintahan dan jajarannya.
Kewajiban rakyat dalam demokrasi adalah turut mengawasi kepala pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya. Demokrasi memerlukan kritisisme rakyat pada kepala pemerintahan agar penyelenggaraan negara berjalan dengan baik.
Jadi intinya: sebagai kepala pemerintahan, Jokowi harus diawasi dan dikritisi terus menerus. Tak usah dibela mati-matian.
Jika Anda memilih Jokowi dalam pilpres, maka tak perlu Anda sewot jika ada orang yang mengkritisi pemerintahannya. Justru kalau Anda diam, bersikap tak kritis pada pemerintahan hanya karena yang sedang berkuasa adalah idola Anda, maka Anda pada essensinya tak cukup berguna bagi demokrasi.
Itu jika Jokowi kita dudukkan sebagai kepala pemerintahan. Tapi jika kita lihat Jokowi sebagai seorang kepala negara, lain lagi urusan. Sebagai kepala negara, seorang presiden adalah salah satu simbol negara.
Kewajiban rakyat kepada simbol negara itu adalah penghormatan. Seberapa pun salahnya kebijakan yang dia buat, dia tetap harus dihormati oleh seluruh warga negara. Menghina kepala negara adalah menghina negara.
Memang tampaknya tidak mudah: Sebagai kepala pemerintahan dia harus kita awasi dan kritisi, tapi sebagai kepala negara dia harus dihormati. Dibutuhkan warga negara dengan kecerdasan memadai untuk menghayati perbedaan ini. Sekali kita bisa menghayatinya, kita akan mudah menjaga akhlak mulia dalam berpemilu.
Sementara ini, kalau belum mampu kita menghayati uraian di atas, ya sudah kita kembali kepada kaidah dasar dalam berakhlak: hormatilah semua manusia tanpa pandang bulu.
Hal segampang itu kok ya masih banyak yang kepleset. Jangan-jangan, puasa kita hanya basa-basi saja?