Sedang Membaca
Manusia Pertama di Bumi
Abdul Gaffar Karim
Penulis Kolom

Dr. Abdul Gaffar Karim. Dosen FISIPOL UGM dengan minat riset utama tentang politik dan agama. Lahir di kota santri Sumenep, Madura, menyelesaikan pendidikan di Indonesia dan Australia.

Manusia Pertama di Bumi

Whatsapp Image 2020 03 29 At 4.11.13 Pm

Di tengah suasana darurat Covid-19, saya membuat sebuah polling di Instagram Story. Polling itu saya buat karena selama dua hari belakangan ini, anak bungsu saya, Nida Khafiyya, kerap membahas tentang “the first person on earth (manusia pertama di bumi).” Suatu ketika dia bertanya pada saya: “how was the first person on earth born (bagaimana manusia pertama di bumi itu dilahirkan)?”

Saya tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia saya ajak untuk membahasnya di hari lain. Tapi segera setelah dia mengajukan pertanyaan itu, saya membuat polling di IG.

Begini isi polling tersebut: “Ketika Nida bertanya ‘how was the first person on earth born?’ perspektif apa yang sebaiknya saya gunakan untuk memberikan jawaban terbaik? (1) Teologis; (2) Saintifik.

Saya biarkan polling itu selama 24 jam. Dan inilah hasilnya. 56% teman menyarankan saya menggunakan perspektif teologis, sementara 44% sisanya menyarankan perspektif saintifik.

Lumayan, kemenangan perspektif teologis terhadap perspektif saintifik cukup tebal, lebih tebal daripada kemenangan Jokowi terhadap Prabowo di Pilpres 2019.

Jadi saya coba mematuhi hasil polling itu. Saya putuskan untuk menggunakan perspektif kombinasi, dengan proporsi perspektif teologis lebih besar sedikit ketimbang perspektif saintifik.

Tapi itu baru perspektifnya. Bagaimana metodenya? Saya tidak perlu polling. Saya punya metode yang selalu efektif untuk digunakan mendidik generasi zaman now.

Saya pakai metode Socrates, yakni mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk (1) memicu murid berpikir, dan (2) menggiring murid pada pemahaman tentang apa yang sebenarnya dia belum ketahui.

Pertanyaan si Nida jelas tidak akan langsung saya jawab dengan mengutip ayat. Saya ajak dulu dia berpikir. Jawaban saya pada dia tentang manusia pertama itu justru adalah pertanyaan: “how would we know about that (gimana cara kita tahu tentang hal itu)?”

Baca juga:  Puisi Terbaru D. Zawawi Imron: Virus Corona dan Belalang

Maybe the history can tell us (mungkin sejarah bisa bercerita pada kita).”

Even if the history can tell us, it would be theoretical (kalaupun sejarah bisa bercerita, itu pun sifatnya teoritis).” Duh keprucut agak terlalu tinggi nih buat anak SD kelas 1.

What is theoretical (teoritis itu apa)?” Nida bertanya.

Theoretical means it’s only true in our thinking. We did not have the actual proof. (Teoritis berarti hal itu hanya benar dalam pikiran kita. Kita tidak punya bukti yang sebenarnya)”

Why (mengapa)?”

Because nobody really witnessed how the first person on earth was born (sebab tidak ada yang benar-benar menyaksikan bagaimana manusia pertama itu dilahirkan).” Saya jelaskan dengan hati-hati.

Oh yeah… that’s right (oh iya, betul juga).”

So, what do you think (jadi bagaimana menurutmu)?” Saya memancing pikirannya.

Maybe there was the first boy, and there was the first girl (mungkin dulu ada anak laki yang pertama, dan ada anak perempuan yang pertama).” Dia pakai istilah boy dan girl, bukan man and woman. “They got married, and had the first child. That’s how the first person on earth was born. (Mereka menikah, lalu punya anak pertama. Begitulah cara manusia pertama di bumi dilahirkan.)”

(Eh ini selanjutnya langsung saya tulis dialognya dalam bahasa Indonesia saja ya. Ribet kalau pakai dua bahasa. Semoga tidak ada hal yang lost in translation.)

“Jadi boy dan girl itu anaknya siapa?” Saya bertanya lagi.

Nida berpikir sebentar, lalu menjawab: “Mungkin Tuhan yang menciptakan mereka berdua. Secara langsung…”

Kalimat terakhirnya rada menggantung. Tapi imajinasi dia jelas sudah sangat Ibrahimiyah. Saya tidak tahu apakah itu hasil ngaji sejak kecil, atau murni hasil pikirannya sendiri. Kalau itu murni hasil pikirannya sendiri, berarti imajinasi dia sudah selevel pikiran siapapun yang memulai mitologi Adam dan Hawa itu.

Baca juga:  Ijtihad, Taklid, dan Paradoks dalam Beragama

“OK,” jawab saya. “Jadi begitu kira-kira cara manusia pertama dilahirkan?”

“Iya tapi kata Bapak tadi kan semua teoritis.”

“Iyak.”

Dia berlalu. Tapi wajahnya jelas nampak tidak puas.

Dan benar saja. Saya sedang bersiap-siap mau mandi, ketika dia menyusul ke kamar dan kembali mengajukan pertanyaan tentang manusia pertama itu.

“Bapak, katanya Bapak dulu pernah ke museum yang ada ibu pertama?”

“Oh iya.”

“Di mana itu. Di Amerika ya?”

“Iya di Detroit namanya.”

“Itu ibu kita yang pertama beneran ya?”

“Secara teoritis begitu. Yes, theoretically speaking.”

Saya memang pernah bercerita padanya, bahwa suatu ketika pernah mampir ke sebuah museum di Detroit, Michigan, yang bernama The Charles H. Wright Museum of African American History. Museum itu menyajikan sejarah keturunan Afrika di Amerika, sejak jaman perbudakan hingga masa kini. Di museum itu kita bisa merasakan suasana kapal budak yang mengangkut orang-orang dari Afrika ke Amerika di awal abad ke-17.

Tak hanya tentang perbudakan, museum itu juga bercerita tentang kultur di Afrika. Dan yang paling membuat saya kagum, museum itu juga menyajikan sejarah nenek-moyang manusia berbasis teori Out of Africa, yakni teori yang mengatakan bahwa sejarah homo sapiens dimulai di Afrika, dan menyebar ke seluruh dunia selama masa yang sangat panjang.

Museum itu juga menyajikan dengan sangat menarik dan mudah dipahami, tentang apa yang oleh ilmu pengetahuan disebut sebagai mithocondrial DNA, yakni DNA yang berada di mitokondria, dan diwariskan secara maternal (dari ibu, nenek, ibunya nenek, neneknya nenek dan seterusnya).

Baca juga:  Islam sebagai Ilmu dan Islam sebagai Laku

Di salah satu sudut museum itu, ada patung seorang wanita berkulit hitam, dengan struktur wajah yang agak berbeda dari wajah manusia sekarang. Patung itu berukuran penuh, sebesar manusia. Label di patung itu menyatakan bahwa dia adalah mithocondrial mother, ibu mithokondria kita. Dia, tentu secara teoritik, adalah ibunya para homo sapiens.

Hampir saja saya salim pada patung itu!

Saya tak ingin masuk ke pembahasan soal tafsir Al-Qur’an yang sama sekali bukan bidang saya. Tapi saat berada di depan mithocondrial mother itu, saya lalu bertanya-tanya tentang banyak hal, antara lain: jadi yang pertama kali diciptakan oleh Allah itu sebenarnya laki-laki atau perempuan?  Kalau Allah berkata “wa khalaqa minha zawjaha” tentang penciptaan manusia-manusia pertama, jangan-jangan yang Dia maksud memang secara harfiah adalah perempuan?

Saya akan berhenti di sini soal tafsir ayat. Tapi poin saya adalah: ilmu pengetahuan sejauh ini menunjukkan bahwa semua manusia berasal dari perempuan. Kita lebih mudah melacak nasab kita lewat jalur ibu ketimbang jalur bapak. Patrilinearisme adalah konstruksi sosial, sedang matrilinearisme adalah sunnatullah.

Semua pengalaman menimba pengetahuan di museum itu pernah saya ceritakan pada si Nida secara garis besar. Tadinya saya mengira, waktunya masih lama, minimal hingga saat dia SMP, untuk menceritakan konsep-konsep tadi secara populer, dan membagi keyakinan ilmiah saya bahwa manusia pertama dimulai dari perempuan, bukan dari laki-laki.

Tapi menyimak pertanyaan-pertanyaan dia selama masa work from home ini, nampaknya saya harus bersiap-siap untuk mengajaknya diskusi dan menjelajahi literatur-literatur yang mudah dipahami oleh anak seusianya, tentang siapa sebenarnya manusia pertama di bumi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
3
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top