Almasih mempunyai dua orang murid, mereka adalah Yohana dan Syam’un. Jika Yohana berada di dalam suatu majelis, ia sering tertawa sehingga membuat orang-orang di sekitarnya ikut tertawa. Sedangkan Syam’un jika berada di dalam suatu majelis, maka ia menangis sehingga membuat orang-orang di sekitarnya juga ikut menangis.
Suatu ketika Syam’un berkata kepada Yohana, “Engkau banyak sekali tertawa seakan-akan engkau telah selesai beramal.”
Sedangkan Yohana berkata kepadanya, “Engkau banyak sekali menangis, seakan-akan engkau sudah putus asa terhadap Tuhanmu.” Mengetahui tentang hal ini, maka Allah mewahyukan kepada al-Masih bahwa perilaku yang disenangi oleh Allah adalah perilaku Yohana.
Tertawa dapat diartikan sebagai ekspresi emosi yang unik, yang sering dialami seseorang yang sedang gembira, riang dan juga jenaka. Biasanya ketika mendengar hal-hal yang lucu, menyaksikan atau mengalami kejadian-kejadian yang mengasikkan.
Tertawa salah satu fitrah manusia, begitu juga dengan menangis. Islam tidak pernah melarang seseorang unutk tertawa asal masih dalam tahap yang wajar.
Beberapa pakar mengatakan bahwa tawa adalah gerak-gerak dalam akal yang akan menghilangkan banyak ketegangan. Oleh karena itu, menurut Aidh al-Qarni apabila seseorang ingin hidupnya terasa tenang, rileks dan berbahagia, hendaklah ia selalu penuh humor, sering tersenyum dan tertawa. Hal itu pada gilirannya akan dapat menciptakan nuansa kejernihan, kebersihan, menghilangkan kesedihan, rasa bosan serta kekhawatiran terhadap kehidupan ini akan hilang
Dalam beberapa riwayat mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw. senang bercanda. Beliau kadang tertawa di hadapan para sahabat. Dalam beberapa kesempatan Nabi saw pernah tertawa hingga gigi geraham beliau terlihat.
Namun, Nabi Muhammad saw. tidak pernah tertawa secara berlebihan atau dengan terbahak-bahak. Bahkan dalam sebuah hadis Nabi saw. bersabda ”hendaknya kalian tidak banyak tertawa karena hal itu akan mematikan hati.”(HR. Tirmihzi dan Ibnu Majah)
Selain itu, Nabi saw. juga melarang umatnya untuk menertawakan orang lain. Suatu ketika, Nabi saw. mendengar beberapa sahabatnya yang sedang duduk-duduk santai tertawa. Suara tawa mereka cukup keras sehingga Nabi menghampiri dan menegur sikap mereka.
Salah seorang dari mereka pun mencoba menjelaskan kepada Nabi tentang sikap mereka tersebut disebabkan karena melihat seorang pemuda gila yang berkelakuan aneh, sehingga mereka tertawa terbahak-bahak.
Dengan bijaksana, Nabi saw. bersabda bahwa sesungguhnya pemuda itu tidaklah gila, tetapi hanya mendapatkan cobaan dari Allah.
Beliau juga menjelaskan bahwa sesungguhnya orang yang sebenar-benarnya gila itu adalah orang yang berjalan di atas bumi dengan sombong dan tidak menyadarinya.
Dalam keseharian, sikap menertawakan orang lain tanpa disadari cukup sering kita lakukan, seakan-akan menjadi sebuah kebiasaan tersendiri. Kita sering menertawakan keluguan orang lain, menertawakan kelemahan serta kekurangan orang lain.
Biasanya sebagian orang yang berkecukupan suka menertawakan orang yang lebih rendah dari mereka karena cara berpakaian dan bersikapnya dianggap sangat norak, sebaliknya, sebagian orang yang hidupnya hanya apa adanya suka menertawakan sikap orang kaya yang senang bermewah-mewah, menghamburkan kekayaan. Begitu juga orang yang merasa pintar suka menertawakan kebodohan orang lain, sebaliknya orang yang bodoh suka menertawakan sikap orang pintar yang dianggap sering sok tau. Orang dari kota menertawakan orang desa, juga sebaliknya, dan seterusnya.
Sikap menertawakan orang lain memang sangatlah mudah dan bisa dilakukan kapan saja. Namun yang sering terabaikan dan mungkin sulit untuk dilakukan adalah menertawakan diri sendiri. Kita sering lupa menertawakan sikap kita yang suka mengejek orang lain, menghina, menyakiti orang lain, membuka dan menyebarkan aib orang lain, dan seterusnya. Padahal sikap menertawakan diri sendiri dapat menjadi cermin diri agar kedepannya kita dapat melakukan yang terbaik.
Konon, Umar ibn Khatab kadang suka menertawakan dirinya sendiri ketika mengingat masa lalunya yang ia anggap lucu. Betapa tidak, ia membuat patung dari roti untuk kemudian disembah, ketika dia merasa lapar, patung itu ia makan sendiri.