Diceritakan, seorang yang saleh diberi anugerah yang tak terhingga, yaitu sering bermimpi melihat Kanjeng Nabi Muhammad saw. dalam tidurnya. Namun, selang beberapa waktu, pertemuannya dengan Nabi saw. terhenti. Ia pun merasa sedih.
Tak lama kemudian, ia kembali dapat bermimpi dengan Nabi saw. Kesempatan bertemu Nabi dalam mimpi tersebut tidak disia-siakannya untuk menanyakan sebab yang menghalanginya bertemu dengan beliau beberapa saat yang lalu. Maka Nabi saw. menjawab, “Bagaimana engkau bisa bertemu denganku dalam mimpimu, sementara di tempatmu terdapat sebuah buku yang mencela kekasihku, yaitu Yusuf an-Nabhani?”
Maka setelah terbangun dari tidurnya, orang saleh itu pun mencari buku yang dimaksud oleh Nabi saw., ketika menemukannya, ia bakar buku tersebut. Dan setelah kejadian itu ia kembali mendapat anugerah dan kehormatan bisa bertemu Nabi saw. dalam tidurnya seperti biasa.
Cerita di atas dituturkan Ibrahim Athwah Audi dalam sebuah pengantarnya di salah satu buku an-Nabhani. Yusuf ibn Ismail an-Nabhani merupakan seorang syekh dalam Tarekat Syadziliyah, ia ulama yang alim lagi warak yang semasa hidupnya tak henti mencurahkan dan menyenandungkan rasa cinta dan pujian kepada Nabi Muhammad saw. Kisah di atas seolah menjadi bukti betapa perhatian Nabi kepada an-Nabhani sungguh luar biasa. Beliau seakan tidak ingin orang yang mencurahkan hidupnya untuk beliau dicaci dan dicela.
Syekh Yusuf an-Nabhani lahir pada 1265 H. Ia merupakan keturunan Bani Nabhan, salah satu suku Arab Badui di bagian utara Palestina, dan masuk otoritas hukum kota Haifa yang termasuk wilayah Akka, Beirut. An-Nabhani lahir dan tumbuh di pedalam tersebut.
Dia dididik langsung oleh sang ayah, Ismail ibn Yusuf, seorang yang alim. Setelah tumbuh dewasa dan telah mengkhatamkan hafalan Alqurannya, an-Nabhani melakukan perjalanan ke Mesir dan belajar di al-Azhar dari tahun 1283 H hingga tahun 1289 H. Setelah selesai dari al-Azhar ia mulai berkelana meninggalkan Mesir untuk ikut serta menyebarkan ilmu agama.
An-Nabhani sempat bekerja di Istana Pemerintah Utsmani. Kemudian ia kembali ke negeri Syam tahun 1296 H. Ia berganti-ganti pekerjaan dalam ruang lingkup pengadilan. Syekh Yusuf an-Nabhani meninggal pada tanggal dua puluh sembilan Ramadhan tahun 1350 H.
Dalam Dan Muhammad adalah Utusan Allah, Annemarie Schimmel mengungkapkan bahwa an-Nabhani telah menghabiskan usianya untuk menghimpun karya-karya persembahan kepada Nabi. Dia menerbitkan himpunan madah untuk Nabi saw. dalam sebuah karya setebal empat jilid, dan dia sendiri menyusun ribuan baris sajak pujian untuk Nabi Muhammad saw. Menurut Schimmel, Syekh Yusuf an-Nabhani merupakan penghimpun besar terakhir dala’il, syama’il, dan syair-syair untuk menghormati Nabi saw. yang ada pada awal abad ke 20 Masehi.
Orang yang mencintai kekasihnya, tentu akan selalu menyebutnya, membaca dan menuliskan segala hal yang berkenaan tentang dirinya. Pikirannya pun akan selalu didominasi oleh sang kekasih. Begitulah barangkali yang dialami oleh Syekh Yusuf an-Nabhani.
Kecintaan an-Nabhani kepada kanjeng Nabi saw. dapat dilihat dari kitab-kitab yang disusunnya. Dia menulis beberapa kitab yang cukup penting berkenaan tentang Nabi saw, dan sampai sekarang karya-karya tersebut masih digunakan dan dibaca. Di antaranya kitab Al-Anwar al-Muhammadiah Mukhtasar al-Mawahib al-Ladunniah yang merupakan ringkasan dari kitab Mawahib al-Ladunniah yang disusun Imam Al-Qasthalani, yang saat ini masih dipelajari di salah satu majlis taklim di Banjarmasin yang jamaahnya selalu banyak.
Syekh Yusuf an-Nabhani tak hanya sekedar mengenal Nabi saw. Namun, sangat mengenal dengan kekasihnya tersebut, sehingga ia dengan ikhlas mewakafkan dirinya untuk kanjeng Nabi saw., dan tersebab pengenalannya itu pula rasa cintanya kepada Nabi saw. begitu dalam. Bukankah semakin kenal dan dekat sesorang dengan Nabi saw., maka kekaguman dan rasa cintanya semakin bertambah pula.
Dengan karya-karyanya, an-Nabhani seolah ingin mengajak kita untuk lebih mengenal dan lebih dekat dengan kanjeng Nabi Muhammad saw., seseorang yang sangat kita harapkan syafaatnya nanti di akhirat.
Sebagai penutup, ada sebuah cerita yang cukup menarik yang dituturkan Syekh Muzaffer Ozak, suatu hari seorang yang saleh bermimpi dengan Nabi Muhammad saw., namun dalam mimpi tersebut Nabi saw. mengacuhkannya.
“Ya Rasulullah,” kata orang saleh itu, “sepertinya engkau marah kepadaku. Apakah aku telah berbuat kurang ajar kepadamu?” Rasulullah pun menjawab, “Aku tak mengenalmu!” Lantas orang tadi berkata, “Aku si Fulan, orang yang saleh.” Akan tetapi Nabi saw. masih tidak mengenalnya.
Kemudian orang saleh itu berkata, “Ya Rasulullah, aku pernah mendengar para ulama bertutur bahwa engkau mengenal umatmu sebagaimana seorang ayah mengenal anak-anaknya..” “Benar,” kata Rasul, “Apa yang dikatakan ulama-ulama tersebut memang benar. Aku Nabimu. Aku mengenal setiap orang di antara kalian sebagaimana aku mengenal anak-anakku sendiri. Tetapi, pengetahuanku tentang dirimu sebanding dengan pengetahuanmu tentang diriku. Aku sangat dekat dengan orang-orang yang sangat mencintaiku.”
Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan kita? seberapa kenalkah kita sudah dengan Kanjeng Nabi Muhammad saw.? Wa Allah A’lam.