Sebelum merdeka, bangsa kita yang terdiri dari berbagai suku dan kelompok sosial yang memiliki ikatan-ikatan dalam komunitas mereka masing-masing. Ikatan itu didasarkan pada adat-istiadat yang sudah mengakar berabad-abad.
Dulu, pola hidup yang cenderung komunal dibanding individual membuat anggota komunitas memiliki pegangan serta dukungan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dari situlah rasa aman ditumbuhkan.
Proklamasi kemerdekaan membawa semangat untuk menjadikan suku-suku yang banyak itu untuk menjadi sebuah bangsa dengan jiwa baru, yakni Nasionalisme. Artinya pola interaksi yang dibayangkan ke depan bukan lagi berdasarkan kesukuan, melainkan kebangsaan.
Soekarno membakar semangat rakyat dengan api revolusi. Beliau berharap dapat menjadi penyambung lidah bangsa Indonesia dalam komunikasinya dengan dunia internasional. Itulah mengapa Soekarno menganggap sangat penting untuk melawan Neokolonialisme.
Semua dalam rangka membentuk identias nasionalisme Indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat. “Revolusi belum selesai” itulah jargon politik Soekarno yang sangat terkenal.
Akan tetapi Soekarno jatuh sebelum menyelesaikan revolusi. Soeharto dengan dukungan militer dan teknokrat mencoba menawarkan pembangunan sebagai panglima. Investor asing diundang masuk. Situasi makin bergairah ketika ekspor minyak bumi mendatangan banyak devisa bagi negara.
Oleh karena pembangunan berpusat di kota-kota besar maka terjadilah urbanisasi besar-besaran. Orang desa berduyun-duyun datang ke kota. Banyak yang sukses, tapi banyak pula yang gagal.
Mereka yang sukses akan menjadi kelas menengah kota yang tinggal dipemukiman yang relatif nyaman. Sedangkan mereka yang gagal menjadi warga pinggiran yang tinggal di wilayah kumuh dan pinggir sungai.
Pada awalnya, kelas menengah kota masih punya ikatan kultural yang kuat dengan daerah asal. Hal itu tampak dari budaya mudik yang terjadi setiap lebaran. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, mudik cenderung menjadi ajang pamer kesuksesan. Nilai-nilai kebersamaan justru berganti menjadi persaingan dan unjuk eksistensi diri.
Selain itu, desa sekarang bukanlah desa yang dulu. Kehidupan di desa juga sudah mengalam krisis yang parah secara ekomomi maupun secara kultural. Maklumlah selama ini desa dalam konteks pembanguan hanya menjadi embel-embel, tidak pernah diakui sebagai bagian penting dari proses menjadi Indonesia. Desa juga dipenuhi konflik dan jauh dari kebersamaan. Banyak hal yang telah hilang.
Dulu seorang anak dapat diasuh oleh kakak adik, paman bibi, om dan tante serta kakaek nenek. Sekarang urusan keluarga menjadi hanya urusan keluaraga inti, semua punya kesibukan masing-masing.
Kelas menengah kota secara ekonomi makin mapan, tapi secara kultural mengalami defisit. Ada perasaan tidak aman karena hidup sudah cenderung individual. Mereka seperti tercerabut dari akar budaya dan menjadi seperti buih-buih di lautan. Stastus sosial ekonomi meningkat tapi perasaan terancam juga meningkat. Hidup sudah seperti iklan Meikarta.
Konflik politik di awal kemerdekaan yang kemudian diatasi dengan pemerintahan militer Orde Baru selama lebih dari 30 tahun membuat kita gamang sebagai sebuah bangsa.
Orde baru yang sentralistik dan doyan penyeragaman telah menggerus nilai-nilai terdisi yang unik dan kontekstual. Sementara nilai-nilai baru yang seharusnya tumbuh dalam nasionalisme Indonesia ternaya tidak terbentuk. Negara gagal menjadi ikatan bersama.
Apa yang disebut warga Negara hanyalah kumpulan orang berupa massa mengambang. Interaksi antar orang digerakkan oleh mekanisme pasar bebas. Kita yang belum sempat menjadi bangsa yang utuh kini sudah menjadi konsumen dunia. Keadaan itu berlanjut hingga era reformasi.
Kini terknologi komunikasi semakin canggih. Era digital memungkinkan orang berinteraksi tanpa saling bertemu fisik. Setiap orang bisa eksis di media sosial, meski tidak semua hal bisa dimediasikan.
Media sosial memungkinkan orang betukar kenangan tentang romatisme masa lalu, di mana anak-anak masih bernain petak umpet, gobak sodor atau kelereng. Dan ini menjadi kerinduan mendalam bagi kelas menengah di perkotaan.
Hal yang sangat sering di-share dalam media sosial seperti grup WA, selain kenangan masa lalu, adalah konten-konten keagamaan. Doa dan penggalan ayat, baik berupa teks, gambar maupun video berseliweran setiap hari. Hal ini selaras dengan munculnya gairah beragama kelas menengah kota yang muncul secara massif. Simbol-simbol beragama bertebaran, mulai dari jilbab, pengajian, akiqah, sholat duha, dll hingga merambat dunia politik, seperti isu pemimpin harus muslim dan aksi bela islam.
Dulu, ketika ikatan komunitas tradisi masih kuat, agama cenderung menjadi urusan pribadi-pribadi (kecuali komunitas yang memang berbasis agama seperti di perantran-pesantren). Sekarang orang-orang kota menjadikannya ikatan hidup bersama.
Mengapa agama menjadi pilihan di saat ikatan tradisional sudah pudar?
Agama menawarkan rasa aman bukan saja di dunia melainkan di akhirat. Agama mempu menjadi wadah untuk orang saling mengikatkan diri dalam komunitas. Oleh karena yang diperlukan adalah pegangan atau ikatan bersama, maka agama dalam hal ini dimaknai lebih sebagai identitas.
Dengan demikian orang merasa sangat perlu mengedepankan simbol-simbol agama dalam hidup sehari-hari. Simbol-simbol ini kemudian berkolaborasi dengan pasar. Pasar melihat dengan jeli potensi agama sebagai pangsa yang menguntungkan. Maka tidak heran saat ini orang berjualan apapun hampir selalu bawa dalil-dalil agama.
Agama seperti apa yang cocok dengan situasi kelas menengah perkotaan?
Tidak lain agama yang mudah dicerna, mudah dengan kehidupannya, mudah diakses dan mudah dishare. Maka ustadz-ustadzah yang kondang di televisi dan media sosial segera menjadi rujukan dan idola. Ceramah-ceramahnya dengan mudah bisa dinikmati di mana saja kapan saja tanpa harus mengerutkan dahi karena materi yang disampaikan adalah hal-hal yang sifatnya permukaan. Tausiah-tausiah itu bisa disebarkan melalui gerup WA setiap pagi, lalu anggota grup yang lain akan menjawab “amin” kemudian ikut meneruskan ke grup yang lain.
Begitualah, materi agama yang bisa difasilitasi oleh media massa dan media sosial adalah materi agama yang cenderung banal. Mengapa?
Sebab yang dipentingkan memang bukan materinya, malainkan ruang pelepasan kerinduan akan ikatan-iakatan komunitas. Hal itu dapat menjadi angin surga di tengah hidup yang makin individualistis dan persaingan yang makin keras. Identias kelompok dibangun kembali. Pada titik inilah politik identitas sangat mudah digerakan dan ditularkan. Identitas selalu membutuhkan penegasan: siapa saya siapa anda, kelompok saya bukan kelompok anda. Dengan kata lain penegasan identitas suatu kelompok dicari pada perbedaan dengan pihak lainnya. Hal inilah yang menyuburkan fanatisme.
Mohon maaf, saya terpaksa mengatakan ini: agama mendalam yang berbasis kitab-kitab serius kurang klop dengan gaya hidup kelas menengah kota.
Penulis menuliskan : saya terpaksa mengatakan ini: agama mendalam yang berbasis kitab-kitab serius kurang klop dengan gaya hidup kelas menengah kota.
Skrng org2 maunya langsung mengacu pada dalil2 di kotab suci/hadis (yg katanya harus sohih) . Org2 (islam) perkotaan sudh gak mau lg ribet2 dengar penjelasan usul fiqih nya, pendapat2 ulama terdahulu dll… kareana itu lah video2 dakwah 1 menit di instagram yg di isi oleh suara2 merdu ustadz seleb dan dilatar belakangi musik syahdu begitu diminati dan berubah jadi budaya pop.
Jadi sptnya dlm mencari / mendalami ilmu agamapun suka nya yg instan saja….