Di buku Guruku Orang-Orang Dari Pesantren karya KH. Saifuddin Zuhri terdapat bagian menarik yang menceritakan kenangan beliau bertemu Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari.
Saifuddin Zuhri muda berkesempatan bertemu dengan Hadratus Syeih atas ajakan KH. A. Wahid Hasyim. Ceritanya dimulai ketika ia dikejutkan dengan datangnya surat dari KH A. Wahid Hasyim. Isi utama suratnya adalah mengajaknya untuk aktif menulis di majalah pendidikan “Suluh Nahdlatul Ulama” yang diasuh oleh KH. A. Wahid Hasyim. KH. A Wahid Hasyim dalam suratnya menyatakan bahwa ia sering membaca tulisan-tulisan KH Saifuddin Zuhri di Majalah Suara Ansor dan Berita Nahdlatul Ulama.
Selain itu, dalam surat tersebut juga disampaikan bahwa KH. A Wahid Hasyim menawari jika KH. Saifuddin Zuhri hendak ke Surabaya agar mampir ke Tebu Ireng untuk kemudian bersama-sama pergi ke Surabaya.
Setelah membalas surat yang dikirim KH. A. Wahid Hasyim tersebut. Beberapa waktu kemudian tibalah saat ketika KH. Syaifuddin Zuhri dapat bertemu dua sosok yang sangat dikaguminya.
Ketika bertemu dengan KH. Wahid Hasyim, KH. Syaifuddin Zuhri sangat terkesan dengan cara beliau memperlakukannya. Ia dijemput langsung oleh KH. Wahid Hasyim, digandeng terus dari awal bertemu di stasiun, dibawakan kopernya, dan mengobrol asyik layaknya sahabat lama yang baru berjumpa kembali. Tidak lupa dengan obrolan penuh guyon khas kalangan pesantren. Seluruh perhatian, sebut KH. Saifuddin Zuhri, diberikan oleh KH. A. Wahid Hasyim kepadanya.
Tiba di pesantren, KH. A Wahid Hasyim mengajaknya sowan dengan KH. Hasyim Asy’ari. Pada pertemuan pertama tersebut, KH Syaifudin Zuhri sangat terpukau ketika bertemu Hadratus Syaikh. Jelas saja, siapapun pasti akan terpukau ketika bertemu dengan sosok hebat dan luar biasa ini. Maha Guru yang ilmu dan akhlaknya luar biasa.
Ia menulis:
“Sinar wajahnya bercahaya, memancar dari orang yang sangat berwibawa. Ketika aku memberi salam, ia sedang duduk di atas permadani yang memenuhi ruang tamunya yang luas. Mengenakan baju “jawa” seperti piyama tak berleher, berwarna putih terbuat dari kain katun, bersarung pelekat dan mengenakan serban. Beliau sedang membaca sepucuk surat. Aku heran sekali melihat seorang tua yang usianya lebih dari tujuh puluh tahun masih dapat membaca tanpa kaca mata”.
Sosok Maha Guru tersebut dalam cerita KH. Saifuddin Zuhri sangatlah menarik. Hadratus Syaikh selalu bicara dalam Bahasa Arab ketika berkomunikasi dengan KH. A. Wahid Hasyim dan KH. A. Wahid Hasyim selalu menjawab penuh hormat dengan Bahasa Jawa halus. Ia bercerita, Hadratus Syaikh bicara dalam Bahasa Indonesia secara perlahan, juga sesekali dalam Bahasa Arab dan Bahasa Jawa ketika bicara dengannya.
Saifuddin Zuhri sangat terkesan pada kelembutan dan ketawadhuan Hadratus Syeikh. Pada saat ia datang, Hadratus Syeikh sedang membaca surat dari seorang ulama terkenal di Jawa Tengah. Ulama tersebut mengirim surat yang berisi tentang perbedaan pendapat terkait hukum terompet dan genderang yang dipakai oleh Gerakan Ansor ketika sedang baris berbaris maupun pawai. Isi surat menyebut tentang haramnya perbuatan tersebut. Dengan rendah hati, berkali-kali beliau bahwa ulama tersebut “memarahinya”, berbeda pendapat dengannya.
Hadratus Syaikh menyampaikan bahwa ia sangat sedih dengan perbedaan pendapat antara dirinya dengan ulama yang selalu beliau anggap sebagai gurunya tersebut. Sampai kemudian, beliau mengatakan kepada KH Syifuddin Zuhri akan berupaya “menginsyafkan” ulama tersebut. Sebab, terompet dan genderang merupakan syiar untuk menunjukkan kuatnya umat Islam di masa penjajahan ketika itu. Pada Muktamar selanjutnya, menurut KH. Saifuddin Zuhri, terompet dan genderang tidak jadi perdebatan lagi, dan dibolehkan untuk dipakai. Menurut KH. Saifuddin Zuhri, tentu ini karena wibawa dari Hadrotus Syaikh yang berhasil meyakinkan para ulama lainnya.
Salah satu bagian yang menarik dari kisah yang disampaikan oleh KH. Saifuddin Zuhri adalah bagaimana kebiasaan yang dilakukan oleh Hadratus Syaikh ketika menerima dan memperlakukan tamu. Tamu-tamu yang datang silih berganti dari berbagai kalangan. Banyak dari kalangan ulama yang datang untuk membawa permasalahan keislaman dan keumatan. Para ulama lain datang berduyun-duyun untuk bertanya kepada Hadratus Syaikh.
Selain itu juga banyak ulama dan santri yang datang untuk mengaji Kitab al Bukhari, yang biasa ditamatkan ketika Ramadlan. Disebutkan, orang-orang yang pernah mengaji langsung kepada Hadratus Syaikh sangatlah terkesan karena telihat sekali beliau hafal seluruh isi kitab tersebut.
Bicara perkara tamu yang datang sowan ke Hadratus Syaikh, jumlahnya begitu banuyak. Tamu-tamu ini bahkan datang tidak melihat waktu, karena ada kalanya mereka tiba di waktu istirahat. Tapi kehebatan beliau, tulis KH. Saifuddin Zuhri, adalah perlakuan yang istimewa dalam menerima tamu-tamunya. Para tamu tersebut “diladeni” dengan sikap terbaik.
Meski ada yang membantu untuk melayani para tamu, tak jarang beliau mengambilkan dan menyuguhkan makanan dan minum secara mandiri bagi para tamu. Ada kalanya, ketika tamu tersebut datang di waktu makan, maka tamu tersebut akan diajak makan bersama, disuguhi lauk yang sama dengan apa yang beliau makan.
Siapapun yang datang akan merasa sebagai orang yang paling dekat dengan beliau, merasa dialah yang paling disayang oleh Hadratus Syaikh.
Bagaimana tidak, ketika tamu membawa oleh-oleh maka akan disambut gembira oleh Hadratus Syeikh. Misal, ada yang membawa buah pepaya Hadratus Syaikh menerimanya dengan ucapan, “Alhamdulillah-alhamdulillah, pucuk dicinta ulam tiba! Saya sudah lama ingin buah pepaya. Alangkah bagusnya pepaya ini, alangkah nikmatnya…!
Berulang kali diucapkan rasa terima kasih diiringi doa bagi sang pembawa buah. Siapa pun pasti akan senang sekali mendengar ucapan tersebut, apalagi ucapan baik tersebut datang dari Maha Guru yang sangat dikagumi. Padahal, di kebun Hadratus Syaikh buah pepaya tersebut banyak sekali tersedia. Sungguh akhlak yang terpuji dan tiada banding.
Teladan yang dihadirkan oleh Hadratus Syaikh tersebut bukanlah perkara yang njelimet, yaitu soal adab menerima tamu. Tetapi haqqul yaqin dalam praktiknya tidak semua orang punya kapasitas yang kokoh dan ketangguhan untuk “meladeni tamu”. Hanya orang-orang hebat yang bisa menerima tamu, yang bahkan mungkin memiliki itikad buruk, dengan sebaik-baiknya.
Soal menerima tamu, ada cerita menarik dari Gus Mus tentang Almarhum KH. Maimoen Zubair dalam menerima tamu. Di tengah kesibukan Almarhum beliau tidak pernah Lelah menerima tamu. Bahkan para tamu yang datang akan ditahan, ketika mereka akan pulang. Sang pencerita kisah, Gus Mus sendiri, menurut cerita berbagai orang yang pernah bersilaturahmi dengan beliau, juga punya kehebatan yang sama dalam memuliakan tamu-tamu yang datang ke tempat beliau. Betapa indahnya akhlak para ulama dari pesantren.
Catatan: Sepenuhnya kisah ini dikutip dari Buku Guruku Orang-orang Dari Pesantren Karya KH. Saifuddin Zuhri terbitan Pustaka Sastra LKIS (2001, terbitan pertama 1974).